Oleh: Sam'un Mukramin
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam kehidupan manusia, dan dalam pembentukan
kepribadian itu sangat dipngaruhi oleh dua
unsur yaitu; kelurga dan masyarakat. Seiring tumbuh dan berkembangnya
kehidupan manusia dalam proses
sosialisasi dan interaksi sanagat dipengaruhi oleh keluarga dan masyarakat
dimana dia bertempat tinggal sehingga melahirkan karakter dan jiwa sesuai
dengan keadaan lingkungan sekitar.
Keluarga merupakan
pondasi bagi berkembang majunya masyarakat. Keluarga membutuhkan perhatian yang
serius agar selalu eksis kapan dan di manapun. Perhatian ini dimulai sejak pra
pembentukan lembaga perkawinan sampai kepada memfungsikan keluarga sebagai
dinamisator dalam kehidupan anggotanya terutama anak-anak, sehingga betul-betul
menjadi tiang penyangga masyarakat. Secara tegas dapat digarisbawahi bahwa
tujuan keluarga ada yang bersifat intern yaitu kebahagian dan kesejahteraan
hidup keluarga itu sendiri, ada tujuan ekstern atau tujuan yang lebih jauh
yaitu untuk mewujudkan generasi atau masyarakat muslim yang maju dalam berbagai
seginya atas dasar tuntunan agama. Keluarga merupakan sumber dari umat, dan
jika keluarga merupakan sumber dari sumber-sumber umat, maka perkawinan adalah
pokok keluarga, dengannya umat ada dan berkembang.
William J. Goode (1991 : 2) mengemukakan bahwa “masyarakat adalah struktur yang terdiri dari
keluarga, dan bahwa keanehan-keanehan suatu masyarakat tertentu dapat
digambarkan dengan menjelaskan hubungan kekeluargaan yang berlangsung di dalamnya”.
Karya etika dan moral yang tertua menerangkan bahwa masyarakat kehilangan
kekuatannya jika anggotanya gagal dalam melaksanakan tanggungjawab keluarganya.
Stephen
K Sanderson (2001 : 428) membagi keluarga atas tiga tipe saja yaitu “keluarga
batih (nuclear), keluarga luas (extended) dan persekutuan kelompok
keturunan”.
Kedudukan
utama setiap keluarga ialah fungsi pengantara masyarakat besar. Sebgai
penghubung pribadi dengan struktur sosial yang lebih besar. Suatu masyarakat
tidak akan bertahan jika kebutuhannya yang bermacam-macam tidak dipenuhi,
seperti umpamanya produksi dan pembagian makanan, perlindungan terhadap yang
muda dan tua, yang sakit dan mengandung, persamaan hukum, pengembangan generasi
muda dalam kehidupan sosial, dan lain sebagainya.
Dari
uraian latar belakang diatas maka penulis mengangkat judul makalah yaitu “Sisi
Positif dan Negatif Perilaku Sosial Generasi Muda saat ini”
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang hendak diangkat dalam
makalah ini yaitu sebagi berikut :
1.
Apa saja yang menjadi sisi positif
dan negatif perilaku sosial generasi muda saat
ini?
2.
Apakah faktor-faktor pendorong sisi
positif dan negatif negatif perilaku sosial generasi muda?
3.
Bagaimna implikasi sisi positif dan
negatif negatif perilaku sosial
generasi muda dalam kehidupan bermasyarakat?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pilar-Pilar Keluarga Sakinah
Menurut Quraish
Shihab, sakinah terambil dari akar kata sakana
yang berarti diam atau tenangnya sesuatu setelah bergejolak. Penggunaan kata
sakinah dalam pembahasan keluarga pada dasarnya diambil dari Al-Quran surat
al-Rum ayat 21 yang
artinya bahwa Allah menciptakan perjodohan bagi manusia
agar yang satu merasa tentram terhadap yang lain. Dalam bahasa Arab, kata
sakinah di dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, penuh kasih
sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa
keluarga sakinah adalah kondisi yang sangat ideal dalam kehidupan keluarga.
Kata sakinah yang digunakan dalam mensifati kata keluarga merupakan tata nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam membangun
tatanan keluarga yang dapat memberikan kenyamanan dunia sekaligus memberikan
jaminan keselamatan akhirat.
Rumah tangga
seharusnya menjadi tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarganya. Ia
merupakan tempat kembali kemana pun mereka pergi. Mereka merasa nyaman di
dalamnya, dan penuh percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang
lainnya dalam masyarakat. Dalam istilah sosiologi ini disebut dengan unit terkecil
dari suatu masyarakat. Keluarga sakinah tidak terjadi begitu saja, akan tetapi
ditopang oleh pilar-pilar yang kokoh yang memerlukan perjuangan dan butuh waktu
dan pengorbanan. Keluarga sakinah merupakan subsistem dari sistem sosial (social system) menurut Al-Quran, dan
bukan bangunan
yang berdiri di atas lahan yang kosong. Pembangunan
keluarga sakinah juga tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun sebuah
perjuangan yang memerlukan kobaran dan kesadaran yang cukup tinggi. Namun
demikian semua langkah untuk membangunnya merupakan sesuatu yang dapat
diusahakan. Meskipun kondisi suatu keluarga cukup seragam, akan tetapi ada
langkah-langkah standar yang dapat ditempuh untuk membangun sebuah bahtera
rumah tangga yang indah, keluarga sakinah.
Nick Stinnet dan
John Defrain (1987) dalam studi yang berjudul The National Study on Family Strength mengemukakan enam langkah membangun sebuah keluarga sakinah yaitu :
1.
Menciptakan kehidupam beragama
dalam keluarga. Hal ini diperlukan karena di dalam agama terdapat norma-norma
dan nilai moral atau etika kehidupan. Penelitan yang dilakukan oleh kedua
profesor di atas menyimpulkan bahwa keluarga yang di dalamnya tidak ditopang
dengan nilai-nilai religius, atau komitmen agamanya lemah, atau bahkan tidak
mempunyai komitmen agama sama sekali, mempunyai resiko empat kali lipat untuk
tidak menjadi keluarga bahagaia atau sakinah. Bahkan, berakhir dengan broken
home, perceraian, perpisahan tidak ada kesetiaan, kecanduan alkohol dan lain
sebagainya.
2.
Meluangkan waktu yang cukup untuk
bersama keluarga. Kebersamaan ini bisa diisi dengan rekreasi. Suasana
kebersamaan diciptakan untuk maintenance (pemeliharaan) keluarga. Ada kalanya
suami meluangkan waktu hanya untuk sang istri tanpa kehadiran anak-anak.
3.
Interaksi sesama anggota keluarga
harus menciptakan hubungan yang baik antaranggota keluarga, harus ada
komunikasi yang baik, demokratis dan timbal balik.
4.
Menciptakan hubungan yang baik
sesama anggota keluarga dengan saling menghargai. Seorang anak bisa menghargai
sikap ayahnya. Begitu juga seorang ayah menghargai prestasi atau sikap
anak-anaknya; seorang istri menghargai sikap suami dan sebaliknya, suami
menghargai istri.
5.
Persatuan dalam keluarga yang
memperkuat bangunan rumah tangga. Hal ini diempuh dengan sesegera mungkin
menyelesaikan masalah sekecil apapun yang mulai timbul dalam kehidupan
keluarga. Keluarga sebagai unit terkecil jangan sampai longgar, karena
kelonggaran hubungan akan mengakibatkan kerapuhan hubungan.
6.
Jika terjadi krisis atau benturan
dalam keluarga, maka prioritas utama adalah keutuhan rumah tangga. Rumah tangga
harus dipertahankan sekuat mungkin. Hal ini dilakukan dengan menghadapi
benturan yang ada dengan kepala dingin dan tidak emosional agar dapat mencari
jalan keluar yang dapat diterima semua pihak. Jangan terlalu gampang mencari
jalan pintas dengan memutuskan untuk bercerai.
Langkah-langkah
yang dikemukakan oleh Nick Stinnet dan John Defrain di atas lebih
menitikberatkan pada sudut pandang psikologis dan sosiologis. Ada pendapat lain
yang menitikberatkan pada aspek agama (Islam), yaitu pendapat Said Agil Husin
al-Munawwar, yang menyatakan bahwa simpul-simpul yang dapat mengantar atau
menjadi prasyarat tegaknya keluarga sakinah adalah :
1.
Dalam keluarga ada harus mahabbah,
mawaddah dan rahmah
2.
Hubungan suami isteri harus
didasari oleh saling membutuhkan, seperti pakaian dan pemakainya (hunna libasun
lakum wa antum libasun lahunna)
3.
Dalam pergaulan suami istri,
mereka harus memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap patut, tidak
asal benar dan hak besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya harus
memperhatikan nilai-nalai mahar
4.
Menurut hadis Nabi, pilar keluarga
sakinah itu ada lima, yaitu : pertama, memliliki kecenderungan kepada agama, kedua,
mudah menghormati yang tua dan menyayangi yang muda, ketiga, sederhana dalam
belanja, keempat, santun dalam bergaul dan kelima, selalu introspeksi
5.
Menurut hadis Nabi yang lain
disebutkan bahwa ada empat hal yang menjadi pilar keluarga sakinah, yaitu : pertama,
suami istri yang setia (shalih dan shalihah) kepada pasangannya. kedua,
anak-anak yang berbakti kepada orang tuanya. ketiga, lingkungan sosial yang
sehat dan harmonis. Keempat, murah dan mudah rezekinya.
Masing-masing
status di dalam keanggotaan keluarga mempunyai konsekuensi fungsi dan tanggung
jawab ini. Dari makna yang terkandung dalam ini pula berimplikasi terhadap anak
(kewajiban anak kepada orang tua), hak anak terhadap orang tua (kewajiban orang
tua kepada anak) BKKBN menggunakan istilah sejahtera untuk menyebut keluarga
sakinah. Dalam hal ini BKKBN mengklasifikasikan keluarga sejahtera (sakinah)
kedalam beberapa tingkatan yaitu :]
1.
Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS),
yaitu keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (basic
needs) secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, sandang papan dan
kesehatan.
2.
Keluarga Sejahtera I (KS I), yaitu
keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal,
tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya (socio psychological
needs), seperti kebutuhan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi
dengan lingkungan tempat tinggal, dan transportasi.
3.
Keluarga Sejahtera II (KS II),
yaitu keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kebutuhan
sosial-psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya
(developmental needs) seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh
informasi.
4.
Keluarga Sejahtera III (KS III),
yaitu kelurga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar,
sosial-psikologis dan pengembangan keluarganya, tetapi belum dapat memberikan
sumbangan yang teratur bagi masyarakat, seperti sumbangan materi, dan berperan
aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.
5.
Keluarga Sejahtera III Plus (KS
III Plus), yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan
dasar, sosial psikologis dan pengembangan serta telah dapat memberikan
sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.
Dari klasifikasi
dan keriteria BKKBN dapat disimpulkan bahwa dalam peng-kategorian keluarga
sejahtera atau sakinah BKKBN lebih memprioritaskan aspek materi daripada aspek
immateri. Hal ini berbeda dengan konsep yang disampaikan oleh Nick Stinnet dan
John Defrain, Said Aqil Husin al-Munawwar dan Mantep Moharso yang lebih
menekankan aspek imateri. Menurut dalam hemat penulis, kedua aspek tersebut
(materi dan imateri) mempunyai kedudukan yang sama yaitu keduanya menduduki
posisi yang pokok, dan keduanya harus sama-sama dipenuhi demi terciptanya
keluarga sakinah atau sejahtera, Sejauh apapun dan sedalam apapun pengetahuan
dan pemahaman kita tentang konsep keluarga sakinah tidak akan menjadi jaminan
bahwa kita akan dapat melaksanakannya dalam bahtera rumah tangga. Karena
kehidupan keluarga merupakan suatu yang eksperimental dan empirik yang tidak
hanya ada dalam dunia teori namun harus terjun langsung dan mempraktekkannya
yang terkadang pada kenyataannya jauh dari apa yang ada dalam teori. Selain itu
kehidupan keluarga berjalan secara dinamis mengikuti irama denyut nadi
perkembangan zaman dan faktor sosio-kultural dalam kehidupan masyarakat sangat
berpengaruh dalam perjalanan kehidupan keluarga.
B.
Globalisasi : antara Ancaman dan Tantangan
Kata globalisasi
mulai sering digunakan mulai tahun 1980-an. Pada masa itu kata globalisasi
menyebar begitu cepat menjadi kosa kata standar di segala bidang, di dunia
akademik, dunia jurnalistik, plolitik, bisnis, periklanan, dunia hiburan dan
sebagainya.
Globalisasi berasal
dari kata globalisme yakni paham kebijakan nasional yang memperlakukan seluruh
dunia sebagai lingkungan yang pantas untuk pengaruh politik. Selama proses
tersebut berjalan, tentunya penuh dinamika yang menuntut setiap negara menata
Rumah Tangganya seideal mungkin. Atas nama tatanan dunia baru itulah
globalisasi dianggap menyatukan dunia dalam satu bingkai dan menghapuskan batas-batas
geografis yang memisahkan antara negara satu dengan lainnya. Tentunya didukung
adanya kebebasan mengakses informasi melalui berbagai media informasi dan telekomunikasi,
internet khususnya.
Menurut John Tom
Linson dalam sebuah tulisan Cultural
Globalization : Placing and Displacing the West sebagaimana dikutip oleh Amer Al-Roubaie mengintisarikan globalisasi sebagai berikut : Proses
hubungan yang rumit antarmasyarakat yang luas dunia, antarbudaya, institusi dan
individual. Globaliasai merupakan proses sosial yang mempersingkat waktu dan
jarak dari pengurungan waktu yang diambil baik secara langsung maupun tidak
langsung. Jadi dengan dipersingkatnya jarak dan waktu, dunia dilihat
seakan-akan semakin mengecil dalam beberapa aspek, yang membuat hubungan manusia
antara yang satu dengan yang lain semakin dekat.
Globalisasai
terjadi pada setiap negara, tidak ada satu organisai atau satu negara pun yang
mampu mengendalikannya. Simbol dari sistem global adalah luasnya jaringan. Akbar
S. Ahmed dan Hastings memberi batasan bahwa globalisasi pada prinsipnya mengacu
pada perkembangan-perkembangan yang cepat di dalam teknologi komunikasi,
transformasi, informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh menjadi
hal yang bisa dijangkau dengan mudah.
Teori globalisasi
menandai dan menguji munculnya suatu sistem budaya global terjadi karena
berbagai perkembangan sosial dan budaya, seperti adanya sistem satelit dunia,
penggalian gaya hidup kosmopolitan, munculnya pola konsumsi dan konsumerisme
global, munculnya even-even olahraga internasional, penyebaran dunia
pariwisata, menurunnya kedaulatan negara bangsa, timbulnya sistem militer
global (baik dalam bentuk peace keeping force, pasukan multinasional maupun
pakta pertahanan regional dan lain-lain), pengakuan tentang terjadinya
krisis-krisis lingkungan dunia, berkembangnya problem-problem kesehatan
berskala dunia (seperti AIDS), munculnya lembaga-lembaga politik dunia (seperti
PBB), munculnya gerakan-gerakan politik global, perluasan konsep demokrasi dan
hak-hak asasi manusia dan interaksi rumit antara berbagai agama dunia.
Bahkan lebih dari
sekedar proses-proses di atas, globalisasi menyangkut kesadaran bahwa dunia ini
adalah satu tempat milik bersama umat manusia. Karena itu, globalisasi yang
didefinisikan sebagai kesadaran yang tumbuh pada tingkat global bahwa dunia ini
adalah sebuah lingkungan yang terbangun secara berkelanjutan, atau sebagai
suatu proses sosial di mana hambatan-hambatan geografis berkaitan dengan
pengaturan-pengaturan sosial dan budaya semakin surut. Menurut Qodri Azizy,
istilahglobalisasi
dapat berarti juga alat dan dapat pula berarti ideologi.
Sebagai alat karena merupakan wujud keberhasilan ilmu pengetahuan dan teknologi
terutama sekali di bidang komunikasi. Sebagai alat, globalisasi sangat netral.
Ia berarti dan seklaigus mengandung hal-hal posistif, ketika dimanfaatkan untuk
tujuan yang baik. Sebaliknya, ia berakibat negatif, ketika hanyut ke dalam
hal-hal yang negatif. Sedangkan sebagai ideologi sudah mempunyai arti
tersendiri dan netralitasnya sangat berkurang.
Oleh karena itu,
tidak aneh jika kemudian tidak sedikit yang menolaknya. Sebab tidak sedikit
akan terjadi benturan nilai, antara nilai yang dianggap sebagai sebuah ideologi
globalisasi dan nilai-nilai agama, termasuk agama Islam. Baik sebagai alat
maupun sebagai ideologi, globalisasi merupakan ancaman dan sekaligus tantangan.
1.
Globalisasi sebagai ancaman.
Dengan alat komunikasi seperti Hand Phone, TV, para bola, telepon, VCD,
DVD dan internet, kita dapat berhubungan dengan dunia luar. Dengan para bola
atau internet, kita dapat menyaksikan hiburan dan berbagai berita dari kamar
tidur. Kita dapat terpengaruh oleh segala macam bentuk iklan yang sangat
konsumtif.
2.
Globalisasi sebagai tantangan.
Di pihak lain, jika globalisasi itu memberi pengaruh hal-hal, nilai dan
praktik yang positif, maka seharusnya menjadi tantangan bagi umat manusia untuk
mampu menyerapnya, terutama sekali hal-hal yang tidak mengalami benturan dengan
budaya lokal atau nasional, terutama sekali nilai agama.
Dari gambaran di
atas dapat dipahami bahwa globalisasi bukanlah sekedar konsep sosiologi
hubungan internasional (International
Relations) dalam pengertian tradisional, atau interdepedensi ekonomi (Global economic interdepedence) atau
konvergensi negara-negara bangsa (convergence
of nation states) menjadi suatu masyarakat industri, melainkan proses
strukturisasi dunia sebagai suatu keseluruhan (stucturation of the world as whole) yang menghadirkan dua
kecenderungan yang saling bertentangan sekaligus, yaitu proses penyeragaman (homogenization) dan pemberagaman (differenciation), sehingga membuat
interaksi yang rumit antara lokalisme dan globalisme.
Memang, Globalisasi
merupakan proses rumit yang melibatkan semua unsur dari kehidupan manusia
seperti aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, agama, bahasa dan teknologi.
Hingga saat ini globalisasi tetap proses rumit bukan hanya karena definisinya
yang tidak jelas, tetapi juga karena dampak yang ditimbulkannya. Seperti yang
dikatakan Giddens : Globalisasi merupakan proses rumit dan merupakan proses
tunggal. Proses-proses rumit itu juga berlangsung dalam model berlainan dan
berlawanan.
Di era globalisasi
ini, budaya yang ada didominasi oleh budaya Barat, khususnya budaya Amerika
yang sarat dengan konsumerisme, hedonisme dan materialisme. Globalisasi yang
melanda dunia ditandai dengan hegemonisasi food (makanan), fun (hiburan),
fashion (mode), dan thoght (pemikiran). Budaya-budaya ini terkadang dipaksakan
masuk ke dalam budaya lain, sehingga tidak jarang terjadi benturan-benturan kebudayaan. Pada kenyataannya, globalisasi semakin mengarah kepada satu bentuk
imperialisme budaya
(culture imperialism) barat terhadap
budaya-budaya lain.
Dalam sebuah
makalah yang berjudul Haritage, Culture
and Globalization Amer al-Roubaie, seorang pakar globalisasi di
International Institute of Islamic Thuoght and Civilization, International
Islamic University) Mlaysia (ISTAC-IIUM) mencatat bahwa telah dipahami secara
luas bahwa gelombang trend budaya global dewasa ini sebagianbesar merupakan
produk Barat, menyebar ke seluruh dunia lewat keunggulan teknologi elektronik
dan berbagai bentuk media dan sistem komunikasi. Istilah-istilah seperti
penjajahn budaya (culture imperialism),
penggusuran kultural (cultural
cleansing)/, ketergantungan budaya (cultural dependency) dan penjajahan
elektronik (electronic colonialism) digunakan
untuk menjelaskan kebudayaan global baru serta berbagai akibatnya terhadap
masyarakat non-Barat.
Rekayasa informasi
global terus berlangsung melalui media-media massa global. Masyarakat global
diberi ketidakberdayaan (disempowerment)
dalam berbagai hal menghadapi hegemoni informasi. Kepentingan-kepentingan
Barat, terutama Amerika dapat terwujud. Memang benar adanya slogan “barang
siapa yang mampu menguasai informasi dialah yang akan menguasai dunia, sehingga ia bisa membuat keputusan apapun”.
Seperti ungkapan
salah seorang tokoh globalisasi Amerika Serikat Kalau perjanjian diperlukan,
kami akan melakukannya. Jika penyerahan di butuhkan, kami akan menyerahkannya,
jika informasi di butuhkan, kami akan memberikannya dan jika kekuatan di
butuhkan demi stabilitas keamanan kami, kekuatan akan kami gunakan. Padad asarnya
konsep globalisasi yang dirancang oleh Barat adalah upaya untuk mengkonsolidasikan
segala kekuatan ekonomi, politik, militer dan pertahanan dalam satu sentral,
yaitu Amerika, Eropa, Jepang dan Cina. Dan jika ditelusuri lebih dalam, konsep
globalisasi ini sebenarnya telah dirancang dan berjalan cukup lama. Fenomena
ini telah dimulai menjelang berakhirnya Perang Dunia II di mana telah terjadi
suatu titik balik dalam masalah-masalah global. Amerika sebagai kekuatan yang
dominan mempersiapkan dirinya untuk melangkah pada suatu sistem internasional
yang bertujuan membawa bangsa-bangsa di dunia ke dalam suatu sistem dengan
aturan-aturan dan norma-norma yang disepakati bersama bagi keamanan bangsa (collective security).
Dengan berbagai
kemajuan dan kecanggihan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi, kita
dapat merasakan betapa era sekarang merupakan era kesejagatan yang tak mengenal
batas ruang. Sebuah buku yang berjudul One
World Ready or Not: The Manic Logic of Global Capitalism, karya William
Greider tahun 1997 yang lalu telah mengisyaratkan bahwa saat ini dunia sudah
masuk pada masa di mana tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi dari yang lain (there is no place to hide from the other),
masa yang ditandai oleh semangat kapitalisme dengan meningkatnya
industrialisasi, informasi dan transformasi. Disamping itu zaman ini juga
memaksa kita untuk bertemu satu dengan lainnya dengan terjadinya cross cultural context.
Segala bentuk perilaku
manusia dapat dengan mudah dinilai orang lain, saling mempengaruhi dan bahkan
saling bertukar posisi secara bergantian. Semua aktifitas manusia mempunyai
jaringan satu sama lain misalnya jaringan buruh, perdagangan, pendidikan dan
kebudayaan. Adalah Richard Hibart, yang mengatakan bahwa Globalisasi merupakan
sesuatu yang sudah menjadi tradisi kita atas dunia ketiga, dan untuk beberapa
kurun waktu kita menamainya dengan Imperialisme. Era ini juga ditandai oleh dua
proses sosial yang paradoks yaitu proses homologisasi dan proses paralogisasi
dengan semakin menguatnya kesatuan (increasing
of unity) disatu pihak namun dipihak lain juga terjadinya penguatan
perbedaan (increasing of diversity).
Hal itu akan berdampak pada kehidupan keluarga agama dimana orientasi agama
yang sebelumnya datang dari sumber yang sangat terbatas, orang tua, keluarga
dan lingkungan kita saja sekarang datang dari beragam sumber yang tak terbatas
melalui media telekomunikasi dan transformasi yang semakin canggih.
Dengan kecangihan
sains dan teknologi, manusia bahkan dapat menciptakan jalan kematiannya sendiri
yang bisa dipilih. Disamping itu manusia semakin dimanjakan dengan produk
industrialisasi yang bisa mengisolasikan dirinya dari orang lain karena segala
kebutuhannya telah terpenuhi. Manusia menjadi sangat konsumtif dan disetir oleh
semagat kapitalisme pasar. Ketergantungan terhadap produk baru sangat besar
untuk hanya takut dikatakan sebagi orang yang tidak gaul dan kuno. Semua
kebutuhan materi telah tercukupi oleh kemudahan-kemudahan yang ditawarkan
globalisasi.
Yang lebih parah,
terjadinya pergeseran ukuran kesuksesan yaitu hanya dinilai dengan kesuksesan
ekonomi dan kekuasaan. Tentu saja pertemuan dengan berbagai macam sumber dan
informasi baik tentang politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan bahkan
sumber tentang agama akan mempengaruhi kehidupan dalam rumah tangga atau
keluarga. Orang beragama bisa saja menutup diri dari kebiasaan globalisasi
dengan mengisolasi diri dari orang lain, namun juga bisa membuka diri dan
mengambil keuntungan darinya.
Agama yang
merupakan salah satu pilar pokok yang menompang kehidupan keluarga, yang pada
mulanya sebagai satu-satunya sistem yang paling tinggi kemudian berubah menjadi
salah satu bagian dari sistem-sistem lain yang ada. Pada mulanya sistem hukum
yang ada misalnya diambil dari agama namun saat ini dunia sekuler menawarkan
sistem hukumnya sendiri disamping sistem-sistem lainnya. Agama yang dulunya
menjadi super-sistem kemudian menjadi sub-sistem, sama dengan sistem-sistem
yang lainnya.
C.
Dampak Globalisasi terhadap Kehidupan Keluarga
Problem paling
berat membangun keluarga sakinah di era global ini adalah dalam menghadapi
penyakit manusia modern.
Di era modern seperti sekarang ini tantangan berbagai
godaan menyelusup dan menyusup ke dalam kehidupan rumah tangga melalui
teknologi komunikasi dan informasi yang cukup canggih. Sejak kecil, anak-anak
tanpa disadari telah dijejali dengan berbagai kebudayaan yang menyimpang dari
norma-norma sosial dan agama melalui media ini. Hal ini menjadikan peran
pendidikan dalam keluarga tidak efektif lagi.
Menurut sebuah
penelitian yang dialakukan oleh Zakiah Drajat, perilaku manusia 83% dipengaruhi
oleh apa yang dilihat, 11% oleh apa yang didengar, dan 6 % sisanya oleh
berbagai stimulus campuran. Dilihat dari perspektif ini, nasihat orang tua yang
hanya memiliki efektivitas 11%, dan hanya contoh teladan orang tua saja yang
memiliki efektivitas tinggi.
Berangkat dari sini
maka bisa dibayangkan, dengan kecanggihan alat komunikasi yang canggih sebagai
produk modern kebudayaan dari berbagai manca daerah dapat dengan mudah masuk ke
dalam aliran darah dan denyut nadi kebudayaan lokal yang tidak jarang akan
menggeser nilai-nilai moral dan agama yang telah tertanam di dalamnya. Budaya
global yang didominasi oleh budaya Barat akan diserap dengan mudah oleh
masyarakat dunia.
Budaya dalam suatu
masyarakat akan sangat berpengaruh pada pembentukan karakter keluarga. Pengaruh
ini meliputi perilaku, gaya hidup dan aspek-aspek lain. Budaya Barat sangat
menjunjung tinggi kebebasan pribadi untuk berekspresi, dan ini tentunya sangat
berbeda dengan masyarakat Timur yang masih menjunjung nilai-nilai moral.
Bagaimana pun juga
produk suatu budaya dengan ciri materialistiknya dapat menyebabkan pergolakan
dan konflik sosial di masyarakat non-Barat, yang mempunyai warisan
budaya dan kehidupan religius yang berbeda-beda. Kemajuan di bidang komunikasi
telah memungkinkan banyak ide-ide baru, ideologi, seni, bahasa dan beragam ilmu
pengetahuan untuk melintasi seluruh penjuru dunia. Proses globalisasi juga
terdiri dari faktor-faktor yang menjadi ancaman bagi satu kebudayaan asli di
berbagai tempat di dunia ini. Dengan kata lain proses globalisasi juga
menciptakan bentuk baru aliansi kebudayaan unik yang terdapat pada suatu bangsa
atau etnik tertentu.
Globalisasi telah
meminimalisir perlindungan terhadap budaya lokal melalui proses liberalisasi
(swastanisasi) pasar dan perdagangan luas di banyak negara berkembang.
Distribusi luas produk budaya barat seperti film, literatur, gaya hidup,
nilai-nilai baru melalui media elektronik, siaran satelit, internet,
koran-koran dan majalah telah mencemari budaya lokal. Bukan hanya itu, dengan
tayangan dalam media-media ini juga tidak menutup kemungkinan akan meningkatkan
jumlah kekerasan dalam rumah tangga, kenakalan remaja, diskriminasi sosial dan
broken home. Diskriminasi sosial inilah yang biasanya akan menimbulkan
kriminalitas dalam masyarakat. Kehidupan keluarga yang merupakan bagian dari
masyarakat tidak terlepas dari “serangan†budaya global melalui
media-media ini. Gaya hidup, relasi-relasi terlebih pola
pikir masyarakat yang juga anggota keluarga sedikit-demi sedikit akan berubah
mengikuti aneka kebudayaan yang masuk. Inilah yang menjadi tantangan kehidupan
keluarga sakinah di era globalisasi ini.
Setidaknya ada dua
hal yang sering terjadi akibat kehidupan modern di era global ini, yaitu :
1.
Konsentrasi anggota keluarga,
khususnya suami dan istri hanya terfokus untuk mencari kesenangan dalam
kehidupan perkawinan dari pada berpikir tentang tanggung jawab. Beberapa
pasangan menikah apabila mereka sepakat untuk mencari kesenangan dan kenikmatan
saja. Jadi apabila kehidupan perkawinan itu tidak dapat lagi memberikan lagi
apa mereka cari, maka mereka akan memilih jalan mereka sendiri-sendiri. Hal ini
menimbulkan erosi kesakralan lembaga perkawinan, sehingga perceraian sebagai
konsekuensinya menjadi suatu hal yang biasa. Anak-anak siapa saja yang lahir
dari pasangan seperti itu, yaitu mengakhirinya dengan perceraian, hanya sedikit
lebih beruntung dari pada anak-anak yatim piatu, walaupun mereka masih memiliki
orang tua.
2.
Putusnya sistem keluarga besar
yang utuh. Hal ini dapat ditelusuri dari adanya gejala-gejala meningkatnya
jumlah orang tua bahkan kekek nenek lanjut usia yang dikirim ke panti jompo
yang terpisah dari kehidupan keluarga mereka sendiri. Padahal dalam sistem
keluarga besar, kekek nenek pasti ada untuk memperhatikan cucu-cucu mereka.
Tetapi dalam budaya masyarakat modern, terlebih di barat tempat mereka bukan
lagi di tengah-tengah keluarga. Saat ini, fokus dari perhatian orang tua tidak
lagi tertuju pada rumah, walupun dengan alasan-alasan yang berbeda. Dulu,
seorang ibu senantiasa berada di rumah untuk dapat tetap memperhatikan
anak-anak. Tetapi sekarang, dengan kedua orang tua yang bekerja di luar rumah,
anak-anak hanya dapat menemui mereka di malam hari ketika keduanya sudah sangat
lelah untuk memberikan perhatian yang cukup kepada mereka, ataupun mereka dapat
bersama-sama kembali di penghujung minggu, di saat mereka lebih memikirkan
rekreasi.
Kalau kita menilik
di Negara-negara maju seperti di Barat, anak-anak sebenarnya telah kehilangan
sosok seorang ibu, karena seperti ayahnya, ibunya pun lebih memilih bekerja di
kantor, sama halnya di mana mereka harus kehilangan sosok kakek neneknya.
Karena mereka pun telah dikucilkan di panti-panti jompo. Anak-anak dari
keluarga seperti ini biasanya tidak memiliki emosi yang seimbang, sehingga
mereka bisa saja berpikir pada sampai pada satu titik tidak ada gunanya lagi melanjutkan
hidup. Selain merebaknya aksi bunuh diri di kalangan anak-anak, kekerasan dalam
rumah tangga merupakan praktik dan pengalaman yang terus berkembang, baik
penganiayaan fisik, psikis, seks maupun yang bertujuan menunjukkan kekuatan dan
mengendalikan orang lain.
Era global yang
identik dengan modernisasi dan industrialisasi memang membawa dampak yang cukup
signifikan terhadap cara hidup masyarakat, termasuk dalam kehidupan keluarga.
menurut Didin Hafiduddin, modernisasi dan indutrialisasi telah membawa
perubahan-perubahan nilai kehidupan yang dapat dari hal-hal sebagai berikut :
1.
Pola hidup masyarakat dari sosial
religius cenderung ke arah individu materialistik
2.
Pola hidup sederhana dan produktif
cenderung ke arah konsumtif. Struktur keluarga extended family cenderung ke
arah nuclear family, bahkan sampai single parent family
3.
Hubungan kekeluargaan
(hubungan emosional ayah-ibu-anak) yang semula erat dan ketat (family right), cenderung menjadi
longgar (family loose)
4.
Nilai-nilai yang mendasar agama
cenderung berubah ke arah sekuler dan serba membolehkan (premisive society)
5.
Lembaga perkawinan (keluarga)
mulai diragukan dan masyarakat cenderung memilih hidup bersama tanpa nikah
6.
Ambisi karir dan materi sedemikian
rupa sehingga dapat mengganggu interpersonal, baik dalam keluarga maupun dalam
masyarakat.
Gaya hidup Barat
yang menggemborkan kesetaraan gender dan pembelaan hak-hak wanita akan
berpengaruh pada gaya hidup kaum wanita sebagai ibu rumah tangga dengan mencoba
berkarir ganda di luar rumah. Bukan berarti karir ganda dilarang, namun tidak
sedikit keluarga karir ganda ini mengakibatkan ketegangan dan krisis dalam
keluarga dan tidak jarang yang berujung pada perceraian bahkan broken home.
Ambisi karir ini mendorong istri untuk berkarir di luar yang akan mengakibatkan
: Pertama, suami sering mengeluh bahwa sejak istri turut bekerja dan berpenghasilan,
dirasakan wibawa dirinya terhadap istri menurun karena istri telah belajar
mandiri dan mengurangi ketergantungannya kepada suami. Kedua, bagi istri yang
karir dan berpenghasilan lebih tinggi dari pada penghasilan suami, dapat
mengakibatkan rasa rendah diri pada suami dan menimbulkan rasa cemburu. Ketiga,
peran sebagai kepala rumah tangga dan sebagai pencari nafkah dapat berbalik
manakala suami tidak bekerja. Kondisi seperti ini akan mengakibatkan rasa
rendah diri, harga diri menurun wibawa menurun di dahadapan istri dan anak-anak
berkurang, dan kendali kepemimpinan keluarga berpindah kepada istri.
Bukan hanya itu,
pergaulan bebas, seks bebas, aborsi, kenakalan remaja dan lain sebagainya akan
dengan mudah masuk ke dalam kehidupan keluarga dan akan mempengaruhi tradisi
dan ketenteraman serta keutuhan kehidupan rumah tangga. Dalam pandangan Barat,
untuk memenuhi kebutuhan seksual tidak harus melalui perkawinan. Bahkan di
Amerika banyak kaum cendikiawan modern menentang lembaga seksual dan perkawinan
menurut agama. Mereka mendukung model perkawinan percobaan (trial marriage) diberitakan dalam majalah Time edisi 14 April 1967
hal. 10 dan 12, sebagaimana dikutip Hammudah Abd al-Athi terdapat tiga bentuk
perkawinan. Pertama, kawin percobaan selama satu tahun. Kedua, kawin bersyarat (term marriage) yaitu kawin dikontrak
dalam jangka waktu tertentu. Sehabis jangka waktu itu, keduanya bisa menentukan
untuk hidup bebas kembali atau mengukuhkan perkawinan. Ketiga, hidup bersama
tanpa nikah (companionate marriage) dengan kesepakatan tanpa anak.
Model perkawinan
yang demikian menyebabkan struktur keluarga yang dibangun menjadi tidak teratur
dan tidak jelas. Masalah-masalah kehidupan keluarga yang semakin kompleks
banyak dihadapi oleh keluarga semacam ini di akhir abad 20. Ketidakjelasan
struktur keluarga dinyatakan pula oleh Graham Allan dari University of
Southamton : Di Barat, demografi keluarga tengah mengalami pergeseran. Batasan
keluarga dan kewajiban tiap anggotanya kian longgar. Bentuk ideal keluarga dan
hubungan-hubungan yang ada di dalamnya kian tidak jelas. Dengan kelonggaran
kewajiban terhadap keluarga memungkinkan rasa tanggung jawab pun longgar dan
jika tanggung jawab longgar, maka keutuhan keluarga semakin rentan terhadap
permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Kelonggaran dan lemahnya kaidah hukum
yang terkait dengan keluarga secara otomatis akan menjadikan keluarga hanya
sebagai tempat singgah.
Menurut Graham, di
Barat, satu-satunya elemen yang masih bertahan mungkin hanya kedudukannya
sebagai institusi privat. Sehingga sekarang berkembang pesat teori-teori
privatisasi keluarga yang sering dikaitkan dengan industrialisasi. Dampak lain
yang akan ditimbulkan oleh modernisasi global adalah meregangnya relasi
antaranggota keluarga dan relasi keluarga dengan masyarakat. Anggota keluarga
cenderung individualis. Kerenggangan antaranggota keluarga ini diakibatkan
kurangnya komunikasi di antara mereka. Suatu penelitian di lakukan menunjukkan
bahwa dalam belasan tahun terakhir ini frekuensi percakapan dalam keluarga menurun
seratus persen. Hal ini mengakibatkan tingginya angka perceraian dan broken
home. Bukan hanya itu, gaya hidup di era global ini mengakibatkan mengikisnya
kesakralan perkawinan sehingga perkawinan hanya dilihat dari sisi relasi
fungsional. Hal ini menimbulkan paham yang memandang tidak pentingnya
pernikahan dan memilih hidup bersama tanpa nikah.
Robert H. Lauer dan
Jeantte C. Lauer dari Universitas San Diego, Amerika Serikat telah melakukan
penelitian terhadap pasangan-pasangan hidup bersama tanpa nikah. Kesimpulan
dari penelitiannya adalah sebagai berikut :
1.
Mereka lebih mementingkan diri
sendiri daripada kebersamaan
2.
Mereka tidak memandang perkawinan
sebagai suatu hal yang suci (sakral), andai katapun mereka melaksanakan
perkawinan, hal itu dilakukan semata formalitas
3.
Mereka mengutamakan faktor seksual
dan percintaan dari pada faktor kejiwaan yang lebih mendasar, seperti kasih
sayang, cinta dan mencintai, rasa aman dan perlindungan (scurity feeling)
4.
Tidak mempunyai rasa tanggung
jawab sosial
5.
Lebih mengutamakan individu
(hak-hak asasi) dan hidup dalam masyarakat yang permisif
6.
Pola hidup mereka lebih
mengutamakan rasionalisasi alam pikir dan logika (yang semu),
yang didasari dorongan-dorongan instinktuil (naluri dasar). Dengan demikian
tingkat keberadaban manusia sebagai makhluk yang mulia sudah kembali menurun
7.
Kalaupun mereka ingin mengakhiri
masa hidup bersama tanpa nikah (sesudah berganti-ganti pasangan) dan hendak
berumah tangga (nikah), biasanya dilakukan pada masa usia menengah dan
menjelang usia senja.
Pola hidup demikian
tidak sejalan dengan aas-asas kesehatan jiwa, apalagi ditinjau dari segi agama,
moral, dan etik. Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang mulia dan beradab,
yang hidup dalam keteraturan, keseimbangan dalam hubungan dengan Tuhan, sesama
dan lingkungannya. Namun, kemajuan yang dicapai manusia (modernisasi) mempunyai
dampak pula, bukannya meninggikan harkat manusia bahkan sebaliknya, hal ini
disebabkan karena manusia enggan dituntun agama, dan lebih menuruti
dorongan-dorongan instinktuilnya.
D.
Alternatif Solusi
Selain sebagai
tantangan, globalisasi merupakan ancaman, sebagaimana yang diuraikan di atas.
Untuk menghadapi ancaman diperlukan sebuah landasan yang kokoh. Landasan ini
adalah ajaran agama. Dalam waktu bersamaan, untuk menghadapi tantangan, maka
juga perlu landasan motivasi, inspirasi dan akidah. Di sini perlu memperkuat
dan mempertegas landasan hidup agar mampu menghadapi ancaman dan terhindar
darinya. Dalam waktu bersamaan, agar mampu menjawab tantangan. Untuk itu, beberapa
hal di bawah ini perlu diperhatikan :
1.
Menumbuhkan kesadaran kembali
tentang tujuan hidup menurut Agama. Dalam pandangan Islam, manusia baik sebagai
hamba Allah maupun sebagai khalifah Allah, tetap dalam konteks mengabdi kepada
Allah dan berusaha untuk memperoleh ridha-Nya serta keselamatan dunia dan
akhirat. Di sini iman dan taqwa menjadi sangat penting untuk dijadikan landasan
hidup. Kita sadar bahwa kepuasan lahiriah yang pernah dinikmati oleh manusia,
hanyalah sementara. Dengan kesadaran itu, maka kita akan sanggup mengatur diri
kita. Dengan demikian, ketika kita akan terbawa arus globalisasi, kita akan
ingat kesadaran keberagamaan kita yang mempunyai aturan main untuk di dunia dan
akhirat
2.
Mempertanggungjawabkan apa yang
diperbuat di dunia, baik formalitas administratif sesuai ketentuan yang ada di
dunia sendiri maupun hakiki yang mempunyai konsekuensi akhirat kelak. Ketika
kita akan menceburkan diri dalam kehidupan globalisasi, maka kita juga selalu
sadar akan tanggung jawab kita sendiri terhadap apa yang kita perbuat. Sedangkan
untuk dapat berperan aktif dalam proses globalisasi dan proses kompetisi, salah
satu hal yang harus dilakukan adalah kajian ulang terhadap pemaknaan ulang
terhadap ajaran agama yang mencakup kajian manusia sebagai individu. Artinya
bagaimana menjadikan Islam sebagai ruh bagi setiap individu yang memeluknya
untuk dapat mampu bersaing menghadapi kompetisi globalisasi ini
Kehidupan keluarga,
Islam juga telah meletakkan dasar-dasar yang cukup kokoh dan tangguh untuk
membangun sebuah keluarga yang tangguh dalam bingkai kehidupan sakinah.
Ayat-ayat tentang keluarga mendapatkan perhatian khusus di dalam Al-Quran dan
dibahas secara rinci. Untuk menghadapi tantangan zaman dan arus globalisasi,
apabila nilai-nilai agama yang terkandung di dalam teks-teks agama dijadikan
dasar, maka niscaya kehidupan keluarga akan dapat bertahan. Selain itu yang
harus dilakukan adalah mempertahankan prinsip-prinsip dan nilai moral yang ada
dalam masyarakat.
Apabila prinsip dan
nilai ini hidup, maka perubahan apapun yang terjadi tidak akan mampu
mengendalikan masyarakat, karena di dalam dirinya sudah tertanam prinsip dan
nilai tadi. Apalagi Islam yang nota bene kaya dengan nilai-nilai moral yang
sangat tinggi, perubahan dan tantangan akan dapat diikuti tanpa keluar dari
koridor dan prinsipnya. Islam telah menempatkan keluarga pada posisi dan
kedudukan yang sangat penting dan strategis dalam pembinaan pribadi dan
masyarakat. Baik buruknya kepribadian seseorang sangat tergantung pada
pembinaan dalam keluarga. Pembinaan keluarga ditujukan untuk melahirkan jalinan
cinta kasih (mawaddah war rahmah. Jalinan cinta kasih atas dasar agama
merupakan sumber utama kebahagiaan keluarga, sehingga memungkinkan setiap
anggota keluarga mengembangkan kepribadiannya secara baik dan utuh. Karena itu,
dalam pandangan ajaran Islam, kesamaan agama dan keyakinan suami istri
merupakan hal yang mutlak. Keluarga dalam pandangan Islam bukanlah sekedar
tempat berkumpulnya orang-orang yang terikat karena perkawinan maupun
keturunan, akan tetapi mempunyai fungsi yang sedemikian luas.
Oleh karena itu
untuk mempertahankan ekisistensi kehidupan keluarga sakinah salah satu
alternatif yang sangat mungkin adalah memperdalam dan meng-intensif-kan
penanaman dan pengamalan nilai-nilai ajaran agama dalam setiap anggota keluarga
dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan memperdalam
pendidikan agama. Pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk
pertumbuhan total seorang anak didik. Pendidikan agama tidak benar jika dibatasi
hanya kepada pengertian-pengertian yang konvensional dalam masyarakat. Meskipun
pengertian pendidikan agama yang dikenal dalam masyarakat itu tidaklah
seluruhnya salah, jelas sebagian besar adalah baik dan harus dipertahankan-
namun tidak dapat dibantah lagi bahwa pengertian seperti ini harus
disempurnakan. Kalau kita pahami bahwa agama akhirnya menuju kepada
penyempurnaan berbagai keluhuran budi.
Oleh karena itu,
peran orang tua dalam mendidik anak melalui pendidikan keagamaan yang benar
adalah amat penting. Dan di sini yang ditekankan adalah pendidikan, bukan
pengajaran. Sebagaian dari pendidikan itu memang dapat dilimpahkan kepada
lembaga atau orang lain terutama hanyalah pengajaran agama, yang berupa latihan
dan pelajaran membaca bacaan-bacaan keagamaan, termasuk membaca Al-Quran dan
mengerjakan ritus-ritus. Pendidikan agama dalam rumah tangga tidak cukup hanya
berupa pengajaran agama kepada anak tentang segi-segi ritual dan formal agama.
Penagajaran ini, sebagaimana halnya yang ada di sekolah oleh guru agama, dalam
rumah tangga pun dapat diperankan oleh orang lain, yaitu guru ngaji yang
sekarang mulai populer dalam masyarakat kita. Meskipun guru ngaji dapat
bertindak sebagai pendidik agama, namun peran mereka tidak akan dapat
menggantikan peran orang tua secara sempurna atau sepenuhnya.
Alternatif lain
yang dapat digunakan menjaga kelangsungan kehidupan keluarga sakinah adalah
dengan mengadakan training-training kiat membangun keluarga sakinah. Hal ini
sudah banyak diterapkan pada masyarakat perkotaan. Dengan diadakan training
seperti ini diharapkan para anggota keluarga dapat membawa diri dan sekaligus
menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman dan lingkungan sosialnya. Karena mau
tidak mau institusi keluarga harus bergerak secara dinamis mengikuti irama
perkembangan zaman dan kondisi sosio-kultural.
Alternatif solusi
di atas sifatnya antisipatif. Jadi apabila dalam sebuah keluarga sudah terkena
dampak globalisasi dan tidak dapat menyesuaikan diri sehingga menghilangkan
keseimbangan dalam keluarga, maka alternatif lain yang mungkin dapat digunakan
untuk menyelesaikannya adalah dengan terapi keluarga, baik terapi marital
mauppun terapi parental. Terapi merupakan cara yang cukup signifikan untuk
membantu keluarga dalam menyelesaikan problem-problem keluarga. Dalam kerangka
Islam, dengan munculnya istilah psikologi Islami, yang sudah berkiprah dalam
bidang terapi dan konseling diharapkan dapat membantu menyelesaikan
masalah-masalah yang timbul dalam keluarga.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Institusi keluarga merupakan
fondasi bagi kehidupan masyarakat, oleh karena itu ia membutuhkan perhatian
yang serius agar selalu eksis. Eksistensi keluarga sangat tergantung pada
tingkat ketenangan dan kebahagiaan serta kesejahteraan anggotanya. Secara garis
besar, untuk menjamin kebahagiaan atau ke-sakinahan keluarga harus terpnuhinya
dua unsur pokok, yaitu materi dan imateri yaitu moral spiritual. Keduanya
mempunyai kedudukan yang sama dalam menjamin kelangsungan kebahagiaan oleh
karena itu harus sama-sama dipenuhi demi terciptanya keluarga sakinah atau
sejahtera. Era globalisasi yang datang seiring dengan bergulirnya waktu membawa
dampak yang sangat signifikan dalam kehidupan keluarga, baik dampak positif
maupun negatif.
1.
Dampak positif seperti mudahnya
mendapatkan informasi baik tentang politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan
bahkan sumber tentang agama serta mudahnya akses mobilitas
2.
Dampak negatif globalisasi antara
lain pudarnya nilai-nilai kebudyaan lokal, dekadensi moral, perubahan gaya
hidup (life style) yang mempengaruhi
perilaku individu-individu anggota keluarga dan bahkan menghilangkan kesakralan
relasi antarsesama anggota keluarga.
Struktur keluarga extended family cenderung berubah ke
arah nuclear family, bahkan sampai single parent family, hubungan kekeluargaan
(hubungan emosional ayah-ibu-anak) yang semula erat dan ketat (family right), cenderung menjadi
longgar (family loose), nilai-nilai
yang mendasar agama cenderung berubah ke arah sekuler dan serba membolehkan (premisive society), lembaga perkawinan
(keluarga) mulai diragukan dan masyarakat cenderung memilih hidup bersama tanpa
nikah, ambisi karir dan materi sedemikian rupa sehingga dapat mengganggu
interpersonal, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Hampir semua
pembahasan tentang keluarga sakinah, baik dari konsep Barat, Al-Quran dan
al-sunnah sepakat memasukan unsur morla spiritual sebagai pilar utama untuk
mempertahankan keluarga sakinah. Begitu juga, untuk mempertahankan eksistensi
keluarga sakinah di era global ini, perlunya penanaman nilai-nilai moral
spiritual agama kepada setip anggota keluarga..
B.
SARAN
Apabila nilai-nilai
agama yang terkandung di dalam teks-teks agama dijadikan dasar pendidikan
keluarga, maka niscaya kehidupan keluarga akan dapat bertahan. Selain itu yang
harus dilakukan adalah mempertahankan prinsip-prinsip dan nilai moral yang ada
dalam masyarakat. Karena niali-nilai lokal ini sebagai identitas kearifan lokal
(local wisdom) yang secara natural dapat diterapkan sesuai dengan kondisi
sosio-kultural tanpa bertabrakan atau bertentangan dengan norma agama dan tidak
memaksa masyarakat untuk merubah gaya hidupnya secara radikal.
DAFTAR PUSTAKA
Melawan
Globalisasi : Reinterpretasi Ajaran Islam.
Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Dadang, Hawari.
1997. Al-Quran : Ilmu Kesehatan Jiwa dan
Jiwa. Yogyakarta.
PT. Dana Bhakti Prima Yasa
Elisabeth
Guthrie, M. D. dan Kathy Mathews. 2003. Anak
Sempurna atau Anak Bahagia: Dilema Orangtua Modern, /alih bahasa Ida
Sitompul. Bandung. Mizan.
Ensiklopedia
Ilmu-ilmu Sosial. 2000. Artikel, oleh Adam Kuper & Jessica Kuper, alih bahasa Haris Munandar. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Hammudah Abd
al-Athi. 1984. The Family Structure in
Islam (Keluarga Muslim, alih bahasa Anshari Thayyib. Surabaya. PT. Bina
Ilmu
Koentjaraningrat. 2010. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Penerbit
Djambatan. Jakarta
Sholehuddin. 2010. Pluralisme Agama dan
Toleransi. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional.
Jakarta.
Shalih, Syaikh.
2002. Harga Diri dan Kehormatan Rumah
Tangga Muslim. At-Tibyan. Solo
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja
Grafindo, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar