MEMPERINGATI; HARI
BUKA AIB NASIONAL
“ANTARA KEBENARAN
DAN KEDUSTAAN”
Pada sebuah analitik yang mengarah pada sebuah
studi kritik, perilaku sosial masyarakat yang menyimpang merupakan rekonstruksi
ide-ide cemerlang dan rasional. Hal inilah yang mendasari, seseorang dalam
sebuah tindakan sosialnya pertimbangan asas maslahat. Namun, jika hal tersebut
tidak mampu tertata oleh ruang ide yang baik maka kesesatan dan kemunafikkan
perilaku yang akan ditimbulkan.
Sebuah fenomena sosial yang menarik dan unik
menjelang pemilihan capres dan cawapres, walaupun terbilang bukan pertama kali
dalam melakukan pemilihan calon pemimpin bangsa ini, namun ada hal penting yang
harus senantiasa diperhatikan terkait dengan nilai-nilai demokrasi selama
berlangsungnya pemilihan. Pada dasarnya proses pemilu adalah pendidikan politik
yang real bagi semua kalangan masyarakat, mulai dari tingkat terbawah sampai
tingkat tertinggi. Proses pendidikan politik tidak hanya terbatas pada strategi
untuk menang akan tetapi kemudian, bagaimana seseorang mampu memposisikan
dirinya dan orang lain sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat seburuk
apapun dimata orang banyak, itulah nilai demokrasi sesungguhnya. Namun, jika
pemilu tersebut dilakukan dengan cara-cara yang jauh dari nilai dan norma
sosial, menjatuhkan martabat kemanusiaan maka esensi dari politik-demokrasi
akan tercedarai dan berdampak sistemik pada kepribadian-perilaku masyarakat.
Nilai-nilai
demokrasi “Luntur”
Pada pemilihan 01 dan 02 pemimpin negara ini,
tidak sedikit yang melakukan cara-cara yang “menodai atau memperkosa” nilai-nilai
demokrasi itu sendiri yang notabenenya sebuah paradigma kesejahteraan
masyarakat. Ketidaksesuaian dengan nilai-nilai demokrasi tersebut, akan
mengarah pada persoalan kepribadian individu dan masyarakat, sehingga menjelang
pilpres saat ini, tidak sedikit yang melakukan manipolitik menghalalkan segala
cara termasuk (blakc campign),
membuka aib-aib para calon pemimpin bangsa dan negara, dengan tujuan bahwa
adanya hal tersebut mampu merubah pilihan masyarakat untuk memilih pilihannya (tidak
punya aib). Pertanyaan kemudian, betulkah hal tersebut mampu?, adakah manusia
yang tidak memiliki aib?, haruskah “ditenjangi” terlebih dahulu baru bisa
memimpin?, haruskah diketahui semua aibnya baru bisa memimpin? Jelas bahwa ini merupakan
main hakim sendiri terhadap hak-hak kemanusiaan seseorang. Sebuah analisa dan
perenungan bahwa, sekiranya seseorang yang ingin memimpin bangsa/negara penuh
dengan aib, dan selama proses menuju pemilihan, aibnya itu telah “dibongkar” dan
diketahui semua lapisan masyarakat dan terpilih sebagai suara terbanyak melalui
pesta demokrasi, apa yang akan terjadi? Jika pemimpinya penuh dengan aib,
bagaimana dengan masyarakatnya, bukankah lahirnya seorang pemimpin berasal dari
masyarakat itu snediri, asumsi yang berkembang; sudah tidak ada lagi yang bermoral
sehingga memilih pemimpin yang tidak bermoral, otomatis pemimpin tidak bermoral
diangkat oleh masyarakat yang tidak bermoral pula. Haruskah terdapat pada
setiap pemilihan dan semua kandidat akan “tertelanjangi” oleh masyarakatnya
sendiri, “kengeriannya” sehingga dalam setiap pemilihan pilpres 5 (lima) tahun
sekali akan ada peringatan HARI BUKA AIB NASIONAL karena seseorang akan
diketahui aibnya jika mereka berani untuk menjadi kandidat capres dan cawapres.
Sungguh malam nasibmu presiden terpilih, jika engkau terpilih bersamaan dengan
itu, aibmu sendiri diketahui oleh masyarakatmu. Sekiranya masyarakatmu taat
padamu itu hanya bagian dari kamuflase, sekiranya masyarakatmu mendengar padamu
itu hanya pembiaran terhadap ke-aib-an mu. Lebih ironinya lagi, yang melakukan
hal tersebut adalah orang-orang yang mengangap diri meraka senantiasa
menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Sadar atau tidak, dengan adanya hal tersebut,
peran serta kaum agamais (tokoh agama; ulama/kiyai, ustadz) dan akademisi
(pakar/ahli) tidak mampu lagi memberikan kontribusi ide-ide cerdasnya secara
independen karena keberpihakannya pada salah satu kandidat. Termasuk pada
tataran intansai/lembaga yang diharapkan independensinya untuk mengawal proses
berlangsungnya pemilihan pemimpin negara ini, tidak mampu memberikan kontribusi
banyak. Seburuk inikah citra demokrasi yang ada di Indonesia? Meminjam bahasa
Prof. Sahteapy (pakar hukum tatangera Indonesia) bahwa, “Indonesia bukan negara
demokrasi tapi negara pencitraan”. Jika kita memaknai perkataan tersebut, maka
akan kita temukan ketidak dewasaan dan ketidaksiapan negara ini dalam
menjadikan demokrasi ini sebagai proses peningkatan mutu dan kesejahteraan
masyarakat. Melaingkan hanya sebagai mediasi untuk mencari popularitas dan
memperkaya diri. Tidak terpungkiri, menjelang pilpres ini, tidak sedikit dari
oknum pemerintahan memberikan pendidikan politik yang jauh dari nilai-nilai
demokrasi yang sesungguhnya. Padahal pada dasarnya sebagai orang yang duduk
dipemerintahan dan memegang amanah untuk berlaku netral ternyata tidak mampu
berlaku netral, bahkan berimplikasi pada kinerja para pejabat tersebut.
Entahlah, apakah betul-betul menjalangkan nilai-nilai demokrasi atau hanya
untuk memperkokoh jabatan sebagai “penjilat” kekuasaan. Profil inikah yang
mampu membawa bangsa ini untuk memberikan contoh dan pelajaran dalam
berdemokrasi? Padahal seharusnya merekalah yang memberikan pemahaman pada
masyarakat agar senantiasa tertib dan terarah untuk berdemokrasi dengan cerdas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar