PEMULUNG
SEBAGAI FENOMENA SOSIAL
DI TPA SAMPAH TAMANGAPA KOTA MAKASSAR
SCAVENGER AS A SOCIAL PHENOMENON
IN TAMANGAPA
LANDFILL IN MAKASSAR
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Sosiologi
Universitas Muhammadiyah Makassar
Jalan Sultan Alauddin
/ Tala Salapang No. 259 Makassar,
90221
Pos-el: sam_un88@yahoo.co.id
Handphone: 081 241 429 241
ABSTRACT
The study examining (1) scavenging as the principal job in landfill in Makassar, (2) the social relation of
scavengers people in Tamangapa landfill in Makassar, the social relation of
scavengers people in Tamangapa landfill in Makassar and (3) the social impact
which causes due to the existence of scavengers as a profession. The study is a descriptive qualitative research,
target and informant are community Tamangapa landfill scavengers in Makassar
collecting data technique using observation, interview and literature. The
result demonstrates that prefession as a scavengers is life choice because able
to meet all your daily needs and improve living standards, social interaction
powerful integrated and interconnected based on the same employment relation
and social impact on a) the ability to meet all the needs of life in increased
revenue, a reduction of unemployement and reduce the quantity of garbage, b) social and
lifestyle patterns, influenced by the imbalance between education and
the life of hedonism, pragmatism impact on early
marriage due to modernization
and globalization.
Keywords:
Scavengers, interaction and social impact.
ABSTRAK
Penelitian
ini untuk mengetahui (1) memulung sebagai pekerjaan pokok di TPA Sampah Tamangapa
kota Makassar, (2) hubungan sosial di kalangan masyarakat pemulung di TPA sampah
Tamangapa kota Makassar dan (3) dampak sosial yang di timbulkan akibat eksisnya
pemulung di TPA sampah Tamangapa kota Makassar. Jenis penelitian ini deskriptif-kualitatif,
sasaran dan informan adalah masyarakat pemulung di TPA sampah Tamangapa kota
Makassar. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan
literatur. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa profesi sebagai seorang
pemulung merupakan pilihan karena mampu memenuhi segala kebutuhan sehari-hari
dan meningkatkan taraf hidup, hubungan (interaksi) sosial terintegrasi kuat dan
saling berhubungan didasarkan pada hubungan pekerjaan yang sama (memulung) dan
berdampak sosial pada a) kemampuan untuk memenuhi segala kebutuhan hidup dalam
peningkatan pendapatan, pengurangan angka jumlah pengangguran dan mengurangi
kwantitas sampah, b) pola dan gaya hidup sosial, dipengaruhi oleh ketidakseimbangan
antara pendidikan dan kehidupan hedonisme, pragmatisme berdampak pada pernikahan
dini akibat arus modernisasi dan globalisasi.
Kata kunci: pemulung, interaksi dan
dampak sosial.
PENDAHULUAN
Fenomena perkembangan kehidupan sosial manusia, telah menjadi sebuah
keniscayaan yang tidak terhindarkan oleh gejolak pengaruh globalisasi dan
modernisasi khususnya globalisasi ekonomi.
Globalisasi sering dipahami sebagai proses internasionalisasi
perekonomian yang ditandai dengan semakin terbukanya perdagangan dan peredaran
uang antar negara. (Suharto, 2010:239).
Seiring berkembangnya pola pikir manusia, maka tidak dapat dipisahkan
dengan tingginya tuntutan kebutuhan hidup yang serba kompleks. Masyarakat lebih
banyak mengandalkan dan menggunakan tenaga di banding dengan berpikir kereatif,
inovatif untuk melakukan sebuah pekerjaan. Inilah salah satu yang melatar
belakangi tingginya angka pengangguran dalam dunia pendidikan dengan dalih
bahwa yang penting dalam upaya peningkatan taraf hidup bisa terealisasi.
Kurangnya lapangan pekerjaan merupakan dampak dari tingginya persaingan, akibat
yang ditimbulkan konsep hidup paradigma pragmatisme dan hedonisme yang
cenderung bekerja dengan mudah dan menghasilkan banyak materi tanpa memikirkan akibat
dari pekerjaan tersebut.
Maka dengan sendirinya, berdasarkan kesamaan dalam kehidupan sosial dan
pekerjaan sosial, dan intensnya hubungan interaksi dalam sebuah masyarakat dan
lingkungan, akan terbentuk komunitas sosial berdasarkan kesamaan. Hubungan
emosional antara individu satu dengan individu lain telah ada sejak manusia itu
dilahirkan. Sehingga potensi ikatan emosional inilah yang membuat manusia
senantiasa cenderung untuk hidup bersama dan saling membutuhkan dan memenuhi
kebutuhan antara satu dengan yang lain.
Perasaan komunitas (Community
Santiment) memiliki unsur-unsur, antara lain:
a.
Seperasaan: sebagai in group kepentingan-kepentingan
individu diselaraskan dengan kepentingan-kepentingan komunitasnya, sehingga
merasakan komunitasnya sebagai struktur sosial masyarakat.
b.
Sepenanggungan: setiap individu sadar akan pada status dan perannya
dalam komunitasnya dan tahu akan kondisi komunitasnya sehingga saling menyadari
status dan perannya untuk membantu sesama anggota komunitasnya.
c.
Saling memerlukan: setiap individu dalam komunitasnya merasakan dirinya
bergantung pada komunitasnya, meliputi kebutuhan fisik dan kebutuhan
psikologinya. Kebutuhan fisiknya meliputi makanan, sandan, dan perumahan. Adapun
kebutuhan psikologinya meliputi antara lain kebutuhan akan perlindungan pada
komunitasnya, apabila mendapat gangguan dari luar, sehingga merasa tidak
ketakutan. (Mc Iver dan Charles dikutip oleh Abustam dan Irwansyah, 2010:13).
Kesamaan pekerjaan atau mata pencaharian, menimbulkan kesadaran kolektif
dalam komunitasnya untuk memberi arti antara satu dengan yang lain. Ikatan
seperasaan dan sepenanggungan pada komunitas tertentu, akan menimbulkan
integritas yang kuat dan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dalam mewujudkan
kebutuhan fisiologis dan kebutuhan psikologis. Keadaan tersebut di atas, sama
dengan kehidupan yang dialami para pemulung yang ada di TPA sampah Tamangapa
kota Makassar. Dengan adanya ikatan seperasaan merasa bagian dari kelompok
pemulung, saling memerlukan merasakan dirinya bergantung pada komunitasnya dan
saling menyadari status dan perannya untuk membantu sesama anggota
komunitasnya. Sehingga
tidak sedikit kita melihat dari jumlah pemulung yang ada, terkhusus di
TPA sampah Tamangapa kota Makassar mengalami perubahan dan peningkatan pada
taraf kebutuhan dan menjadi prestise tersendiri. Apakah dari hal peningkatan
pendapatan melakukan aktivitas memulung siang maupun malam, peralihan pekerjaan
dari pemulung ke penadah barang bekas, pemulung yang melakukan cicilan motor
(kredit), pemulung yang menggunakan hand phone (HP) modern (touch screan) dan bahkan tidak sedikit
diantara mereka melakukan pekerjaan ganda. Setelah melakukan aktivitas memulung
di lanjutkan pada pekerjaan sebagai buruh kasar/bangunan dan lain-lain. Ini
merupakan akibat dari pengaruh dan tuntutan arus modernisasi dan globalisasi,
yang memaksa dan memberikan kesadaran untuk menjadikan masyarakat pemulung ikut
dalam pergulatan dan menjadi korban pengaruh dari arus modernisasi dan
globalisasi. Dari hal tersebut, maka tidak sedikit di antara mereka menjadikan
memulung sebagai pekerjaan utamanya (pokok) dan mengikut sertakan kaum kerabat
terdekat dari tanah kelahiran (kampung halaman) yang rela meninggalkan
pekerjaan sebagai buruh tani atau bangunan menuju ke Makassar hanya untuk
bekerja sebagai seorang pemulung.
Setiap lapisan masyarakat mempunyai penghargaan tertentu terhadap
hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih
tinggi terhadap hal-hal, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang
lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Jika suatu masyarakat lebih menghargai
kekayaan material daripada kehormatan, misalnya, maka mereka yang lebih banyak
mempunyai kekayaan material akan menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan pihak-pihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan
masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam
kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal. (Soekanto, 2010:227).
Berpikir materialistis menjadikan sikap seseorang pada pekerjaan
tertentu, yang mana lebih mementingkan pekerjaan yang menghasilkan materi yang
banyak tanpa memperhatikan kepuasan bathiniyah dalam melakukan pekerjaan
tersebut. Otomatis akan berpengaruh pada kebutuhan fisiologis yang mencakup
aspek perubahan sosial, meliputi makanan, sandang dan perumahan. Pola pikir
untuk berpendidikan relatif rendah disebabkan oleh terpenuhinya segala
kebutuhan materi tanpa perlu menempuh jenjang pendidikan, sehingga gaya hidup
yang menjadi kepribadian adalah, gaya hidup konsumerisme dan hedonisme
berlebihan.
Keberadaan pemulung di kota Makassar banyak mendapatkan keuntungan dari
pekerjaan bergelut di dunia sampah, khususnya di wilayah TPA sampah Tamangapa.
Jika kita melihat dari sudut pandang status sosial maka pekerjaan memulung ini
adalah pekerjaan rendahan alias kotor. Karena dimana setiap melakukan pekerjaan
ini pasti berhadapan dengan sampah-sampah yang baunya sangat menyengat dan
membuat manusia tidak nyaman untuk berada disekitar sampah tersebut. Namun bersamaan
dengan itu, para pemulung menjadikan sebagai sumber rejeki, modal usaha, dan
modal sosial dalam peningkatan taraf hidup.
Menjadi seorang pemulung tidak hanya didasari dan disebabkan oleh tidak
adanya pekerjaan lain atau tidak mempunyai kemampuan tertentu untuk melakukan
pekerjaan selain memulung, melainkan karena bekerja sebagai seorang pemulung akan
memperoleh manfaat besar, sehingga sebagian dari anggota masyarakat memutuskan
untuk memilih menjadi seorang pemulung dalam kehidupan sehari-hari. TPA sampah
Tamangapa, sebagai lahan tempat menampung sampah kota, juga sebagai sumber rejeki
terkhusus bagi warga yang bertempat tinggal (menetap) di sekitar TPA sampah
tersebut, tidak sedikit yang menggantungkan nasib pada pekerjaan sebagai
pemulung. Dengan demikian, pekerjaan memulung telah dijadikan oleh warga
masyarakat sekitar TPA sampah Tamangapa sebagai pekerjaan utama atau pekerjaan
pokok dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka berdasarkan uraian di atas
yang menjadi masalah adalah mengapa memulung dijadikan sebagai pekerjaan pokok
(utama) di TPA sampah Tamangapa Kota Makassar? Dan bagaimana dampak yang ditimbulkan akibat eksisnya pemulung di TPA
sampah Tamangapa kota Makassar?
Sehingga tujuan dari penulisan arikel ini untuk
mengetahui pekerjaan memulung yang dijadikan sebagai pekerjaan pokok di TPA
sampah Tamangapa kota Makassar dan dampak yang ditimbulkan akibat eksisnya
pemulung sebagai pekerjaan pokok.
METODE
Data yang digunakan dalam artikel ini adalah deskriptif-kualitatif,
karena bertujuan untuk memperoleh gambaran secara mendalam tentang pemulung
sebagai fenomena sosial di TPA sampah Tamangapa kota Makassar.
Bogdan dan Taylor menjelaskan bahwa “metode kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini
diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh)”. (Bogdan dan
Taylor dikutip oleh Moleong, 2001:3) Sedangkan Rianse & Abdi “Penelitian
kualitatif berupaya memberikan penggambaran secara mendalam tentang situasi
yang diteliti”. (Rianse & Abdi, 2009:9).
Pendekatan kualitatif cenderung menggunakan analisis induktif, dimana
dalam proses penelitian dan pemberian makna terhadap data dan informasi yang
lebih ditonjolkan dengan ciri utama pendekatan ini adalah bentuk narasi yang
bersifat kreatif dan fokus terhadap fenomena yang dikaji atau diteliti.
Penelitian kualitatif dapat di desain untuk memberikan bantuannya terhadap
teori, praktis, kebijakan, tindakan dan masalah sosial. Dalam hal ini, untuk memudahkan
observasi/pengamatan dan konseptualisasi fokus penelitian, maka fokus tersebut
perlu dideskripsikan secara kongkrit. Dalam menentukan seorang informan,
peneliti melakukan teknik purposive sampling atau pengambilan sampel secara
sengaja yang sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan dengan
pertimbangan tertentu dan sebagai salah satu teknik dalam penelitian yang
bersifat kualitatif.
PEMBAHASAN
- Memulung sebagai Fenomena Sosial
Pemulung adalah salah satu profesi yang banyak dilakukan oleh masyarakat
kelas bawah khususnya di Kelurahan Tamangapa kota Makassar, oleh karena tidak
sedikit hasil dan keuntungan yang dapat diperoleh dengan bekerja sebagai seorang
pemulung, banyak yang beralih pekerjaan dari pekerjaan berkebun, tukang batu,
pedagang, petani dan buruh tani beralih menjadi seorang pemulung. Bahkan
pekerjaan tersebut sudah menjadi pekerjaan pokok untuk memenuhi segala
kebutuhan hidup baik primer, sekunder dan tersier. Sebagaimana yang dialami
oleh ibu Dahlia, yang menjelaskan bahwa:
Awalnya saya dan suamiku bekerja kebun di Sinjai
yang penghasilannya tidak menentu, makan saja terkadang dalam 1 hari tidak
makan karena tidak ada uang beli beras, biasa juga hanya makan nasi jagung, tapi
setelah sepupuku yang sudah bekerja di Makassar sebagai pemulung dia tawarkan
saya ke Makassar untuk menjadi seorang pemulung awalnya saya tidak berminat
tapi setelah mendengar ceritanya tentang pendapatannya yang banyak maka
lama-kelamaan saya ke Makassar bersama suami untuk mencoba bekerja sebagai
pemulung. Setelah penghasilan bagus maka sayapun memanggil keluarga yang ada di
kampung agar ke sini untuk bekerja. (Wawancara Kamis 27 Februari 2014).
Penjelasan informan di atas menggambarkan, pada awalnya dia tidak yakin
dengan bekerja sebagai seorang pemulung. Akan tetapi, dengan tuntutan kebutuhan dan pekerjaan berkebun yang tidak
memberikan kelayakan hidup, dia mencoba untuk beralih pekerjaan, meninggalkan
pekerjaan lama dan kampung halaman menuju kota Makassar hanya untuk menjadi
seorang pemulung dengan pendapatan diatas rata-rata, dengan berpenghasilan
tetap setiap harinya, kecintaanpun muncul dalam melakukan pekerjaan tersebut
dan tidak lagi memikirkan untuk beralih pekerjaan lain.
Sejalan dengan apa yang dijelaskan dalam sebuah penelitian Aswar Nur
pada tahun 2012 dengan “Judul Artikel Mereka yang Terpinggirkan”. Salah seorang
informannya yang bernama ibu Dg. Te’ne menjelaskan bahwa dulu ia berkebun dan
bertani di kampung. Ia mengatakan, upah yang ia dapatkan tidak sebanding dengan
jika ia memulung di TPA. Penghasilan Dg. Te’ne dengan memulung sekitar
100.000/hari. Wajar saja ketika Dg. Te’ne diajak untuk memulung di TPA oleh
saudranya yang bekerja di pelabuhan, ia langsung menerimanya. Menurut penuturan
Dg. Te’ne, meskipun dengan bau yang menyengat ia tetap lebih suka di TPA
Tamangapa. (TIM Peneliti TPA Makassar, 2012).
Faktor penyebab seseorang bekerja sebagai pemulung, dan pemulung sebagai
pekerjaan pokok dan sumber penghasilan utama sehingga dikatakan profesi. Seiring
berkembangnya pola pikir manusia, maka tidak dapat dipisahkan dengan tingginya
tuntutan kebutuhan hidup yang serba kompleks. Akibatnya, masyarakat lebih
banyak mengandalkan dan menggunakan tenaga dibanding dengan berpikir kereatif,
inovatif untuk melakukan sebuah pekerjaan. Inilah salah satu yang melatar
belakangi tingginya angka pengangguran dalam dunia pendidikan dengan dalih
bahwa yang penting dalam upaya peningkatan taraf hidup bisa terealisasi.
Kurangnya lapangan kerja merupakan dampak dari tingginya persaingan, akibat
yang ditimbulkan konsep hidup paradigma pragmatisme dan hedonisme yang
kecenderungannya bekerja dengan mudah dan menghasilkan banyak tanpa memikirkan
akibat dari pekerjaan tersebut. Pemulung adalah salah satu profesi yang banyak
dilakukan oleh masyarakat kelas bawah khususnya di Kelurahan Tamangapa kota
Makassar, oleh karena tidak sedikit hasil dan keuntungan yang dapat diperoleh
dengan bekerja sebagai pemulung, banyak yang beralih pekerjaan dari pekerjaan
berkebun, tukang batu, pedagang, petani dan buruh tani beralih menjadi seorang
pemulung. Bahkan pekerjaan tersebut sudah menjadi pekerjaan pokok untuk
memenuhi segala kebutuhan hidup baik primer, sekunder dan tersier.
Bertambahnya jumlah (relasi sosial)
pemulung di TPA sampah Tamangapa yang berasal dari berbagai daerah (urban),
ini menunjukkan bahwa memulung adalah pekerjaan yang sangat sederhana akan
tetapi, mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dengan demikian, pekerjaan
memulung telah dijadikan oleh warga masyarakat sekitar TPA sampah Tamangapa
sebagai pekerjaan profesi atau pekerjaan pokok dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
Pemulung adalah seorang individu atau sekelompok orang yang melakukan aktivitas
memungut atau mengumpulkan barang-barang bekas (sampah) yang dapat dimanfaatkan
(daur ulang) atau dijual kembali dengan
ketentuan untuk mendapatkan nilai ekonomis. Adapun karakteristik pemulung
adalah bekerja mengumpulkan barang-barang bekas dengan cara mengerumuni muatan truk sampah yang telah dibongkar,
sebagian pemulung lainnya berputar-putar mengais barang bekas dari
tumpukan-tumpukan sampah. Barang bekas yang telah berkumpul kemudian dipisah-pisahkan menurut
jenisnya, sebelum akhirnya dijual kepada pedagang barang bekas atau lapak. Lapak atau penampung adalah orang yang mempunyai
modal atau dukungan modal untuk membeli beberapa jenis, atau satu jenis barang
bekas dari pemulung. Jasa lapak selain sebagai pembeli tetap adalah ia
menanggung sarana transportasi untuk mengambil barang bekas dari pemukiman
liar, sehingga para pemulung yang menjadi anak buahnya tidak perlu menanggung
ongkos angkutan.
Tonnies melihat hubungan atau ikatan sosial menunjukkan saling
ketergantungan (interdependence),
dan hal itu berarti bahwa kehendak satu
orang dapat mempengaruhi hasrat orang lain, baik menunjang atau menghambat,
atau kedua-duanya. Hasrat kolektif umum dapat saja tetap sama dalam satu
periode tertentu, namun dapat pula mengalami perubahan dari masa ke-masa karena
adanya tindakan baru. (Tonnies dikutip oleh Bachtiar, 2006:80).
Dengan keterbatasan kemampuan atau daya pikir tidak sedikit diantara
manusia memilih sebuah pekerjaan untuk dilakukan bukan karena hasil akan tetapi
proses yang diinginkan sebaliknya, tidak sedikit juga keberadaan manusia dalam
mengenai pekerjaan tidak mengharapkan proses akan tetapi hasil yang kemudian
menjadi sebagai tujuan utama dalam melakukan sebuah pekerjaan. Maka akan
berdampak sistemik pada persoalan kebutuhan kehidupan yang menjadi sebuah
alasan tertentu dalam sebuah pilihan pekerjaan tertentu.
Sztompka melihat “peningkatan konsu-merisme, pendapatan, konsumsi barang
dianggap sebagai simbol peran yang penting. Kegiatan konsumtif dalam masyarakat modern merupakan sebuah
kewajaran”. Sementara itu bagi aliran postmodern melihat fenomena ini sebagai
realitas “masyarakat konsumsi” yang merupakan suatu masyarakat yang
memposisikan konsumsi sebagai gaya hidup, sebagai ideologi yang tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan sehari-hari mereka. (Sztompka dikutip oleh Martono, 2011:83).
Baudrillard mengemukakan bahwa “kesenangan bukanlah tujuan utama
konsumsi melainkan suatu rasionalisasi dari konsumsi. Tujuan pokok dari
konsumsi adalah untuk memperkuat pertumbuhan sistem objek-objek”. Lebih lanjut
Baudrillard menjelaskan bahwa:
Masyarakat konsumsi akan
“membeli” simbol-simbol yang melekat pada suatu objek, sehingga
objek-objek konsumsi banyak yang terkikis nilai guna dan nilai tukarnya. Nilai
simbolis kemudian menjadi sebuah komoditas. Untuk menjadi objek konsumsi, suatu
objek harus menjadi tanda (sign),
karena hanya dengan cara demikian, objek tersebut dapat dipersonalisasi dan dapat
dikonsumsi (Martono, 2011:135).
Dari ulasan yang diberikan oleh Baudrillard tersebut, merupakan suatu
kewajaran yang dilakukan masyarakat, apabila lebih memilih dalam pemenuhan
kebutuhan gaya hidup, tersier (nilai simbolis) dan mengenyampingkan pemenuhan
kebutuhan pokok (primer). Sebagai ekspresi dari kehidupan modern tanpa
memperhatikan sisi manifes positif terhadap apa yang dilakuakan.
Untuk meminimalisir kemungkinan yang akan terjadi yang tidak sesuai
dengan harapan maka pemerhati dari pemerintah kota dalam hal ini negara dan
oragnisasi internasional (ILO) memberikan kesempatan untuk mendapatkan hak yang
sama sebagaimana masyarakat lainnya. Organisasi inilah yang membantu masyarakat
pemulung yang ada di TPA Sampah Tamangapa kota Makassar dalam kerajianan dan
pendidikan. Akan tetapi karena paradigma pragmatisme akibat dari kehidupan
hedonisme tidak sedikit di kalangan masyarakat pemulung tidak merasakan
manfaatnya karena lebih baik turun ke TPA sampah dan mencari apa yang langsung
dan pasti dirasakan hasilnya.
Melihat kondisi sebagian besar para pemulung, peneliti mengamati bahwa
pemulung tidak lagi menjadi sebuah aib atau tercela, bahkan pekerjaan tersebut
merupakan kebanggaan tersendiri yang dirasakan dengan pendapatan yang begitu
memuaskan. Hampir setiap rumah yang peneliti masuki untuk melakukan sebuah
wawancara di dalam rumah tersebut pasti terdapat minimal, TV, VCD, Speaker
besar, dispenser, rice cooker dan bahkan kendaraan roda dua dan roda empat.
Lebih mengagumkan lagi bahwa rumah batu yang ditempati yang berdiri kokoh
adalah hasil dari pekerjaan sebagai pemulung.
Prinsip hidup dari sekian banyak warga pemulung yang diperoleh melalui
wawancara dan hasil obervasi ditemukan bahwa bukan pada persoalan apa dan
bagimana pekerjaan pemulung, yang penting mau bekerja keras, tahan dengan bau
busuk sampah dan pandai menyisipkan uang hasil memulung maka kelak akan menjadi
orang yang mampu membeli apa saja. TPA sampah menjadi wadah yang menghimpun
para pemulung untuk melakukan aksi mencari nafka dengan kemampuan seadanya demi
mewujudkan pola hidup berkelanjutan dan eksis di tengah masyarakat. Dari
berbagai daerah pun datang dan mengadu nasib untuk mencari kehidupan yang jauh
lebih baik lagi.
- Hubungan Interaksi Sosial di Kalangan Masyarakat Pemulung
Masyarakat merupakan sekumpulan manusia setidaknya terdiri atas lebih
dari satu orang yang saling bergaul. Pergaulan manusia dengan sesamanya
menimbulkan suatu ikatan rasa identitas bersama dalam suatu rentang waktu yang
lama, dan berkesinambungan memiliki norma, dan nilai (Wiranata, 2002: 68).
Interaksi sosial merupakan keniscayaan pada sebuah masyarakat untuk
membangun tatanan sosial yang lebih ideal. Fenomena sosial kehidupan masyarakat
adalah wujud dari eksistensi keberadaan pemulung yang mewarnai kehidupan
orang-orang yang identik dengan ketidakmampuan dan ketidakberdayaan dalam
menghadapi berbagai masalah kehidupan secara bersama-sama. Akan tetapi, dengan
kelemahan dan keterbatasan yang dimiliki maka melahirkan sebuah motivasi dan
sugesti dari dalam diri maupun diluar diri mereka sendiri untuk menjadi sesuai
dengan yang diinginkan.
Hubungan sosial dikalangan masyarakat pemulung, ditinjau dari segi
sosial merupakan integritas kompleks dan hubungan (interdependence) yang erat karena hubungan kerja antar pemulung
atau pemulung dan penadah (pattimbang),
membangun hubungan emosional yang kuat walaupun berbeda etnis (suku) dan daerah
(heterogen), dengan adanya hubungan
kerja tersebut, mereka mampu membangun sebuah hubungan yang bersifat
kekeluargaan dan harmonis dengan kesadaran tinggi. Kesamaan dan kemudahan
manusia dalam melakukan pekerjaan sebagai seorang pemulung adalah daya tarik
tersendiri bagi orang-orang tertentu dalam mewujudkan keinginannya. Hubungan
interaksi dan solidaritas sosial adalah karakteristik yang melekat pada
masyarakat pemulung yang ada di TPA sampah Tamangapa kota Makassar, Ciri
manusia tersebut menggambarkan betapa berartinya interaksi sosial dalam
kehidupan manusia. Sebagaimana yang dikatakan salah seorang pemulung Muh. Ali
bahwa:
Kami para pemulung di lokasi TPA sampah sangat
akrab. Rata-rata pemulung di sini banyak keluarga dekatnya, ada lagi yang berbeda
suku tapi karena sudah lama sama-sama jadi sudah akrab. Setiap ada waktu
istrahat, kami kumpul-kumpul sambil cerita dan berbagi pengalaman. (Wawancara
Minggu 09 Maret 2014).
Selain
itu, oleh ibu Mariana menjelaskan bahwa:
Hubungan di kalangan para pemulung adalah seperti
keluarga sendiri dan sangat erat, mungkin karena keseringan bertemu walaupun
kami berbeda asal daerah. (Wawancara Kamis 27 Februari 2014).
Berdasarkan penjelasan informan di atas menyimpulkan bahwa dalam praktek
kehidupan sehari-hari para pemulung penuh dengan kebersamaan dan berlangsung secara
harmonis. Kebersamaan tersebut disebabkan oleh hubungan kekerabatan yang sangat
dekat dan hubungan interaksi sosial yang mendalam. Adanya hubungan interaksi di
kalangan antara pemulung sebagai bukti eksistensi keberadaan dan harmonisasi di
kalangan para pemulung. Sehubungan dengan hal tersebut, terjadi kerja sama
antara pemulung dalam menjalangkan segala aktivitas kerjanya dan saling
melengkapi. Faktor inilah yang mendorong terjadinya solidaritas dan integritas
yang kuat di kalangan para pemulung, karena di sela-sela waktu bekerja ada
waktu istrahat, pada waktu istrahat itulah digunakan untuk saling bertukar
pikiran dan berbagi pengalaman menyangkut tentang kehidupan sehari-hari dan
berkembang secara terus menerus.
Inilah yang ditegaskan Khaldun bahwa, “organisasi masyarakat menjadi
suatu keharusan bagi manusia karena, tanpa organisasi itu eksistensi manusia
tidak akan sempurna”. (Khaldun, 2000: 73).
Hubungan antar individu terjadi dalam keluarga dan anggota keluarga atau
kerabat lain yang juga menjadi pemulung. Kumpulan kerabat yang biasanya berasal
dari daerah yang sama inilah yang kemudian membentuk kelompok-kelompok. Secara
struktur, komunitas pemulung tidak memiliki organisasi formal. Posisi pengumpul
lebih tinggi dari kepala dan ibu rumah tangga pemulung dan pemulung (payabo). Biasanya, anggota keluarga
menjual hasil yabo (memulung) mereka
kepada pengumpul yang telah ditentukan oleh kepala keluarga. Hubungan sosial
yang terjaling antar masyarakat pemulung sangat erat kaitannya dengan hubungan
pekerjaan dan suku yang terjaling walaupun masih bersifat tertutup pada
masyarakat yang ada disekitar TPA sampah Tamangapa kota Makassar. Kondisi
persatuan dan solidaritas masyarakat pemulung terbilang relatif cepat, jika ada
pendatang atau pemulung baru maka tidak membutuhkan waktu lama untuk
beradaptasi dengan lingkungan disekitar TPA sampah Tamangapa. Sehingga ikatan emosional
pada masyarakat pemulung memberikan dampak positif yang mengarah pada peningkatan
kinerja dan kesabaran menjadi seorang pemulung. Intensnya pertemuan di tempat
kerja memacu perkembangan diri dalam memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana
dalam rumah tangga dan kehidupan bermasyarakat. Masyarakat pemulung yang sudah
lama maupun yang baru sama-sama bekerja dengan sunguh-sungguh siang dan malam
untuk memenuhi segala keperluan hidup dan kehidupannya.
Dalam melakukan interaksi di kalangan para pemulung, berlangsung dengan
penuh rasa persaudraan dan kebersamaan khususnya di lokasi TPA sampah pada saat
melakukan aktivitas pekerjaan memulung. Interaksi sosial mereka sebagian besar
di dasari atas latar belakang ekonomi yang sama, sehingga kekerabatan dan
solidaritas di antara para pemulung
karena oleh pekerjaan yang sama dan dipererat lagi dengan
pertemuan-pertemuan yang intens setiap harinya di lokasi TPA sampah berlangsung
secara harmonis. Dengan demikian, bahwa adanya rasa toleransi dan
sepenanggungan menimbulkan keakraban yang lebih solid lagi. Disamping itu,
kebersamaan dan keserasian yang timbul dari kalangan para pemulung memiliki
karakterisitik tertentu pada masyarakat umumnya. Akibatnya, kurangnya
sosialisasi pada masyarakat yang bukan pemulung dan bersifat tertutup.
Disamping bekerja sebagai pemulung, telah didirikan Yayasan untuk
membantu dan menambah pengetahuan para pemulung, agar dapat dibekali dengan
berbagai keterampilan dengan harapan bahwa akan membawa pada perubahan dan
peningkatan pola pikir dan gaya hidup yang lebih baik dan berkualitas. Namun
tidak sedikit yang merespon positif, sehingga kecenderungan untuk aktif di Yayasan
pembinaan sangat sedikit karena tidak langsung di dapatkan hasilnya oleh
masyarakat.
- Dampak Sosial Eksisnya Pemulung
Pekerjaan mudah dan memiliki pendapatan yang tinggi memberikan daya
tarik tersendiri walaupun mempunyai resiko yang tidak sedikit, sehingga dampak
yang ditimbulkan juga tidak sedikit. Menjadi seorang pemulung adalah merupakan
pilihan bagi seseorang untuk meningkatkan taraf hidup. Dalam kehidupan sosial
masyarakat pemulung, TPA sampah Tamangapa kota Makassar adalah aset besar untuk
memperoleh kehidupan yang jauh lebih baik bagi masyarakat. Keadaan ekonomi, pendidikan
rendah dan pengangguran merupakan masalah klasik yang senantiasa ada dalam
kehidupan masyarakat. Keberadaan TPA sampah Tamangapa kota Makassar, merupakan
anugerah tersendiri bagi orang-orang tertentu yang memiliki harapan untuk tetap
eksis dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga pekerjaan pemulung dijadikan
sebagai pekerjaan pokok. Pekerjaan mudah dan memiliki pendapatan yang tinggi
memberikan daya tarik tersendiri walaupun mempunyai resiko yang tidak sedikit,
dampak yang ditimbulkan juga tidak sedikit. Menjadi seorang pemulung adalah
merupakan pilihan bagi seseorang untuk meningkatkan taraf hidup khususnya
masyarakat yang ada di TPA sampah Tamangapa kota Makassar.
Bahkan dalam sebuah hasil penelitian pada tahun 2012, dengan judul
artikel “Nasib Sampah di Ujung kota Makassar” ditemukan bahwa pada jajaran
gunung sampah di lokasi TPA merupakan harta yang terpendam. Ada sekitar 700
pemulung, terdiri dari 400 pemulung tetap dan 300 pemulung urban (data:
Yaptau-U). Jumlah yang sangat mengejutkan. Daeng Bakka’ dulunya adalah seorang
pemulung. Berkat kerja keras dan kegigihannya, sekarang ia sudah mempunyai
sebuah usaha penadah barang bekas, yang bernama UD Mulyadi, diambil dari nama
anaknya sendiri. Rumah, mobil dan tanah tak menjadi hal yang mustahil lagi
baginya. (TIM Peneliti TPA Makassar, 2012).
Terkait dengan hal tersebut, Bourdieu melihat konsumsi termotivasi oleh
kebutuhan kelompok-kelompok sosial untuk mencapai status melalui bentuk
perbedaan yang memperkuat posisi kelas. Bagi Bourdieu, “rasa penilaian berakar
pada habitus, adalah penanda kelas sosial dan sangat terkait pada hierarki
akses modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial”. (Bourdieu dikutip oleh
Scott, 2011:62-63). Inilah yang mendasari pernyataan Scott (2011:63) bahwa
konsumerisme penekanannya ada pada budaya konsumen dan identitas pribadi.
Realitas perkembangan masyarakat pemulung merupakan sebuah proses evolusi
yang ditandai dengan berbagai perubahan sosial, apakah dari aspek politik,
sosial budaya dan sosial ekonomi. Pekerjaan memulung, karena sudah menjadi
pekerjaan pokok dan telah menjadi mata pencaharian yang dilakukan
turun-temurun. Tidak sedikit dari anggota masyarakat pemulung yang sudah
bertahun-tahun bekerja sebagai seorang pemulung yang telah merasakan manfaat
atau hasil yang diperoleh dengan bekerja sebagai seorang pemulung. Diantara
mereka ada yang awalnya sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan tidak
mempunyai pekerjaan apapun, setelah terjung di dunia sampah alias bekerja
sebagai seorang pemulung berkat kesabaran dan keuletan dalam melakoni menjadi
seorang pemulung beberapa tahun kemudian sudah mampu memenuhi kebutuhan tidak
hanya kebutuhan primer semata melaingkan sekunder dan tersier. Selain itu, sebagian
diantara mereka bahkan telah memiliki pekerjaan dan beralih pekerjaan menjadi
seorang pemulung melihat penghasilan yang begitu menjanjikan dalam setiap
harinya selain dari barang-barang bekas yang dikumpulkan untuk dijual setiap
per-pekan, per-dua pekan dan per-bulannya. Masyarakat pemulung yang ada di TPA sampah
Tamangapa kota Makassar adalah sebagian besar merupakan pindahan (urbanisasi)
dari berbagai daerah, dengan dorongan bahwa bekerja sebagai seorang pemulung
penghasilan yang diperolehnya jauh lebih banyak jika dibandingkan dari
pekerjaan sebelumnya di daerah asalnya. Jika dalam bekerja dengan keseriusan
dan kesanggupan bertahan terhadap pekerjaan dan bau menyengat dari sampah tersebut.
Para pemulung jika sedang bekerja, mereka tidak memandang panas atau pun
hujan, siang maupun malam demi mendapatkan barang-barang bekas dengan nilai
jual yang tinggi. Etos kerja inilah yang dimiliki oleh sebagian besar pemulung
yang ada di TPA sampah Tamangapa kota Makassar sehingga meraup keuntungan besar
dari barang-barang bekas yang telah terbuang namun memiliki nilai ekonomis
tinggi jika dimanfaatkan, dibersihkan atau didaur ulang kembali, baik langsung
maupun tidak langsung misalkan, barang plastik, karton, besi, tembaga, kuningan
dan lain-lain. Hampir semua barang bekas yang terbuang yang ada di TPA sampah Tamangapa
diambil dan dimanfaatkan oleh para pemulung dan sebagiannya dijual untuk
keperluan hidup.
Dampak sosial akibat eksisnya pekerjaan pemulung, dengan semangat,
kesungguhan dan kemampuan penuh setiap harinya dalam bekerja keras sebagai
seorang pemulung, mereka dapat meningkatkan taraf hidupnya. Di kalangan para
pemulung, terbentuk stratifikasi sosial yang sangat mencolok akibat dari perolehan
hasil pulungan yang didapatkan pada setiap harinya atau per-pekan, per-dua
pekan dan per-satu bulan, tergantung dari kadar dan jenis barang pulungannya.
Pendapatan setiap harinya yang tidak kurang dari 100-250 ribu rupiah/hari
menjadikan pekerjaan memulung ini banyak diminati oleh masyarakat kecil
khususnya dari berbagai daerah yang tidak memiliki pekerjaan atau yang telah
bekerja namun tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal inilah yang juga
terjadi pada masyarakat pemulung yang ada di TPA sampah Tamangapa kota Makassar
khususnya pada stratifikasi sosial ukuran kekayaan. Animo masyarakat pemulung
di TPA sampah Tamangapa kota Makassar mengindikasikan bahwa, keinginan kuat
untuk melawan takdir kelemahan dan kekurangan merupakan sebuah pengorbanan besar
yang harus dilakukan untuk memenuhi semua hasrat kebutuhan agar tetap bisa
bertahan hidup.
Suharto menjelaskan bahwa globalisasi ekonomi adalah ibarat pedang
bermata dua; mata yang satu menorehkan kemakmuran ekonomi, sementara mata yang
lainnya menggoreskan luka-luka kemanusiaan. (Suharto, 2010:238).
Demikian pun dampak sosial yang ditimbulkan akibat eksisnya pemulung
sebagai profesi di TPA sampah Tamangapa kota Makassar terbagi atas dua dampak
yaitu:
a.
Dampak Positif
Fenomena sosial yang terjadi pada masyarakat pemulung merupakan hal yang
unik, keunikan yang dimiliki jika kita melihat pekerjaan pemulung sebagai hal
yang sepele dan tidak mampu memberikan kelayakan hidup apalagi sampai pada
taraf peningkatan presitise. Adapun diantara dampak positif eksisnya pemulung di
TPA sampah Tamangapa diantaranya adalah:
1)
Mendapatkan pekerjaan dan kelayakan hidup
Berbekal dengan pendidikan dan keterampilan rendah
untuk bekerja sebagai seorang pemulung, bukan merupakan hal tercela dan
penghalang bagi masyarakat pemulung yang ada di TPA sampah Tamangapa kota
Makassar. Adanya kelebihan yang dimiliki jika dibandingkan pekerjaan mereka
sebelum berprofesi sebagai seorang pemulung. Penghasilan yang diperoleh bekerja
sebagai seorang pemulung, mampu memenuhi segala kebutuhan hidup mulai dari
kebutuhan pokok (primer) sampai pada kebutuhan tambahan, barang-barang mahal
yang terbilang mewah (sekunder dan tersier), sebagaimana bapak Pajo’ yang
merupakan salah seorang informan yang sudah lama berprofesi sebagai seorang
pemulung, dengan berprofesi sebagai seorang pemulung maka dia mampu
meningkatkan taraf hidup.
Fenomena tersebut telah dijelaskan dalam teori
hierarki kebutuhan (need-hierarchy-theory)
bahwa kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat, mulai dari tingkatan yang
paling bawah sampai ke tingkatan yang paling tinggi. Kebutuhan pada tingkatan
yang lebih tinggi tidak mungkin timbul sebelum kebutuhan yang lebih mendasar
terpenuhi. (Abraham H. Maslow dikutip oleh Musbikin, 2008:96).
2)
Mengurangi pengangguran dan pemaknaan terhadap realitas
Dampak sosial yang ditimbulkan oleh adanya
pemulung, dapat mengurangi angka pengangguran, bagi seseorang yang membutuhkan
pekerjaan yang tidak memiliki modal besar. Karena keberadaan TPA sampah tersebut,
penduduk di sekitar TPA sampah merasa terbantukan oleh adanya tumpukan sampah
karena hal tersebut mampu dijadikan sebagai lahan untuk mendapatkan rejeki
untuk memenuhi kebutuhan hidup.
3)
Mengurangi kwantitas sampah
Selain dari adanya pengurangan angka pengangguran,
dampak sosial dari eksisnya pemulung di TPA sampah Tamangapa kota Makassar,
juga mampu mengurangi kadar kwantitas dari keberadaan sampah yang ada di TPA sampah
Tamangapa. Kota Makassar menghasilkan sekitar 3800 m3 sampah
perkotaan setiap harinya. Padahal kapasitas maksimum dari TPA sampah Tamangapa
hanya sekitar 2,800 m3 sampah perkotaan setiap harinya. Lahan TPA sampah tambahan
akan diperlukan untuk pembuangan 1000 m3 sisa sampah. Sebagian besar sampah
berasal dari aktivitas penduduk seperti di pasar, pusat perdagangan, rumah
makan, dan hotel. (TIM
Peneliti TPA Makassar, 2012).
Maka dari
adanya para pemulung yang melakukan aktivitasnya setiap hari di TPA sampah,
minimal mampu mengurangi kwantitas dari kumpulan sampah yang sangat berpotensi
untuk merusak lingkungan dan mempersempit area TPA sampah Tamangapa tersebut.
b.
Dampak Negatif
Selain memiliki dampak positif dengan keberadaan para pemulung bersamaan
dengan itu, juga memiliki dampak negatif. Adapun dampak negatif eksisnya
pemulung di TPA sampah Tamangapa diantaranya adalah:
1)
Pendidikan rendah
Dengan menentukan penempatan sosial seorang anak, pengaturan
wewenang membantu menentukan kewajiban peran orang-orang dewasa terhadap sang
anak. Anak merupakan simbol berbagai macam hubungan peran yang penting di
antara orang-orang dewasa. (Goode, 2002:41).
Menghasilkan meteri yang cukup dengan cara mudah
dan langsung setiap harinya bekerja sebagai seorang pemulung, berdampak pada
pola pikir, menjadikan pribadi malas untuk berpikir dan berusaha sehingga
pendidikan untuk generasi yang seharusnya prioritas utama dalam kehidupan
menjadi hal yang tidak penting lagi. Hal itu disebabkan pendapatan yang
diperoleh dalam bergelut di dunia sampah akan bertambah kali lipat jika
diikutsertakan anggota keluarga (anak) yang sehrusnya mengenyam dunia
pendidikan berpindah ke dunia kerja untuk membantu menambah pendapatan orang
tua.
Selain itu, terkadang orang tua memprioritaskan
pendidikan namun, anak dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan TPA sampah Tamangapa
sudah terbiasa dengan bekerja dan langsung menghasilkan materi, pendidikan pun alias
sekolah tidak lagi menarik dan menyenangkan untuk dilakukan dan dirasakan.
Tanpa sekolahpun tetap mampu mendatangkan materi dan hidup sebagai mana manusia
pada umumnya.
Padahal sesungguhnya, tugas dan peran serta orang
tua adalah memberikan perhatian, kasih-sayang dan pelayanan maksimal kepada
anak untuk generasi yang berkualitas sehingga dapat melakukan sebagaimana yang
dikatakan oleh Gunawan perkembangan kepribadain anak dalam Tri Pusat Pendidikan
yaitu di rumah atau dalam keluarga, di sekolah atau lembaga pendidikan formal
dan di masyarakat atau pendidikan nonformal (Gunawan, 2000:57).
2)
Hedonisme
Bergelut pada tumpukan sampah dengan etos kerja
tinggi menghasilkan pendapatan yang banyak, disamping mampu memenuhi kebutuhan
sehari-hari, juga mampu memenuhi hasrat yang bersifat sekunder bahkan tersier. Inilah
yang kemudian dialami oleh sebagian besar masyarakat yang bekerja sebagai
seorang pemulung yang ada di TPA sampah Tamangapa kota Makassar, tanpa
memperhatikan pola asuh dan pola pendidikan sebagai mana seharusnya yang
dilakukan sebagai penanggung jawab utama dalam keluarga (orang tua; bapak dan
ibu) demi mewujudkan hidup dan kehidupan keluarga. Hidup tidak karuang dan
menjadi alasan mendasar kebahagian adalah anggapan bahwa orang akan menjadi
bahagia jika memperoleh banyak kenikmatan
dan semuanya dihitung di atas materi-materi kehidupan.
3)
Pragmatisme
Sebuah perilaku dan tindakan pada dunia kerja yang
banyak terjadi khususnya pada masyarakat pemulung yang ada di TPA sampah Tamangapa
Kota Makassar yaitu lebih mementingkan sisi kepraktisan dibandingkan sisi
manfaat. Dengan kata lain, dalam melakukan aktivitas memulung, para pemulung lebih
mementingkan hasil akhir ketimbang dari nilai-nilai dari sebuah pekerjaan,
dalam bekerja tidak memandang waktu siang atau malam dan kondisi kesehatan atau
fisik demi memperoleh keuntungan dari hasil pulungannya.
4)
Pernikahan dini
Sebuah realiatas kehidupan sosial pada masyarakat
pemulung yang ada di TPA sampah Tamangapa Kota Makassar. Tidak terlepas dari
kehidupan pendidikan rendah, hedonisme dan pragmatsime berdampak pada pernikahan
dini. Pernikahan dini di kalangan masyarakat pemulung merupakan dampak dari
pendidikan rendah dan kehidupan yang menjadikan barang atau materi sebagai
pengukuran kebahagiaan. Jadi tanpa perlu pendidikan tinggi jika sudah mampu
bekerja mencari uang, maka itu adalah sebuah barometer untuk direstui dalam
malangsungkan pernikahan.
Selain itu, kenakalan remaja yang tidak
terhindarkan misalnya pergaulan bebas (hamil di luar nikah), memakai obat (isap
lem), minuman keras dan lain-lain. Akibat dari kontrol sosial yang kurang atau
tidak dilakukan oleh para orang tua disebabkan oleh kesibukan setiap waktu di
dunia sampah.
Sebagaimana penjelasan Kartini Kartono bahwa
“anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih-sayang dari orang tua
itu selalu merasa tidak aman, merasa kehilangan tempat berlindung dan tempat
berpijak. Di kemudian hari mereka akan mengembangkan reaksi kompensatoris dalam bentuk dendam dan sikap bermusuh terhadap dunia luar”. (Kartono, 2010:60).
Dengan demikian, patalogi sosial berefek pada pola pikir dan perilaku
hidup seseorang terhadap lingkungan
sekitar sehingga, rasa minder, membatasi diri dan resiko penyakit sosial tidak
terhindarkan. Diungkapkan oleh informan Afrijal K. bahwa masyarakat pemulung
telah terjangkiti virus patalogi sosial, karena pengaruh lingkungan dan
pergaulan bebas yang mendominasi dan tidak mampu diminimalisir.
PENUTUP
Berdasarkan fakta-fakta dari fenomena kehidupan masyarakat
pemulung yang ada di TPA sampah Tamangapa kota Makassar, melalui proses
penelitian di lapangan yang diperoleh dari berbagai informan, maka penelitian ini
menunjukkan bahwa meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat, tingginya tingkat
persaingan dan sempitnya lapangan pekerjaan, adalah merupakan situasi dimana
seseorang harus berpikir dan melakukan sebuah keberanian diri untuk bekerja apa
saja, demi terwujudnya hajat hidup manusia. Rendahnya pendidikan bukanlah
sebuah penghalang untuk menunjukkan eksistensi dalam meningkatkan taraf hidup melalui
pekerjaan sebagai seorang pemulung. Maka tidak sedikit di antara masyarakat
yang berkecimpung pada tumpukan sampah, bekerja sebagai seorang pemulung untuk
meningkatkan taraf hidup di TPA sampah Tamangapa kota Makassar menjadi eksis. Hubungan
interaksi sosial di kalangan masyarakat pemulung, merupkan integritas yang kuat
dan saling berhubungan antara satu dengan yang lain. eratnya hubungan sosial
tersebut, didasarkan pada hubungan pekerjaan yang dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari. Latar belakang perbedaan etnis atau suku, bukan merupakan
penghalang dalam melakukan hubungan interaksi sosial antar masyarakat pemulung.
Akan tetapi di sisi lain dampak sosial eksisnya pemulung di TPA sampah
Tamangapa kota Makassar berdampak pada dua hal, yaitu dampak positif yang
terdiri dari kemampuan untuk memenuhi segala kebutuhan hidup dalam peningkatan taraf
hidup dan pengurangan angka jumlah pengangguran, dan juga mampu mengurangi
kadar kwantitas dari keberadaan sampah yang ada di TPA sampah Tamangapa kota
Makassar. Bersamaan dengan hal tersebut, dampak negatif yang berhubungan dengan
pola dan gaya hidup sosial, dipengaruhi oleh arus modernisasi dan globalisasi,
sehingga pendidikan rendah, hedonisme, pragmatisme dan pernikahan dini merupakan
realitas kehidupan yang tidak terhindarkan dan menjadi sebuah gaya hidup yang
dialami oleh masyarakat pemulung, dari hal tersebut, berimplikasi pada
pergaulan bebas dalam suatu hubungan langsung dalam kehidupan sehari-hari di
lingkunagn masyarakat pemulung yang ada di TPA Sampah Tamangapa kota Makassar.
DAFTAR
PUSTAKA
Abustam H.M. Idrus dan Irwansyah Idham. 2010. Komunitas Pedesaan, Budaya Kemiskinan dan
Pendidikan Orang Dewasa. Makassar: Badan Penerbit UNM.
Bachtiar, Wardi. 2006. Sosiologi Klasik. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Goode, William J. 2002. Sosiologi Keluarga. (di
Indonesiakan Lailahanoun Hasyim, Cetakan ke-5). Jakarta: Bumi Aksara.
Gunawan, Ary H. 2000. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Kartono, Kartini. 2010. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. (Cetakan ke-9) Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Khaldun, Ibnu. 2000. Muqaddimah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Martono, N. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial (Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan
Poskolonial). Jakarta: Rajawali Pers.
Moleong,
L. J. 2001. Metode Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Musbikin Imam. 2008. Mengapa Allah Membuatmu Miskin. Jogjakarta:
DIVA Press.
Rianse, Usman & Abdi, 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi
(Teori dan Aplikasi). Bandung: Alfabeta.
Scott, Jhon. 2011. Sosiologi (The Key Concepts). Terjemahan oleh Tim Penerjemah Labsos
FISIP UNSOED. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. 2010.
Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
Rajawali Pers.
Suharto, Edi. 2010. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan
Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. (Cetakan ke-4) Bandung: PT.
Refika Aditama.
Sztompka, Piȍtr. 2011. Sosiologi
Perubahan Sosial. (Cetakan ke-6) Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Tim Peneliti TPA Makassar. 2012. Menakar Limbah Kota. Badan Eksekutif
Mahasiswa STIKES Mega Rezky bekerja sama Kedai Buku Jenny: Makassar.
Wiranata, A.B . 2002. Antropologi
Budaya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar