Sabtu, 09 April 2016

Beberapa Perkara yang Perlu Diketahui Sebelum Memasuki Ramadhan



Beberapa Perkara yang Perlu Diketahui Sebelum Memasuki Ramadhan

Hukum Puasa Sehari atau Dua Hari Sebelum Ramadhan
Seseorang tidak boleh berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud berjaga-jaga, jangan sampai Ramadhan telah masuk pada satu atau dua hari itu, sementara dia tidak mengetahui hal itu. Adapun, kalau seseorang berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan karena bertepatan dengan kebiasaannya dalam hal berpuasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis dan puasa Daud, hal tersebut tidaklah mengapa dan diperbolehkan dalam syariat.
Seluruh keterangan di atas berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan cara berpuasa satu hari atau dua hari (sebelum Ramadhan masuk), kecuali, (jika) seseorang biasa berpuasa dengan suatu puasa, (tetaplah) ia berpuasa.”

Penampakan Hilal Adalah Penentu Masuknya Ramadhan
Penentuan masuknya bulan Ramadhan adalah dengan cara melihat Hilal. Hilal adalah bulan sabit kecil yang tampak pada awal bulan.
Dalam syariat Islam, bulan hanya terdiri dari 29 atau 30 hari sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim bahwa, tatkala menyebutkan Ramadhan, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan kedua tangannya seraya berkata,
الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِي الثَّالِثَةِ فَصُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ ثَلَاثِيْنَ
“Bulan (itu) begini, begini, dan begini,” kemudian beliau melipat ibu jarinya pada kali ketiga (yaitu sepuluh, tambah sepuluh, tambah sembilan,-pent.), (lalu berkata), “Maka, berpuasalah kalian karena melihat (hilal) tersebut, dan berbukalah kalian karena kalian melihat (hilal) tersebut. Apabila tertutupi dari (pandangan) kalian, genapkanlah bulan (Sya’ban) itu menjadi tiga puluh (hari).”

Waktu Pemantauan Hilal
Pemantauan hilal Ramadhan hendaknya dilakukan pada 29 Sya’ban setelah matahari terbenam. Selang beberapa saat, bila hilal terlihat, 1 Ramadhan telah masuk, tetapi, apabila hilal tersebut tidak terlihat, berarti Sya’ban digenap­kan menjadi 30 hari. Secara otomatis, setelah 30 Sya’ban tentunya adalah 1 Ramadhan.

Apabila Terlihat di Suatu Negeri, Apakah Hilal Berlaku bagi Negeri Itu Saja, Ataukah Berlaku Juga bagi Seluruh Dunia?
Apabila hilal telah terlihat pada satu negeri, seluruh negeri lain di dunia diharuskan untuk berpuasa. Hal ini merupakan pendapat Jumhur Ulama yang dipetik dari firman Allah Ta’âla,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“… Maka barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa ….” [Al-Baqarah: 185]
Juga dari hadits Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim yang tersebut di atas, dan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعَدُّوْا ثَلَاثِيْنَ
“Berpuasalah kalian karena melihat (hilal) tersebut, dan ber­bukalah kalian karena melihat (hilal) tersebut. Lalu, apabila tertutupi dari (pandangan) kalian, sempurnakanlah bulan (Sya’ban) tersebut menjadi tiga puluh (hari).”
Ayat dan dua hadits di atas adalah perkataan yang ditujukan kepada seluruh kaum muslimin di manapun mereka berada pada belahan bumi ini, maka mereka wajib berpuasa tatkala ada di antara kaum muslimin yang melihat hilal.
Diposting: 28 Syaban 1433 H / 17-07-2012 || 57 klik
"BANTAHAN TERHADAP DALIL-DALIL YANG MENGGUNAKAN HISAB"

Dalil-dalil yang Menggunkan Hisab dan Bantahannya

1. Riwayat
فَاقْدِرُوْا لَهُ, mereka maknakan: Tentukan dengan hisab (perhitungan bulan). Dan ini dikhususkan kepada orang yang mempunyai ilmu hisab, dan kata sempurnakan bulan tersebut, ini ditujukan untuk semua manusia.

Bantahannya:

Berkata Imam Malik, Asy-Syafi’i dan jumhur salaf dan khalaf bahwa makna
فَاقْدِرُوْا لَهُ adalah sempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Hal ini ditafsirkan pada riwayat Muslim:

فَقْدِرُوْا ثَلاَثِيْنَ، فَاقْدِرُوْا ثَلاَثِيْنَ، فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ وفي رواية البخاري فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ

“Maka takdirkan (cukupkan) 30 (hari), (cukupkan) 30 hari, maka berpuasalah 30 (hari).” Dalam riwayat Imam Al-Bukhari: “Maka sempurnakanlah jumlah (hitungan) bulan Sya’ban 30 (hari).”

(Lihat I’lam bi Fawaidil Umdah: 5/174)

Dan hadits yang menyatakan
فَاقْدِرُوْا لَهُ dengan makna sempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim (91/423) dan dalam As-Sunan Al-Kubra Al-Baihaqy (4/204) dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى جَعَلَ الأَهِلَّةِ مَوَاقِيْتَ فَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا لَهُ أتَمُوهُ ثَلاَثِيْنَ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan hilal-hilal, waktu-waktu, maka jika kalian melihatnya (hilal, -pent) maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya maka berbukalah. Jika tertutup atas kalian maka cukuplah baginya (bulan) dan sempurnakanlah (Sya’ban, -pent) 30 (hari).”

Dan inilah yang dipahami penafsirannya dari ahlul hadits yang mengeluarkan hadits-hadits tentang ru’yah seperti Imam Al-Bukhary sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary 4/120, dan Imam Malik sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu ‘Abdil Bar dalam At-Tahmid (2/39-40). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Rusaknya pendapat yang menyatakan hisab karena mereka berhujjah dengan hadits Ibnu ‘Umar sedangkan Ibnu ‘Umar juga meriwayatkan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:


إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَةُ لاَنَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الْهِلاَلُ هَكَذَا هَكَذَا


“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiyah, tidak (bisa) menulis dan tidak (bisa) menghitung, hilaal adalah begini dan begini.”

Mereka berkata: Perintah menggunakan ru’yah disebabkan karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan kita adalah umat yang tidak dapat menulis dan menghitung. Dan hukum itu berlaku atau tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya sebab itu. Maka jika umat sudah mampu menghitung dan menulis, ru’yah dan hisab bisa digunakan kedua-duanya dalam menentukan arah bulan.

Bantahannya:

Sesungguhnya hikmah dan sebab disyariatkannya melihat hilal adalah karena mudahnya dan bisa diketahui oleh seluruh manusia, yang mana dua hal ini menyebabkan umat bersatu dan terhindar dari perpecahan dan perselisihan. Sebagaimana hal ini disebutkan oleh Ibnu Taimiyah (Majmu’ Al-Fatawa jilid 25), Ibnu Al-Araby dalam Aaridhatul Ahwadzi, Ibnu Hajar dalam Al-Fath 4/122.

Berkata Ibnu Bathal dalam Irsyadul Ahlil Millah: “Kami tidak dibebankan dalam mengetahui waktu-waktu puasa dan ibadah melalui perhitungan dan penulisan, sesungguhnya ibadah kami ditandai dengan alamat-alamat yang jelas dan perkara-perkara yang mudah.”

Berkata As-Subky dalam ‘Ilmu Mansyur hal. 9: “Perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‘Bulan ini jumlahnya begini dan begini.’ Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat dengan tangannya. Di sini beliau memberi isyarat penentuan bulan adalah perkara yang sangat dimudahkan dan meniadakan penggunaan hisab yang menyulikan.”

Berkata Adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam An-Nubala 14/191-192:

“Perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَةُ لاَنَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الْهِلاَلُ هَكَذَا هَكَذَا

“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiyah, tidak (bisa) menulis dan tidak (bisa) menghitung, hilaal adalah begini dan begini.”

Di sini beliau menafikan penulisan dan hisab dari umatnya menurut kebanyakannya, karena sesungguhnya ada di antara mereka yang mampu menghitung sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابِ

Artinya: “Supaya kalian tahu jumlah tahun dan perhitungannya.”

Di antara mereka ada yang pandai ilmu warisan yang membutuhkan ilmu hisab, dan tapi tetap saja Rasulullah nafikan hal itu dari umatnya. Ini tidak lain untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang mudah dan memudahkan dalam seluruh pelaksanaan syariat.

3. Dalil Qiyas terhadap shalat yang ditentukan dengan hisab

Qiyas ini asalnya bathil sebab shalat yang ditentukan waktunya dengan hisab tidak didasari dengan dalil Al-Qur’an, Sunnah, maupun dalil Ijma’. Dan syarat dalil qiyas apabila hal yang diqiyaskan kepadanya bersandar kepada Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Dan seandainya shalat yang ditentukan dengan hisab adalah betul maka terjadi qiyas ma’al-fariq (antara pengkiasan shalat dan puasa Ramadhan terdapat perbedaan). Karena shalat ditentukan waktunya dengan mengetahui tanda masuk waktunya apakah dengan melihat langsung atau dengan mengetahui tanda-tandanya yang menunjukkan waktu shalat telah masuk, kalau Ramadhan tidak ditentukan dengan keluar atau datangnya hilal tetapi Ramadhan hanya ditentukan dengan melihat hilal dan bila tidak melihat maka disempurnakan Sya’ban menjadi 30 hari sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Rasulullah dalam hadits. (Lihat Fiqh An-Nawazil 2/214-215)

Penyelisihan Hisab terhadap Syari’at

- Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menetapkan waktu, setiap bulannya dengan 29 hari dan paling banyaknya 30 hari sebagaimana sabda beliau:

((
الشَّهْرُ يَكُوْنُ تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ وَيَكُوْنُ ثَلاَثِيْنَ)) رواه البخاري ومسلم والنسائى

“Bulan Kadang 29 (hari) dan kadang 30 (hari).” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i)

Sedangkan perhitungan hisab, paling cepatnya bulan ditentukan dengan jumlah 29 hari,12 jam dan 44 menit.

- Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan penetapan bulan Ramadhan dengan melihat hilal atau menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 hari bila hilal terhalang oleh kabut dan atau awan. Adapun ahli hisab menyatakan jika perhitungan menyatakan hilal muncul di hari ke-29, baik itu hilalnya terlihat atau tidak maka sudah dapat ditetapkan bahwa bulan Ramadhan telah masuk.

- Syariat menyatakan penentuan bulan adalah perkara yang sangat mudah, bisa diketahui oleh semua manusia dan tidak menyusahkan dalam menentukan datangnya. Sebagaimana yang diketahui bahwa pelaksanaan syari’at dan ibadah dalam Islam adalah mudah dan bisa dilaksanakan oleh semua orang. Adapun hisab sebaliknya, hanya diketahui sebagian orang dan pelaksanaannya sulit.

(Lihat Majmu’ Al-Fatawa 25/134-136, 139-141)


Celaan-celaan Ulama terhadap Hisab

- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

“Rusaknya hujjah yang menyatakan tentang hisab, terlihat ketika mereka berdalilkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang berbunyi
فَاقْدِرُوْالَهُ dengan tafsirannya taqdirkanlah/tentukanlah dengan hisab. Sedangkan Ibnu ‘Umar meriwayatkan hadits yang membantah adanya hisab melalui hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَةُ لاَنَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الْهِلاَلُ هَكَذَا هَكَذَا

“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiyah, tidak (bisa) menulis dan tidak (bisa) menghitung, hilaal adalah begini dan begini.”

Maka tidak mungkin hadits Ibnu ‘Umar yang berbunyi
فَاقْدِرُوْا لَهُ ditafsirkan dengan hisab.” (Majmu’ Al-Fatawa 25/182)

- Para ulama memasukkan orang yang menggunakan hisab sebagai orang-orang yang mengambil tuntunan agama bukan dari Rasulullah, mereka itu sama dengan ahlul bid’ah kelompok Syi’ah bahkan mereka sama dengan bid’ahnya ahlul kitab dari ahlu so’bah yang hanya menggunakan hisab tanpa menggunakan ru’yah. (Majmu’ Al-Fatawa 25/179)

- Berkata Ibnu Bazizah: “Hisab adalah madzhab batil karena sesungguhnya syari’at telah melarang berkecimpung dalam ilmu perbintangan (ilmu hisab) karena ilmu tersebut didasari dengan dugaan dan perkiraan bukan dengan hal yang pasti atau dugaan yang kuat.” (Lihat Al-Fath 4/159, Subulus Salam 2/242)

- Berkata Ibnu Mulaqqin: “Hisab adalah pendapat yang sangat lemah dan sesungguhnya manusia bila dibebankan dengan cara ini tentu akan memberatkan mereka karena hisab tidak diketahui kecuali oleh sebagian kecil dari mereka. Dan syari’at yang diberlakukan kepada mereka adalah mudah dipahami dan diamalkan oleh seluruh manusia. Dan juga ilmu perhitungan hisab itu berbeda-beda pada setiap tempat dan negara maka ini akan menyebabkan perpecahan di antara mereka.” (Lihat Al-I’lam bi Fawaidil Umdah Al-Ahkam 5/176-177)

- Berkata Ibnu Al-Araby: “Madzhab hisab adalah madzhab yang jauh dari pemahaman orang-orang yang pandai maka terlebih lagi dari pemahaman para ulama.” (Lihat Al-Qabs 2/483 dan Al-Aridhah 3/208)

Tidak ada komentar: