HIDAYAH RAMADHAN
Puasa
sebagai kewajiban
Bulan ramadhan merupakan hari
dimana setiap kaum muslimin (orang-orang Islam) di seluruh belahan dunia, pada
siang harinya diperintahkan untuk berpuasa. Berpuasa yang dimaksud tidak hanya
sekedar menahan lapar dan haus, akan tetapi lebih kepada menahan diri dari
hal-hal yang tercela yang berpotensi merugikan diri sendiri maupun orang lain,
“Barangsiapa
yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan,
maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya”.
(HR.
Bukhari) sebuah ketaatan bathiniyah
dan jasmaniyah atas dasar
tuntunan syari’at (Alqur’an dan Al-hadits),
yang ke-duanya menjadikan pribadi seseorang dalam kesabaran dan ketaatan di
luar dari keinginan dan kebiasaan buruk manusia.
Puasa ramadhan merupakan rukun
Islam yang ke-4 yang harus ditunaikan bagi orang Islam yang telah memenuhi
syarat dan ketentuan untuk menjalangkannya. dalam kondisi lapar dan haus di perintahkan
agar tetap konsisten menjaga dan meningkatkan kualitas ibadah dengan penuh
keimanan dan harapan pada siang hari maupun pada malam harinya agar mencapai
derajat tertinggi yaitu at-Taqwa,
sebagaimana yang tertera dalam Alqur’an surah Al-Baqarah ayat [2]:183 artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa”. Dan dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa karena iman
dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu".
(HR. Bukhari).
Makna
sosial
Jika mengacu pada sebuah
keutamaan (fadhilah) puasa, mempunyai
beberapa nilai sosial tinggi, disamping sebagai salah satu bentuk ketaatan
ibadah dalam mendekatkan diri pada Allah tabaraka
wata’ala, juga sebagai bentuk solidaritas dan integritas mendalam dalam
membangun masyarakat madani, menanamkan nilai-nilai luhur, budi pekerti dan
menjadikan pribadi yang sabar dan tabah dalam segala bentuk ujian pada agama
dan pada sesama manusia. Sebagimana dijelaskan bahwa “Dari Abu Hurairah ia
berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah
berfirman: …maka bila pada hari puasanya seseorang di antara kalian janganlah
ia melakukan rafats (ucapan kotor) dan janganlah ia yashkhab (berteriak,
ribut), bila seseorang mencacimu atau mengganggumu maka katakanlah: ‘Saya ini
orang yang sedang berpuasa…’.” (HR. Bukhari). Dan masih
banyak lagi hadits yang semakna dengan di atas.
Menujukkan
bahwa dengan menjalangkan ibadah puasa dengan sesuai tuntunan, maka hidup dan
kehidupan manusia akan menjadi damai sentosa, asri dan mampu meminimalisir segala
bentuk penyimpangan/patalogi sosial yang akan terjadi dan telah terjadi di
tengah masyarakat dan puasa sebagai proses interaksi yang mengedepankan humanitas-sosial di atas individualitas. Maka, makna sosial yang
selalu ada pada sebuah masyarakat yang menjalangkan ibadah puasa secara khusyu’ mengajarkan perhatian, kepudulian
sosial, memberikan kesadaran kolektif terhadap sesama untuk membangun sistem
sosial dan perilaku sosial hidup berbagi, seperasaan, sepenanggungan dalam
segala bentuk lapisan masyarakat yang multiculture. Bahkan menjadi sebuah
keagungan bagi orang yang berpuasa jika apa yang dirasakan dari sebuah nikmat
rejeki, orang lain pun juga merasakan alias dibagikan. Sehingga
jika kita kembali pada konsep keberagamaan, semua agama menganjurkan ibadah
puasa dengan ketentuan tertentu dan mengajarkan pada hidup keteraturan dan
kepedulian sosial. Sehingga pada hal tersebut, maka tidak akan ada lagi
kekacuan sebagai mana fungsi keberadaan agama terhadap penganutnya. Puasa tidak
hanya mengatur pada persoalan ‘ubudiyah
terhadap diri dan Tuhannya melaingkan juga mengatur diri dan sesamanya
(manusia). agama mempunyai kekuatan-kekuatan kolektif yang berpengaruh dan
berperan dalam masyarakat, sehingga agama merupakan sebuah fakta sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar