Sabtu, 09 April 2016

MEMPERINGATI; HARI BUKA AIB NASIONAL “ANTARA KEBENARAN DAN KEDUSTAAN”



MEMPERINGATI; HARI BUKA AIB NASIONAL
“ANTARA KEBENARAN DAN KEDUSTAAN”

Pada sebuah analitik yang mengarah pada sebuah studi kritik, perilaku sosial masyarakat yang menyimpang merupakan rekonstruksi ide-ide cemerlang dan rasional. Hal inilah yang mendasari, seseorang dalam sebuah tindakan sosialnya pertimbangan asas maslahat. Namun, jika hal tersebut tidak mampu tertata oleh ruang ide yang baik maka kesesatan dan kemunafikkan perilaku yang akan ditimbulkan.
Sebuah fenomena sosial yang menarik dan unik menjelang pemilihan capres dan cawapres, walaupun terbilang bukan pertama kali dalam melakukan pemilihan calon pemimpin bangsa ini, namun ada hal penting yang harus senantiasa diperhatikan terkait dengan nilai-nilai demokrasi selama berlangsungnya pemilihan. Pada dasarnya proses pemilu adalah pendidikan politik yang real bagi semua kalangan masyarakat, mulai dari tingkat terbawah sampai tingkat tertinggi. Proses pendidikan politik tidak hanya terbatas pada strategi untuk menang akan tetapi kemudian, bagaimana seseorang mampu memposisikan dirinya dan orang lain sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat seburuk apapun dimata orang banyak, itulah nilai demokrasi sesungguhnya. Namun, jika pemilu tersebut dilakukan dengan cara-cara yang jauh dari nilai dan norma sosial, menjatuhkan martabat kemanusiaan maka esensi dari politik-demokrasi akan tercedarai dan berdampak sistemik pada kepribadian-perilaku masyarakat.

Nilai-nilai demokrasi “Luntur”
Pada pemilihan 01 dan 02 pemimpin negara ini, tidak sedikit yang melakukan cara-cara yang “menodai atau memperkosa” nilai-nilai demokrasi itu sendiri yang notabenenya sebuah paradigma kesejahteraan masyarakat. Ketidaksesuaian dengan nilai-nilai demokrasi tersebut, akan mengarah pada persoalan kepribadian individu dan masyarakat, sehingga menjelang pilpres saat ini, tidak sedikit yang melakukan manipolitik menghalalkan segala cara termasuk (blakc campign), membuka aib-aib para calon pemimpin bangsa dan negara, dengan tujuan bahwa adanya hal tersebut mampu merubah pilihan masyarakat untuk memilih pilihannya (tidak punya aib). Pertanyaan kemudian, betulkah hal tersebut mampu?, adakah manusia yang tidak memiliki aib?, haruskah “ditenjangi” terlebih dahulu baru bisa memimpin?, haruskah diketahui semua aibnya baru bisa memimpin? Jelas bahwa ini merupakan main hakim sendiri terhadap hak-hak kemanusiaan seseorang. Sebuah analisa dan perenungan bahwa, sekiranya seseorang yang ingin memimpin bangsa/negara penuh dengan aib, dan selama proses menuju pemilihan, aibnya itu telah “dibongkar” dan diketahui semua lapisan masyarakat dan terpilih sebagai suara terbanyak melalui pesta demokrasi, apa yang akan terjadi? Jika pemimpinya penuh dengan aib, bagaimana dengan masyarakatnya, bukankah lahirnya seorang pemimpin berasal dari masyarakat itu snediri, asumsi yang berkembang; sudah tidak ada lagi yang bermoral sehingga memilih pemimpin yang tidak bermoral, otomatis pemimpin tidak bermoral diangkat oleh masyarakat yang tidak bermoral pula. Haruskah terdapat pada setiap pemilihan dan semua kandidat akan “tertelanjangi” oleh masyarakatnya sendiri, “kengeriannya” sehingga dalam setiap pemilihan pilpres 5 (lima) tahun sekali akan ada peringatan HARI BUKA AIB NASIONAL karena seseorang akan diketahui aibnya jika mereka berani untuk menjadi kandidat capres dan cawapres. Sungguh malam nasibmu presiden terpilih, jika engkau terpilih bersamaan dengan itu, aibmu sendiri diketahui oleh masyarakatmu. Sekiranya masyarakatmu taat padamu itu hanya bagian dari kamuflase, sekiranya masyarakatmu mendengar padamu itu hanya pembiaran terhadap ke-aib-an mu. Lebih ironinya lagi, yang melakukan hal tersebut adalah orang-orang yang mengangap diri meraka senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Sadar atau tidak, dengan adanya hal tersebut, peran serta kaum agamais (tokoh agama; ulama/kiyai, ustadz) dan akademisi (pakar/ahli) tidak mampu lagi memberikan kontribusi ide-ide cerdasnya secara independen karena keberpihakannya pada salah satu kandidat. Termasuk pada tataran intansai/lembaga yang diharapkan independensinya untuk mengawal proses berlangsungnya pemilihan pemimpin negara ini, tidak mampu memberikan kontribusi banyak. Seburuk inikah citra demokrasi yang ada di Indonesia? Meminjam bahasa Prof. Sahteapy (pakar hukum tatangera Indonesia) bahwa, “Indonesia bukan negara demokrasi tapi negara pencitraan”. Jika kita memaknai perkataan tersebut, maka akan kita temukan ketidak dewasaan dan ketidaksiapan negara ini dalam menjadikan demokrasi ini sebagai proses peningkatan mutu dan kesejahteraan masyarakat. Melaingkan hanya sebagai mediasi untuk mencari popularitas dan memperkaya diri. Tidak terpungkiri, menjelang pilpres ini, tidak sedikit dari oknum pemerintahan memberikan pendidikan politik yang jauh dari nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya. Padahal pada dasarnya sebagai orang yang duduk dipemerintahan dan memegang amanah untuk berlaku netral ternyata tidak mampu berlaku netral, bahkan berimplikasi pada kinerja para pejabat tersebut. Entahlah, apakah betul-betul menjalangkan nilai-nilai demokrasi atau hanya untuk memperkokoh jabatan sebagai “penjilat” kekuasaan. Profil inikah yang mampu membawa bangsa ini untuk memberikan contoh dan pelajaran dalam berdemokrasi? Padahal seharusnya merekalah yang memberikan pemahaman pada masyarakat agar senantiasa tertib dan terarah untuk berdemokrasi dengan cerdas.     

Sebuah pertanda bahwa pada dasarnya proses kesadaran dan kedewasaan dalam berdemokrasi di indonesia belum mampu untuk dilakukan dengan cara yang bijak dan benar. Jika hal tersebut tetap terjadi, maka menangpun dalam pemilu adalah merupakan aib. pepatah mengatakan “menang jadi arang kalah jadi abu”. Siapapun yang akan terpilih pada capres dan cawapres dari hasil pesta demokrasi, itulah pemimpin yang harus dihormati, dihargai dan dijadikan mitra untuk membangun bangsa dan negara demi terwujudnya masyarakat madani. “Stop Kampanye hitam pilpres”. 

Tidak ada komentar: