Sabtu, 09 April 2016

HIDAYAH RAMADHAN



HIDAYAH RAMADHAN

Puasa sebagai kewajiban
Bulan ramadhan merupakan hari dimana setiap kaum muslimin (orang-orang Islam) di seluruh belahan dunia, pada siang harinya diperintahkan untuk berpuasa. Berpuasa yang dimaksud tidak hanya sekedar menahan lapar dan haus, akan tetapi lebih kepada menahan diri dari hal-hal yang tercela yang berpotensi merugikan diri sendiri maupun orang lain, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya”. (HR. Bukhari) sebuah ketaatan bathiniyah dan jasmaniyah atas dasar tuntunan syari’at (Alqur’an dan Al-hadits), yang ke-duanya menjadikan pribadi seseorang dalam kesabaran dan ketaatan di luar dari keinginan dan kebiasaan buruk manusia.
Puasa ramadhan merupakan rukun Islam yang ke-4 yang harus ditunaikan bagi orang Islam yang telah memenuhi syarat dan ketentuan untuk menjalangkannya. dalam kondisi lapar dan haus di perintahkan agar tetap konsisten menjaga dan meningkatkan kualitas ibadah dengan penuh keimanan dan harapan pada siang hari maupun pada malam harinya agar mencapai derajat tertinggi yaitu at-Taqwa, sebagaimana yang tertera dalam Alqur’an surah Al-Baqarah ayat [2]:183 artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. Dan dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu". (HR. Bukhari).
Makna sosial
Jika mengacu pada sebuah keutamaan (fadhilah) puasa, mempunyai beberapa nilai sosial tinggi, disamping sebagai salah satu bentuk ketaatan ibadah dalam mendekatkan diri pada Allah tabaraka wata’ala, juga sebagai bentuk solidaritas dan integritas mendalam dalam membangun masyarakat madani, menanamkan nilai-nilai luhur, budi pekerti dan menjadikan pribadi yang sabar dan tabah dalam segala bentuk ujian pada agama dan pada sesama manusia. Sebagimana dijelaskan bahwa “Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah berfirman: …maka bila pada hari puasanya seseorang di antara kalian janganlah ia melakukan rafats (ucapan kotor) dan janganlah ia yashkhab (berteriak, ribut), bila seseorang mencacimu atau mengganggumu maka katakanlah: ‘Saya ini orang yang sedang berpuasa…’.” (HR. Bukhari). Dan masih banyak lagi hadits yang semakna dengan di atas.
Menujukkan bahwa dengan menjalangkan ibadah puasa dengan sesuai tuntunan, maka hidup dan kehidupan manusia akan menjadi damai sentosa, asri dan mampu meminimalisir segala bentuk penyimpangan/patalogi sosial yang akan terjadi dan telah terjadi di tengah masyarakat dan puasa sebagai proses interaksi yang mengedepankan humanitas-sosial di atas individualitas. Maka, makna sosial yang selalu ada pada sebuah masyarakat yang menjalangkan ibadah puasa secara khusyu’ mengajarkan perhatian, kepudulian sosial, memberikan kesadaran kolektif terhadap sesama untuk membangun sistem sosial dan perilaku sosial hidup berbagi, seperasaan, sepenanggungan dalam segala bentuk lapisan masyarakat yang multiculture. Bahkan menjadi sebuah keagungan bagi orang yang berpuasa jika apa yang dirasakan dari sebuah nikmat rejeki, orang lain pun juga merasakan alias dibagikan. Sehingga jika kita kembali pada konsep keberagamaan, semua agama menganjurkan ibadah puasa dengan ketentuan tertentu dan mengajarkan pada hidup keteraturan dan kepedulian sosial. Sehingga pada hal tersebut, maka tidak akan ada lagi kekacuan sebagai mana fungsi keberadaan agama terhadap penganutnya. Puasa tidak hanya mengatur pada persoalan ‘ubudiyah terhadap diri dan Tuhannya melaingkan juga mengatur diri dan sesamanya (manusia). agama mempunyai kekuatan-kekuatan kolektif yang berpengaruh dan berperan dalam masyarakat, sehingga agama merupakan sebuah fakta sosial.    

Tidak ada komentar: