Beberapa Perkara yang Perlu Diketahui Sebelum Memasuki
Ramadhan
Hukum Puasa
Sehari atau Dua Hari Sebelum Ramadhan
Seseorang
tidak boleh berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud
berjaga-jaga, jangan sampai Ramadhan telah masuk pada satu atau dua hari itu,
sementara dia tidak mengetahui hal itu. Adapun, kalau seseorang berpuasa sehari
atau dua hari sebelum Ramadhan karena bertepatan dengan kebiasaannya dalam hal
berpuasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis dan puasa Daud, hal tersebut tidaklah
mengapa dan diperbolehkan dalam syariat.
Seluruh
keterangan di atas berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu
riwayat Al-Bukhâry dan Muslim bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لاَ
تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ
يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah
kalian mendahului Ramadhan dengan cara berpuasa satu hari atau dua hari
(sebelum Ramadhan masuk), kecuali, (jika) seseorang biasa berpuasa dengan suatu
puasa, (tetaplah) ia berpuasa.”
Penampakan
Hilal Adalah Penentu Masuknya Ramadhan
Penentuan
masuknya bulan Ramadhan adalah dengan cara melihat Hilal. Hilal adalah bulan
sabit kecil yang tampak pada awal bulan.
Dalam
syariat Islam, bulan hanya terdiri dari 29 atau 30 hari sebagaimana dalam
hadits Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry dan
Muslim bahwa, tatkala menyebutkan Ramadhan, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam berisyarat dengan kedua tangannya seraya berkata,
الشَّهْرُ
هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِي الثَّالِثَةِ
فَصُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ
فَاقْدُرُوْا لَهُ ثَلَاثِيْنَ
“Bulan (itu)
begini, begini, dan begini,” kemudian beliau melipat ibu jarinya pada kali
ketiga (yaitu sepuluh, tambah sepuluh, tambah sembilan,-pent.), (lalu berkata),
“Maka, berpuasalah kalian karena melihat (hilal) tersebut, dan berbukalah
kalian karena kalian melihat (hilal) tersebut. Apabila tertutupi dari
(pandangan) kalian, genapkanlah bulan (Sya’ban) itu menjadi tiga puluh (hari).”
Waktu
Pemantauan Hilal
Pemantauan
hilal Ramadhan hendaknya dilakukan pada 29 Sya’ban setelah matahari terbenam.
Selang beberapa saat, bila hilal terlihat, 1 Ramadhan telah masuk, tetapi,
apabila hilal tersebut tidak terlihat, berarti Sya’ban digenapkan menjadi 30
hari. Secara otomatis, setelah 30 Sya’ban tentunya adalah 1 Ramadhan.
Apabila
Terlihat di Suatu Negeri, Apakah Hilal Berlaku bagi Negeri Itu Saja, Ataukah
Berlaku Juga bagi Seluruh Dunia?
Apabila
hilal telah terlihat pada satu negeri, seluruh negeri lain di dunia diharuskan
untuk berpuasa. Hal ini merupakan pendapat Jumhur Ulama yang dipetik dari
firman Allah Ta’âla,
…فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ…
“… Maka
barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa ….” [Al-Baqarah:
185]
Juga dari
hadits Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry dan
Muslim yang tersebut di atas, dan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu
riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
صُوْمُوْا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ
فَعَدُّوْا ثَلَاثِيْنَ
“Berpuasalah
kalian karena melihat (hilal) tersebut, dan berbukalah kalian karena melihat
(hilal) tersebut. Lalu, apabila tertutupi dari (pandangan) kalian,
sempurnakanlah bulan (Sya’ban) tersebut menjadi tiga puluh (hari).”
Ayat dan dua
hadits di atas adalah perkataan yang ditujukan kepada seluruh kaum muslimin di
manapun mereka berada pada belahan bumi ini, maka mereka wajib berpuasa tatkala
ada di antara kaum muslimin yang melihat hilal.
Diposting: 28 Syaban 1433 H / 17-07-2012 || 57 klik
"BANTAHAN TERHADAP DALIL-DALIL YANG
MENGGUNAKAN HISAB"
Dalil-dalil yang Menggunkan Hisab dan Bantahannya
1. Riwayat فَاقْدِرُوْا
لَهُ, mereka
maknakan: Tentukan dengan hisab (perhitungan bulan). Dan ini dikhususkan kepada
orang yang mempunyai ilmu hisab, dan kata sempurnakan bulan tersebut, ini
ditujukan untuk semua manusia.
Bantahannya:
Berkata Imam Malik, Asy-Syafi’i dan jumhur salaf dan
khalaf bahwa makna فَاقْدِرُوْا
لَهُ adalah
sempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Hal ini ditafsirkan pada riwayat
Muslim:
فَقْدِرُوْا ثَلاَثِيْنَ،
فَاقْدِرُوْا
ثَلاَثِيْنَ،
فَصُوْمُوْا
ثَلاَثِيْنَ
وفي رواية
البخاري فَأَكْمِلُوْا
عِدَّةَ شَعْبَانَ
ثَلاَثِيْنَ
“Maka takdirkan (cukupkan) 30 (hari), (cukupkan) 30
hari, maka berpuasalah 30 (hari).” Dalam riwayat Imam Al-Bukhari: “Maka
sempurnakanlah jumlah (hitungan) bulan Sya’ban 30 (hari).”
(Lihat I’lam bi Fawaidil Umdah: 5/174)
Dan hadits yang menyatakan فَاقْدِرُوْا
لَهُ dengan
makna sempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Al-Hakim (91/423) dan dalam As-Sunan Al-Kubra Al-Baihaqy (4/204) dengan
sanad yang shahih dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam berkata:
إِنَّ اللهَ
تَعَالَى
جَعَلَ الأَهِلَّةِ
مَوَاقِيْتَ
فَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ
فَصُوْمُوْا
وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ
فَأفْطِرُوْا
فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ
فَاقْدِرُوْا
لَهُ أتَمُوهُ
ثَلاَثِيْنَ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan hilal-hilal,
waktu-waktu, maka jika kalian melihatnya (hilal, -pent) maka berpuasalah dan
jika kalian melihatnya maka berbukalah. Jika tertutup atas kalian maka cukuplah
baginya (bulan) dan sempurnakanlah (Sya’ban, -pent) 30 (hari).”
Dan inilah yang dipahami penafsirannya dari ahlul hadits
yang mengeluarkan hadits-hadits tentang ru’yah seperti Imam Al-Bukhary
sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary 4/120, dan
Imam Malik sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu ‘Abdil Bar dalam At-Tahmid
(2/39-40). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Rusaknya pendapat yang
menyatakan hisab karena mereka berhujjah dengan hadits Ibnu ‘Umar sedangkan
Ibnu ‘Umar juga meriwayatkan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّا أُمَّةٌ
أُمِّيَةُ
لاَنَكْتُبُ
وَلاَ نَحْسُبُ،
الْهِلاَلُ
هَكَذَا هَكَذَا
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiyah, tidak
(bisa) menulis dan tidak (bisa) menghitung, hilaal adalah begini dan begini.”
Mereka berkata: Perintah menggunakan ru’yah disebabkan
karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan kita adalah umat
yang tidak dapat menulis dan menghitung. Dan hukum itu berlaku atau tidak
ditentukan oleh ada atau tidaknya sebab itu. Maka jika umat sudah mampu
menghitung dan menulis, ru’yah dan hisab bisa digunakan kedua-duanya dalam
menentukan arah bulan.
Bantahannya:
Sesungguhnya hikmah dan sebab disyariatkannya melihat
hilal adalah karena mudahnya dan bisa diketahui oleh seluruh manusia, yang mana
dua hal ini menyebabkan umat bersatu dan terhindar dari perpecahan dan
perselisihan. Sebagaimana hal ini disebutkan oleh Ibnu Taimiyah (Majmu’
Al-Fatawa jilid 25), Ibnu Al-Araby dalam Aaridhatul Ahwadzi, Ibnu Hajar dalam
Al-Fath 4/122.
Berkata Ibnu Bathal dalam Irsyadul Ahlil Millah: “Kami
tidak dibebankan dalam mengetahui waktu-waktu puasa dan ibadah melalui
perhitungan dan penulisan, sesungguhnya ibadah kami ditandai dengan
alamat-alamat yang jelas dan perkara-perkara yang mudah.”
Berkata As-Subky dalam ‘Ilmu Mansyur hal. 9: “Perkataan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‘Bulan ini jumlahnya begini dan
begini.’ Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat dengan
tangannya. Di sini beliau memberi isyarat penentuan bulan adalah perkara yang
sangat dimudahkan dan meniadakan penggunaan hisab yang menyulikan.”
Berkata Adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam An-Nubala
14/191-192:
“Perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
yang menyatakan:
إِنَّا أُمَّةٌ
أُمِّيَةُ
لاَنَكْتُبُ
وَلاَ نَحْسُبُ،
الْهِلاَلُ
هَكَذَا هَكَذَا
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiyah, tidak
(bisa) menulis dan tidak (bisa) menghitung, hilaal adalah begini dan begini.”
Di sini beliau menafikan penulisan dan hisab dari
umatnya menurut kebanyakannya, karena sesungguhnya ada di antara mereka yang
mampu menghitung sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ
السِّنِينَ
وَالْحِسَابِ
Artinya: “Supaya kalian tahu jumlah tahun dan
perhitungannya.”
Di antara mereka ada yang pandai ilmu warisan yang
membutuhkan ilmu hisab, dan tapi tetap saja Rasulullah nafikan hal itu dari
umatnya. Ini tidak lain untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang mudah
dan memudahkan dalam seluruh pelaksanaan syariat.
3. Dalil Qiyas terhadap shalat yang ditentukan dengan
hisab
Qiyas ini asalnya bathil sebab shalat yang ditentukan
waktunya dengan hisab tidak didasari dengan dalil Al-Qur’an, Sunnah, maupun
dalil Ijma’. Dan syarat dalil qiyas apabila hal yang diqiyaskan kepadanya
bersandar kepada Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Dan seandainya shalat yang
ditentukan dengan hisab adalah betul maka terjadi qiyas ma’al-fariq (antara
pengkiasan shalat dan puasa Ramadhan terdapat perbedaan). Karena shalat
ditentukan waktunya dengan mengetahui tanda masuk waktunya apakah dengan
melihat langsung atau dengan mengetahui tanda-tandanya yang menunjukkan waktu
shalat telah masuk, kalau Ramadhan tidak ditentukan dengan keluar atau
datangnya hilal tetapi Ramadhan hanya ditentukan dengan melihat hilal dan bila
tidak melihat maka disempurnakan Sya’ban menjadi 30 hari sebagaimana hal ini
dinyatakan oleh Rasulullah dalam hadits. (Lihat Fiqh An-Nawazil 2/214-215)
Penyelisihan Hisab terhadap Syari’at
- Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menetapkan
waktu, setiap bulannya dengan 29 hari dan paling banyaknya 30 hari sebagaimana
sabda beliau:
((الشَّهْرُ
يَكُوْنُ
تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ
وَيَكُوْنُ
ثَلاَثِيْنَ))
رواه البخاري
ومسلم والنسائى
“Bulan Kadang 29 (hari) dan kadang 30 (hari).” (HR.
Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i)
Sedangkan perhitungan hisab, paling cepatnya bulan
ditentukan dengan jumlah 29 hari,12 jam dan 44 menit.
- Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan
penetapan bulan Ramadhan dengan melihat hilal atau menyempurnakan Sya’ban
menjadi 30 hari bila hilal terhalang oleh kabut dan atau awan. Adapun ahli
hisab menyatakan jika perhitungan menyatakan hilal muncul di hari ke-29, baik
itu hilalnya terlihat atau tidak maka sudah dapat ditetapkan bahwa bulan
Ramadhan telah masuk.
- Syariat menyatakan penentuan bulan adalah perkara yang
sangat mudah, bisa diketahui oleh semua manusia dan tidak menyusahkan dalam
menentukan datangnya. Sebagaimana yang diketahui bahwa pelaksanaan syari’at dan
ibadah dalam Islam adalah mudah dan bisa dilaksanakan oleh semua orang. Adapun
hisab sebaliknya, hanya diketahui sebagian orang dan pelaksanaannya sulit.
(Lihat Majmu’ Al-Fatawa 25/134-136, 139-141)
Celaan-celaan Ulama terhadap Hisab
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Rusaknya hujjah yang menyatakan tentang hisab, terlihat
ketika mereka berdalilkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang berbunyi فَاقْدِرُوْالَهُ
dengan tafsirannya taqdirkanlah/tentukanlah dengan hisab. Sedangkan Ibnu ‘Umar
meriwayatkan hadits yang membantah adanya hisab melalui hadits Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّا أُمَّةٌ
أُمِّيَةُ
لاَنَكْتُبُ
وَلاَ نَحْسُبُ،
الْهِلاَلُ
هَكَذَا هَكَذَا
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiyah, tidak
(bisa) menulis dan tidak (bisa) menghitung, hilaal adalah begini dan begini.”
Maka tidak mungkin hadits Ibnu ‘Umar yang berbunyi فَاقْدِرُوْا
لَهُ
ditafsirkan dengan hisab.” (Majmu’ Al-Fatawa 25/182)
- Para ulama memasukkan orang yang menggunakan hisab
sebagai orang-orang yang mengambil tuntunan agama bukan dari Rasulullah, mereka
itu sama dengan ahlul bid’ah kelompok Syi’ah bahkan mereka sama dengan
bid’ahnya ahlul kitab dari ahlu so’bah yang hanya menggunakan hisab tanpa
menggunakan ru’yah. (Majmu’ Al-Fatawa 25/179)
- Berkata Ibnu Bazizah: “Hisab adalah madzhab batil
karena sesungguhnya syari’at telah melarang berkecimpung dalam ilmu
perbintangan (ilmu hisab) karena ilmu tersebut didasari dengan dugaan dan
perkiraan bukan dengan hal yang pasti atau dugaan yang kuat.” (Lihat Al-Fath
4/159, Subulus Salam 2/242)
- Berkata Ibnu Mulaqqin: “Hisab adalah pendapat yang
sangat lemah dan sesungguhnya manusia bila dibebankan dengan cara ini tentu
akan memberatkan mereka karena hisab tidak diketahui kecuali oleh sebagian
kecil dari mereka. Dan syari’at yang diberlakukan kepada mereka adalah mudah
dipahami dan diamalkan oleh seluruh manusia. Dan juga ilmu perhitungan hisab
itu berbeda-beda pada setiap tempat dan negara maka ini akan menyebabkan
perpecahan di antara mereka.” (Lihat Al-I’lam bi Fawaidil Umdah Al-Ahkam
5/176-177)
- Berkata Ibnu Al-Araby: “Madzhab hisab adalah madzhab
yang jauh dari pemahaman orang-orang yang pandai maka terlebih lagi dari
pemahaman para ulama.” (Lihat Al-Qabs 2/483 dan Al-Aridhah 3/208)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar