oleh : Sam'un Mukramin
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perempuan adalah
makhluk paling ajaib yang
diciptakan Tuhan dari tulang rusuk pria, namun merupakan ujian terbesar bagi kaum pria. Daya
dan gaya tarik apapun tak ada yang mampu menandingi daya dan gaya tarik perempuan, karenanya ia bisa menjadi nikmat yang mampu mengantar pria pada surga dunia dan surga
akhirat, sekaligus bisa
menjadi bala yang menjerumuskan pria ke neraka dunia dan neraka akhirat, sebab jika
sudah berurusan dengan perempuan apapun
bisa dilakukan pria bahkan berkorban nyawa sekalipun. Demikian hebatnya daya tarik yang dimiliki
olehnya, dapat kita lihat bagaimana Allah menggambarkan bidadari-bidadari syurga merupakan perempuan-perempuan cantik dan suci sebagai hadiah dan atau balasan terhadap pahala hamba-hambanya
yang takwa. Bahkan
Perempuan, sering disebut tulang punggung Negara, karena
konon kata orang bijak, kebaikan perempuan bisa
menegakkan negara, namun keburukannya dapat menghancurkan negara.
Di
sisi lain, perempuan adalah makhluk yang sangat lembut, karenanya dianggap lemah dan tidak
berdaya, sehingga berabad-abad lamanya, sejak adanya peradaban manusia di muka
bumi, kaum perempuan selalu
menjadi objek dominasi dan penindasan kaum laki-laki dan tidak memiliki hak apapun dalam pranata sosial dan
masyarakat sehingga harkat dan martabat kaum perempuan berada pada tingkat yang paling
rendah, bahkan dewasa diabad modern
sekarang ini ditengah bergaungnya teriakan persamaan hak laki-laki dan
perempuan atau yang lebih terkenal dengan istilah ”kesetaraan gender” dan “Hak Azazi Manusia (HAM)” masih sering
terjadi perlakuan laki-laki yang berbuat tidak semestinya terhadap perempuan. Perempuan sering mengalami perlakuan buruk dalam
masyarakat, sebagai warga kelas dua baik dalam kehidupan sosial masyarakat
maupun dalam lapangan pekerjaan.
Namun pemikiran-pemikiran seperti itu lambat laun kian
memudar seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman. Meskipun demikian penghargaan
terhadap perempuan belum pada proporsi yang sepatutnya, masalah persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan selalu jadi polemik yang tidak habis-habisnya, sehingga pada tahum
1960-an lahir suatu gerakan perempuan di dunia Barat yang menamai “Gerakan Feminisme”, suatu gerakan yang menuntut hak akan keberadaan perempuan yang selama selalu dibelakang kaum laki-laki untuk menjadi sama bahkan
lebih kedudukannya dibandingkan laki-laki, suatu gerakan perempuan dalam pembebasan dari belenggu penindasan yang sebenarnya telah ada sejak beberapa abad yang lalu.
Akan tetapi gerakan pembahasan yang terjadi di barat ternyata tidak sesuai dengan syariat Islam, sehingga lahirlah
feminisme Islam sebagai bentuk ketidak puasan atas gerakan feminisme Barat.
Diskursus gender dalam agenda feminisme
kontemporer banyak memfokuskan pada persamaan hak, partisipasi perempuan dalam
kerja, pendidikan, kebebasan seksual maupun hak reproduksi. Sejak abad 17
hingga 21 perjuangan feminis telah mencapai pasang surut dan mengalami
perluasan wilayah tuntutan dan agenda perjuangan yang jauh lebih rumit bahkan
menuntut satu studi khusus terhadap wacana ini. Dari
kubu pro dan kontra feminisme, dari kritikan dan kecaman yang terlontar, Islam
diantaranya yang paling mendapat banyak sorotan dalam kaitannya terhadap status
dan aturan yang diberikan agama ini terhadap kaum perempuan. Hegemoni Islam
terhadap perempuan muslim di negara-negara Islam terlihat jelas dalam praktek
keseharian di kehidupan. Dengan demikian akan difokuskan mengenai peran
perempuan dalam keluarga, dimana kaum perempuan mendapat kesulitan dalam
bergaul, mengekpresikan kebebasan individunya, terkungkung oleh aturan yang
sangat membatasi ruang kerja dan gerak dinamisnya, bahkan suaranyapun tidak
berarti layaknya seorang warga negara atau anggota masyarakat atau hak seorang
inddividu.
Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan
serta memerosotkan kedudukan perempuan
dalam masyarakat, disamping pengaruh perkembangan peradaban dan kebudayaan
manusia yang cendrung mempertentangkan peran laki-laki dan perempuan, faktor lainnya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan bahkan tidak jarang agama di atas namakan untuk pandangan yang merendahkan perempuan.
Terdapat dua teori peran laki-laki dan perempuan yang
berlawanan, yaitu teori nature dan teori nurture. Teori nature
yang disokong oleh teori biologis dan teori fungsionalisme struktural ini,
mengatakan bahwa perbedaan peran gender bersumber dari perbedaan biologis
laki-laki dan perempuan. Sedangkan teori nurture, yang disokong oleh
teori konflik dan teori feminisme, mengandaikan bahwa perbedaan peran gender antara
laki-laki dan perempuan bukan merupakan konsekuensi dari perbedaan biologis
yang kodrati, namun lebih sebagai hasil konstruksi manusia, yang pembentukannya
sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang melingkupinya.
Kedua teori ini senantiasa berjalan secara berlawanan, tidak didefinisikan secara alamiah dan setara,
laki dan perempuan, kedua jenis kelamin ini
dikonstruksikan secara sosial, bahwa kodrat laki-laki dikatakan kuat, macho, tegas,
rasional, dan seterusnya, sebaliknya, kodrat perempuan
lemah, emosional dan seterusnya.
Oleh karena itu diperlukan pemposisian apakah identitas jenis kelamin perempuan dan
laki-laki itu merupakan kodrati atau konstruksi, mengingat implikasi dari konsep yang berbeda tersebut sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan sosial-kultural, karena berdampak pada adanya pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang
tidak wajar dan tidak pantas untuk dilakukan oleh laki-laki atau perempuan.
Menurut ajaran Islam, perempuan
memiliki kedudukan terhormat, karena prinsip pokok
dalam Islam adalah
persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa,
suku dan keturunan. Perbedaan yang meninggikan atau merendahkan manusia dalam artian perempuan dan laki-laki memiliki dan yang membedakan keduanya hanyalah nilai pengabdian
dan ketakwaannya kepada Allah,
sebagaimana firman-Nya ;
“Wahai seluruh
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang
termulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa (QS 49: 13).”
“Dan Kami
perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya
telah mengandungnya
dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah
kamu akan kembali.” (QS. Luqman: 14)
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pernah ada
seorang laki-laki datang kepada Rasulullah. Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang batten berhak bagi
aku untuk berlaku bajik kepadanya?”
Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi
menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya
lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi
menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya
lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi
menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari-Muslim)
Di Indonesia kedangkalan
pemahaman terhadap ajaran Islam telah menimbulkan kekeliruan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan, antara lain Undang Undang Perkawinan Indonesia
(UU Nomor 1 Than 1974) mengenai ketentuan harta bersama dalam perkawinan, yang
sangat merugikan kaum perempuan.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan
yang hendak diangkat dalam
makalah ini yaitu sebagi berikut :
1. Bagaimana kejiwaan perempuan itu ?
2.
Jelaskan konsep perempuan dan kesetaraan gender ?
3.
Bagaimana kedudukan perempuan
dalam pandangan agama islam ?
4.
Bagaimana kesetaraan gender dalam pandangan agama islam ?
5.
Bagaimana munculnya ketidakadilan terhadap perempuan dengan dalih
agama ?
6.
Bagaimana
peranan seorang ibu
dalam pandangan agama islam ?
7.
Bagaimana
peranan perempuan sebagai istri dalam
pandangan islam ?
8.
Bagaimana pandangan
islam bagi perempuan muslimah yang bekerja di luar rumah ?
9.
Bagaimana peranan perempuan
dalam kehidupan sosial ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kejiwaan Seorang
Perempuan
Perempuan dapat diibaratkan sebagai gelombang laut, ketika perempuan
itu merasa dicintai maka akan naik mental dan semangatnya, wajahnyapun selalu terlihat
tersenyum bahagia dan berarti gelombang laut sedang naik, ketika itu juga dia
memberikan kemurahan cintanya. Sebaliknya ketika gelombang itu turun maka akan
memunculkan perasaan pada perempuan yang menyerupai penjernihan
pertimbangan perasaan dan dalam hati dia berusaha memeriksa adanya sesuatu
yang dibutuhkan dan diinginkan. Dalam keadan seperti ini banyak keluhan hingga
dia mencari seseorang untuk mendengarkan, memahami dan mengharapkan jalan
keluar atau solusi yang akan dilakukan selanjutnya.
Dengan demikian kesiapan perempuan untuk memberi dan
menerima cinta dan kasihsayang, tergantung pada seberapa besar perasaan dalam
dirinya. Dengan kata lain tergantung dari penghargaan pada dirinya. Bagi kaum
Adam, yang terpenting adalah ia harus mengetahui titik ini denga baik. Ia harus
tahu keadaan perempuan yang menuntutnya bersikap sangat lembut, mempergaulinya
dengan baik,dan membuatnya merasakan cinta dan kasih sayang yang diharapkan dan
di cari dari seorang laki-laki. Perempuan tersebut adalah
istri yang sangat membutuhkan perasaan tersebut.
B.
Perempuan dan Kesetaraan Gender
Menurut bahasa,
kata gender diartikan sebagai “the
grouping of words intomasculine, feminine, and neuter, according as they are
regarded as male, female or without sex” yang artinya gender adalah
kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin, feminin, atau tanpa keduanya
(netral). Dapat dipahami bahwa gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan
juga bukan kodrat Tuhan.
Konsep gender sendiri harus dibedakan antara kata
gender dan kata seks (jenis kelamin). Perbedaan jenis kelamin antara
laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen
tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender
adalah perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara
sosial dibentuk. Perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses
sosial dan budaya yang panjang. Misalnya seperti apa yang telah kita ketahui
bahwa perempuan dikenal sebagai sosok yang lemah lembut, emosional,
dan keibuan sehingga biasa disebut bersifat feminin. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa serta disebut
bersifat maskulin. Pada hakikatnya ciri dan sifat itu sendiri merupakan
sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang
memiliki sifat emosional dan lemah lembut. Dan sebaliknya, ada
pula wanita yang kuat, rasional dan perkasa. Oleh karena itu
gender dapat berubah dari individu ke individu yang lain, dari waktu ke waktu, dari tempat ke
tempat, bahkan dari kelas sosial yang satu ke kelas sosial yang lain. Sementara
jenis kelamin yang biologis akan tetap dan tidak berubah. Gender tidak bersifat biologis,
melainkan dikontruksikan secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari
melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat berubah.
Dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu dapat
kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaaan yang dapat
mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan anak perempuan dalam
pendidikan formal, sebagai akibat ketidaksamaan
kesempatan, sehingga dalam masyarakat dijumpai ketimpangan dalam angka
partisipasi dalam pendidikan formal.
Gender artinya suatu konsep, rancangan atau nilai yang
mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-laki dikarenakan
perbedaan biologis atau kodrat yang oleh masyarakat kemudian dibakukan menjadi
‘budaya’ dan seakan tidak lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan
itu yang tepat bagi
perempuan. Apalagi kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik,
ekonomi, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, gender adalah nilai yang dikonstruksi
oleh masyarakat setempat yang telah mengakar dalam bawah sadar kita seakan mutlak dan tidak bisa lagi
diganti. Jadi, kesetaraan gender adalah suatu keadaan di mana perempuan dan
laki-laki sama-sama menikmati status, kondisi, atau kedudukan yang setara,
sehingga terwujud secara penuh hak-hak dan potensinya
bagi pembangunan disegala aspek kehidupan berkeluarga, berbangsa dan
bernegara.
Terdapat dua teori peran laki-laki dan perempuan yang
berlawanan, yaitu teori nature dan teori nurture. Teori nature
yang disokong oleh teori biologis dan teori fungsionalisme struktural ini,
mengatakan bahwa perbedaan peran gender bersumber dari perbedaan biologis
laki-laki dan perempuan. Sedangkan teori nurture, yang disokong oleh
teori konflik dan teori feminisme, mengandaikan bahwa perbedaan peran gender
antara laki-laki dan perempuan bukan merupakan konsekuensi dari perbedaan
biologis yang kodrati, namun lebih sebagai hasil konstruksi manusia, yang
pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang
melingkupinya.
Kedua teori peran ini, pada tahap berikutnya
senantiasa berjalan secara berlawanan. Laki-laki atau perempuan, tidak
didefinisikan secara alamiah namun kedua jenis kelamin ini dikonstruksikan
secara sosial. Berdasarkan teori ini, anggapan bahwa laki-laki yang dikatakan
kuat, macho, tegas,
rasional, dan seterusnya, sebagai kodrat laki-laki, sesungguhnya merupakan
rekayasa masyarakat patriarkhi. Demikian juga sebaliknya, anggapan bahwa
perempuan lemah, emosional dan seterusnya sesungguhnya hanya diskenariokan oleh struktur
masyarakat patriarkhi. Oleh karena
itu diperlukan pemposisian apakah identitas jenis kelamin
perempuan dan laki-laki itu merupakan entitas kodrati atau konstruksi. Hal ini
penting didudukkan mengingat implikasi dari konsep yang berbeda tersebut sangat
besar bagi kehidupan sosial, laki-laki dan perempuan dalam lingkup
sosio-kultural yang lebih luas. Di samping itu, perdebatan ini kemudian juga
berdampak pada adanya pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang tidak
wajar dilakukan oleh laki-laki atau perempuan.
Dalam konteks Indonesia misalnya bisa dilihat
pendefinisian perempuan/ istri sebagai pendamping laki-laki/ suami, dikokohkan
oleh instritusi sosial berupa Dharma Wanita, demikian juga wacana mengenai posisi
laki-laki/ suami sebagai pemimpin juga ditopang kuat oleh institusi agama.
Pandangan perempuan dan laki-laki, satu sama lain tentang diri mereka
masing-masing merupakan pengkondisian yang dibentuk oleh masyarakat secara
seksis. Pandangan dan konstruk yang seksis tersebut akan bertahan dan
menyelubungi cara berfikir, baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Dalam
konteks seperti ini, mesti diingat bahwa kodrat yang melekat pada laki-laki dan
perempuan adalah kuat, pengasih, pintar, antusias, kooperatif, tegas, percaya
diri dan sensitif. Jika semua laki-laki dan perempuan telah mengenal kodratnya
yang sama, maka konsekuensiya kita harus menolak pandangan yang menyatakan
bahwa anak-laki-laki pada dasarnya memang bersifat agresif. Adanya anggapan
seperti itu, tidak lain hanyalah dikondisikan dan di-setting oleh
situasi sosial yang ada. Laki-laki, sama dengan perempuan juga memiliki emosi,
sifat pengasih dan sensitivitas.
Untuk mengembangkan semua potensi kodrati laki-laki
yang sesungguhnya sama dengan perempuan, perlu adanya dorongan kepada mereka
untuk berlatih mengekspresikan diri secara alamiah. Sebagian besar
pengkondisian sosial terhadap laki-laki, berasal dari paksaan sosial untuk
bertindak sesuai aturan sosial yang biasa berjalan. Misalnya ketika laki-laki
menangis, akan dikatakan cengeng seperti perempuan. Pengkondisian seperti ini,
pada akhirnya membuat laki-laki menerima peran-peran yang tidak alamiah dan manusiawi, untuk dimainkan dalam
kehidupan sosial mereka.
Berdasarkan realitas pengkondisian sosial masyarakat, baik laki-laki maupun
perempuan sendiri tidak memahami atau merasakan bahwa semua itu merupakan
produk sosial, maka penghapusan seksisme yang berimplikasi sangat luas dalam
kehidupan harus dijadikan sebagai fokus utama perjuangan untuk menegakkan
keadilan gender. Hal ini karena, semua perilaku yang menimbulkan segala bentuk
ketidakadilan gender seperti marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, steterotipe
dan peran ganda bagi perempuan salah satunya berakar mendalam pada ideologi
seksisme yang menjadi penopang kuat ideologi patriarkhi. Pembagian kerja secara
seksual seringkali dikonstruksi berdasarkan gender. Kegiatan-kegiatan ekonomis
cenderung terklasifikasikan menurut jenis kelamin. Beberapa peran dilihat
sebagai maskulin atau feminin. Namun fakta semakin menguatkan bahwa peran
sosial laki-laki dan perempuan merupakan hasil konstruksi masyarakat, sehingga
akibatnya sebuah peran yang di suatu tempat dianggap maskulin di tempat lain
dianggap feminin. Memasak misalnya, hanya dilakukan oleh perempuan, sebaliknya perkayuan hanya dilakukan oleh laki-laki.
Berburu, menangkap ikan, membuat senjata dan perahu cenderung menjadi tugas
laki-laki, sementara menumbuk padi dan mengambil air menjadi tugas perempuan. Sementara kegiatan yang
berganti-ganti dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan adalah mengolah tanah, menanam, merawat dan memanen.
Dalam masyarakat tertentu, laki-laki sangat
berpengaruh pada pengasuhan anak. Kegiatan tersebut tidak dianggap sebagai
wilayah kerja perempuan. Sebut saja misalnya dalam suku Arapesh di Papua Nugini,
yang beranggapan bahwa mengandung dan melahirkan anak merupakan tugas bersama
suami-isteri, sehingga mereka dibebaskan dari tugas-tugas klan lainnya. Suku
Aboriogin di Australia dan kepulauan Tobriand di Papua Nugini meyakini bahwa
mengasuh anak adalah merupakan tugas penting ibu maupun ayah.
Mengacu kepada perbedaan kebudayaan yang berakibat
pada perbedaan peran laki-laki dan perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa
pembagian tugas dan kerja tidaklah bergantung pada jenis kelamin tertentu, tetapi peran merupakan khas setiap
kebudayaan, dan karenanya gender adalah juga khas untuk setiap kebudayaan.
Karena itu juga, gender tidak hanya berbeda antar kebudayaan yang berbeda,
tetapi juga berbeda dari waktu ke waktu dalam kebudayaan yang sama. Kebudayaan
bukanlah sesuatu yang statis, tetapi berkembang seiring dengan berlakunya waktu
dan berjalannya sejarah.
Dengan berkembangnya masyarakat, peran-peran yang
dijalani oleh perempuan dan laki-laki tidak lagi hanya ditentukan oleh
kebudayaan, tetapi juga oleh ideologi yang dominan pada suatu masa dan oleh
faktor-faktor sosial, politik, ekonomi dan agama.
C. Kedudukan Perempuan Dalam Pandangan Islam
Sesungguhnya Islam telah memberikan penghargaan dan penghormatan kepada kaum wanita dengan setinggi-tingginya yang memberikan kedudukan teramat mulia dan luhur, mengangkat mereka dari lembah
kehinaan dan sumber keburukan, menyelamatkan mereka dari kekejaman dan perlakuan keji manusia yang biadab. Islam datang dengan membawa rahmat bagi seluruh makhluknya. Apalagì kepada kaum wanita yang merupakan makhluk Allah yang mulia.
Sebagai ibu, Allah mengabarkan bahwa syurga itu terletak dibawah telapak kakinya. Sebagai seorang istri mereka harus
diperlakukan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Sebagai seorang anak perempuan, mereka harus dididik dengan pendidikan yang benar, diasuh hingga masa menikah, bahkan seorang ayah yang dapat mengasuh dan mendidik dua orang atau tiga orang anak putrinya dengan sebaik-baiknya akan
mendapatkan jaminan syurga karena tingginya pahala yang dimiliki oleh seseorang yang dapat mendidik mereka dengan sebaik-baiknya. Rasulullah SAW. bersabda (HR.Muslim) : "Barang siapa yang diuji dengan anak-anak perempuan, lalu ia memperlakukannya dengan baik, maka kelak
mereka akan menjadi dinding dari (sengatan) api neraka".
Allah memberikan kedudukan yang sama antara laki-laki dan
perempuan dalam hal pahala dan kedudukan mereka di sisi Allah. Allah berfirman : "Barang siapa yang mengerjakan
amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik" (QS.An-Nahl:97).
"Sesungguhnya
Aku tidak akan menyia-nyiakan amalan orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan (karena) sebagian kamu adalah keturunan
sebagian yang lain." (QS.Ali-Imran:195).
D. Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Islam
Keluarga
merupakan lembaga sosial yang paling awal dikenal. Tumbuh dan
berkembangnya aspek manusia baik fisik, psikis atau mental, sosial dan
spiritual, yang akan menentukan bagi keberhasilan bagi kehidupannya, sangat
ditentukan oleh lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga yang kondusif sangat
menentukan optimalisasi perkembangan pribadi, moral, kemampuan bersosialisasi,
penyesuaian diri, kecerdasan, kreativitas juga peningkatan kapasitas diri
menuju batas-batas kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan.
Di antara 114 surat yang terkandung di dalam Al Qur’an
terdapat satu surat yang didedikasikan untuk perempuan secara khusus memuat
dengan lengkap hak asasi perempuan dan aturan-aturan yang mengatur
bagaimana seharusnya perempuan berlaku didalam lembaga pernikahan, keluarga dan
sektor kehidupan. Surat ini dikenal dengan surat An-Nisa’ dan tidak satupun
surat secara khusus ditujukan kepada kaum laki-laki. Lebih jauh lagi, Islam
datang sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi kaum Jahiliyah atas
perempuan dengan pemberian hak warisan, menegaskan persamaan status dan hak
dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan hukum bagi perempuan dan
mengeluarkan aturan pernikahan yang mengangkat derajat perempuan masa itu
dan perceraian yang manusiawi.
Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai dua
kapasitas, yaitu sebagai hamba (‘abid) dan sebagai representatif Tuhan
(khalifah) tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit (Q.S.
al-Hujurat 49: 13), artinya : “ Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di
antara kamu”.
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
(QS. 49:13). Rasulullah SAW bersabda yang artinya: ”hak dan kewajiban Allah terhadap hamba-Nya dan tidak menyekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun.(HR. Bukhari).
Islam mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep
keseimbangan, keserasian,
keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungan alamnya.
Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan
gender dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur pola
relasi mikrokosmos (manusia), makrosrosmos (alam) dan Tuhan. Hanya dengan
demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah dan hanya
khalifah sukses yang dapat mencapai derajat ‘abid sesungguhnya. Islam
memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu kepada ayat-ayat (al-Qur’an)
substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum syari’ah (maqashid al-syariah), antara
lain: mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q.S. an-Nahl [16]: 90), artinya : “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran
dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran”.
Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban
yang sama dalam menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam
masyarakat tidak ditemukan ayat al-Qur’an atau hadits yang melarang kaum
perempuan aktif didalamnya. Sebaliknya al-Alqur’an dan hadits banyak mengisyaratkan
kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi. Dengan demikian, keadilan
gender adalah suatu kondisi adil bagi perempuan dan laki-laki untuk dapat
mengaktualisasikan dan mendedikasikan diri bagi pembangunan bangsa dan
negara.
Keadilan dan kesetaraan gender berlandaskan pada
prinsip-prinsip yang memposisikan laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai :
1. Hamba Tuhan (kapasitasnya sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan
mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan pengabdiannya Q.S. an-Nahl 16 :
97)
2.
Khalifah di bumi ditegaskan dalam
surat al-A’raf 7 : 165
3. Penerima perjanjian primordial (perjanjian dengan Tuhannya) sebagaimana
disebutkan dalam surat al-A’raf 7: 172 dan
Adam dan Hawa dalam cerita terdahulunya yang telah disebutkan dalam surat al-A’raf 7 : 22.
Ayat ayat tersebut diatas, mengisyaratkan konsep
kesetaraan dan keadilan gender serta memberikan ketegasan bahwa prestasi
individual baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesional tidak mesti dimonopoli oleh salah satu
jenis kelamin saja. Laki-laki
dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi yang optimal. Namun dalam realitas
masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi karena masih terdapat sejumlah kendala
terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan.
E. Munculnya Ketidakadilan terhadap Perempuan dengan Dalih
Agama
Karena adanya implementasi yang salah dari ajaran
agama tersebut yang disebabkan oleh pengaruh faktor sejarah, lingkungan budaya
dan tradisi yang patriarkat di dalam masyarakat
sehingga menimbulkam sikap dan perilaku individual yang secara turun-temurun
menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan gender tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan
mitos-mitos salah yang disebarkan melalui nilai-nilai dan tafsir-tafsir ajaran
agama yang keliru mengenai keunggulan kaum lelaki dan melemahkankaum perempuan.
Adapun pandangan dasar atau mitos-mitos yang
menyebabkan munculnya ketidak adilan terhadap perempuan adalah :
1. Keyakinan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki sehingga perempuan
dianggap sebagai mahluk kedua yang tidak akan mungkin ada tanpa kehadiran
laki-laki. Karenanya keberadaan perempuan hanya sebagai pelengkap dan
diciptakan hanya untuk tunduk di bawah kekuasaan laki-laki.
2. Keyakinan bahwa perempuan sebagai sumber dari terusirnya manusia
(laki-laki) dari surga sehingga perempuan dipandang dengan rasa benci, curiga
dan jijik bahkan lebih jauh lagi perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka.
Al-quran tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki
dan perempuan sebagai manusia. Dihadapan Allah SWT, lelaki dan perempuan
mempunyai derajat dan kedudukan yang sama. Oleh karena itu, pandangan-pandangan
yang menyudutkan posisi perempuan sudah selayaknya diubah karena al-Qur’an
selalu menyerukan keadilan (Q.S.al-Nahl 16:90) : keamanan dan ketentraman (Q.S.
an-Nisa 4:58) : mengutamakan kebaikan dan mencegah kejahatan (Q.S.Ali Imran
3:104). Ayat-ayat inilah yang dijadikan sebagai maqasid al- syari’ah atau tujuan-tujuan utama syariat.
Jika ada penafsiran yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan
hak asasi manusia, maka penafsiran itu harus ditinjau kembali.
F. Ibu Dalam Pandangan Islam
Islam mengajarkan
bahwa kaum ibu merupakan pihak yang sangat istimewa dan tinggi derajatnya. Oleh
karena itu, kita sangat akrab dengan hadits yang menjelaskan keharusan seorang
sahabat agar memprioritaskan berbuat baik kepada ibunya. Bahkan Nabi SAW menyebutkan
keharusan tersebut sebanyak tiga kali sebelum beliau akhirnya juga menganjurkan
sahabat tadi agar berbuat baik kepada ayahnya. Jadi ibaratnya keharusan
menghormati dan berbuat baik seorang anak kepada ibunya sepatutnya lebih banyak
tiga kali lipat daripada penghormatan dan perilaku baiknya terhadap sang ayah.
Bahaz Ibnu
Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku bertanya:
Wahai Rasulullah,
kepada siapa aku berbuat kebaikan?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya
lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian
siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau
bersabda: “Ayahmu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat.” (HR Abu
Dawud dan Tirmidzi)
Kita juga sangat akrab dengan hadits yang menyebutkan
beberapa dosa besar dimana salah satunya ialah durhaka kepada kedua orangtua,
yaitu ayah dan ibu. Di antaranya disebutkan sebagai berikut : Dari Anas ia berkata: Nabi shollallahu
‘alaih wa sallam ditanya mengenai dosa-dosa besar, maka beliau bersabda :
“Mempersekutukan Allah, durhaka pada kedua orang-tua, membunuh jiwa dan
kesaksian palsu.” (HR Bukhary).
Bahkan di dalam hadits lainnya disebutkan bahwa kedua
orang tua merupakan faktor yang sangat besar mempengaruhi apakah seseorang
bakal menuju ke surga ataukah ke neraka. Artinya, perilaku baik seseorang
kepada kedua orang-tuanya bakal memperbesar kemungkinannya berakhir di dalam
rahmat Allah dan surga-Nya. Sedangkan kedurhakaannya kepada kedua orang-tua
bakal memperbesar kemungkinan hidupnya berakhir di dalam murka Allah dan
neraka-Nya. Dari Abi Umamah ia berkata:
“Ada seorang lelaki berkata: “Ya Rasulullah, apakah hak kedua orang-tua atas
anak mereka?” Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam bersabda: “Keduanya
(merupakan) surgamu dan nerakamu.” (HR Ibnu Majah).
Hal ini sejalan dengan hadits berikut ini : Dari Abdullah Ibnu Amar al-’Ash
Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah
tergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR Tirmidzi)
Namun yang menarik ialah ditemukannya hadits yang
secara khusus mengungkapkan haramnya durhaka kepada sang ibu. Sedangkan hal ini
tidak kita temukan dalam kaitan dengan larangan berlaku durhaka kepada sang
ayah. Sudah barang tentu ini tidak berarti bahwa berlaku durhaka kepada fihak
ayah dibenarkan. Yang jelas dengan adanya larangan khusus berlaku durhaka
kepada pihak ibu cuma menunjukkan betapa ajaran Islam sangat menjunjung tinggi
martabat ibu. Bersabda Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam: “Allah melarang kalian durhaka kepada ibu kalian.”(HR Bukhary)
Di masa kita dewasa ini saat mana faham ateisme,
materialisme, sekularisme, liberalisme dan pluralisme begitu dominan mewarnai
kehidupan masyarakat dunia, maka kehadiran seorang ibu sendirian mendampingi
anak-anaknya kadang dirasa kurang memadai. Sehingga kerjasama antara
ayah-mukmin dan ibu-mukminah sangat diperlukan. Dalam dunia modern anak-anak
kita sangat perlu pengarahan yang sangat kokoh dan kompak dari kedua orang
tuanya sekaligus untuk mengcounter serangan musuh-musuh Islam yang pengaruh
buruknya semakin hari semakin hegemonik.
Betapapun seorang ayah tidak mungkin diharapkan untuk
terus-menerus berada di rumah karena tuntutan mencari ma’isyah (penghasilan)
bagi anak dan istrinya. Oleh karenanya, kehadiran dan keaktifan peran seorang
ibu di rumah mendampingi anak-anaknya menjadi sangat strategis. Oleh karenanya,
Nabi menyetarakan hadir dan aktifnya seorang ibu mendampingi anak-anaknya di
rumah dengan aktifitas jihad fi sabilillah yang dilakukan oleh kaum pria di
medan perang menghadapi musuh-musuh Allah.
G. Peranan Perempuan Sebagai Istri Dalam
Pandangan Islam
Rasulullah SAW. bersabda : “Seluruh dunia ini adalah perhiasan dan perhiasan
terbaik di dunia ini adalah perempuan yang
sholehah”.
Di dalam Islam, peranan seorang istri sangat penting dalam kehidupan
berumah tangga, yang mana seorang istri membahagiakan suaminya untuk mendapatkan keridho’an dari
Allah. Untuk itu kualitas seorang
istri seharusnya memenuhi sebagaimana yang disenangi oleh pencipta-Nya yang
tersurat dalam surat Al-Ahzab yakni, seorang perempuan muslimah yang benar
(dalam aqidah), sederhana, sabar, setia, menjaga kehormatannya tatkala suami
tidak ada di rumah, mempertahankan keutuhan (rumah tangga) dalam waktu susah dan senang serta mengajak
untuk senantiasa ada dalam pujian Allah. Ketika seorang perempuan muslimah menikah (menjadi seorang istri) maka dia
harus mengerti bahwa dia memiliki peranan yang khusus dan pertanggungjawaban
dalam Islam kepada pencipta-Nya. Karenanya, seorang istri akan membantu suaminya untuk menyesuaikan dengan
prinsip-prinsip syari’ah (hukum Islam) dan memastikan suaminya untuk kembali
melaksanakan kewajiban-kewajibannya, sebagaimana suaminya memenuhi
kewajiban terhadapnya.
Seorang istri
memiliki hak untuk Nafaqah (diberi nafkah) yang berupa makanan, pakaian dan
tempat untuk berlindung yang didapatkan dari suaminya. Suami berkewajiban
membelanjakan hartanya untuk itu walaupun jika istri memiliki harta sendiri
untuk memenuhinya. Rasulullah bersabda : ”Istrimu
memiliki hak atas kamu bahwa kamu mencukupi mereka dengan makanan, pakaian dan
tempat berlindung dengan cara yang baik.” (HR. Muslim).
Ini adalah penting untuk dicatat bahwa ketika seorang
istri menunaikan kewajiban terhadap suaminya, dia telah melakukan kepatuhan
terhadap pencipta-Nya, karenanya dia mendapatkan pahala dari Allah. Aisyah R.A. suatu kali meriwayatkan tentang kebaikan
kualitas Zainab R.A, istri ketujuh dari Rasulullah saw. ; ”Zainab adalah seseorang yang
kedudukannya hampir sama kedudukannya denganku dalam pandangan Rasulullah dan aku belum pernah
melihat seorang perempuan yang lebih
terdepan kesholehannya daripada Zainab R.A. lebih dalam kebaikannya, lebih
dalam kebenarannya, lebih dalam pertalian darahnya, lebih dalam kedermawanannya
dan pengorbanannya dalam hidup serta mempunyai hati yang lebih lembut, itulah
yang menyebabkan ia lebih dekat kepada Allah”.
Rasulullah menganjurkan untuk memilih istri dari
keluarga yang memiliki sifat-sifat terpuji, karena keluarga yang baik akan
membentuk karakter yang baik pula pada diri perempuan tersebut. Rasulullah bersabda : "Pandai-pandailah memilih calon istri karena saudara istri akan
menurunkan sifat dan karakternya pada anak kalian dan pilihlah dengan benar perempuan yang akan
mengandung anakmu karena unsur keturunan sangat berpengaruh pada anak.”
Islam juga menekankan memilih istri dari lingkungan sosial yang bersih,
karena lingkungan yang baik akan memberikan pengaruh yang baik pula kepada perempuan tersebut, sebaliknya Islam melarang kaum lelaki memilih istri dari lingkungan yang
buruk. Dalam hadis disebutkan, Rasul melarang untuk
mempersunting perempuan cantik yang
hidup di lingkungan yang sesat. Beliau bersabda :“Berhati-hatilah terhadap wanita cantik yang hidup di lingkungan yang tidak
baik.”
Islam juga melarang laki-laki menikahi perempuan pezina. Sabda Nabi : “Jangan
sekalipun kalian menikahi perempuan yang
terang-terangan berzina, juga perempuan yang tidak sehat secara mental dan
psikologis, sebab dikhawatirkan anak yang akan
dilahirkannya akan mewarisi kegilaan ibunya”.
Ketika Rasul Saw ditanya, perihal menikahi perempuan yang cacat mental, beliau menjawab : Jangan!
Seorang pria harus memilih perempuan salehah dan dari klan keluarga baik-baik untuk
pendamping hidupnya, sebab perempuan yang berasal dari keturunan yang baik dan dibesarkan di lingkungan keluarga
yang beriman, akan menjadi perempuan yang taat beragama. Perempuan seperti inilah yang kelak jika bersuami dapat mendidik anak-anaknya sesuai
dengan apa yang diajarkan oleh Islam. Para pria yang hendak menyunting perempuan untuk pendamping hidupnya, hendaknya menentukan pilihannya kepada perempuan yang bisa mengantarkannya atau menjadi mitra hidupnya,
untuk meraih kebahagiaan abadi di negeri akhirat (surga Allah), sebagaimana
Rasul SAW: Jika perempuan salat lima waktu, berpuasa, menjaga
kemaluannya dan mentaati suaminya, maka kelak akan dikatakan kepadanya: ‘Masuklah
ke dalam surga dari pintu surga mana saja yang kamu sukai’ (HR Ibnu Hibban dan
Thabrani).
Dalam sebuah riwayat ditandaskan, Rasul Saw bersabda
tentang wanita yang digaransi
(dijamin) masuk surga, yaitu:
1. Wanita yang memelihara dirinya, taat kepada Allah dan suami, subur (bisa
mempunyai anak) serta sabar
2.
Menerima apa pemberian suami
walaupun sedikit dan bersifat pemalu
3.
Jika suaminya pergi, ia menjaga
dirinya dan harta suaminya
4. Perempuan yang ditinggal
mati suaminya sedangkan ia mempunyai anak yang masih kecil-kecil lalu ia
menahan dirinya, memelihara dan mendidik anak-anaknya,serta berbuat baik
terhadap mereka dan tidak mau nikah lagi karena takut menyia-siakan mereka.
Rasul juga mewartakan tentang perempuan yang kelak menjadi penghuni neraka, yaitu :
1. Perempuan yang jelek lisannya terhadap suami, jika suaminya
pergi, ia tidak menjaga dirinya. Jika suaminya di rumah, ia menyakiti suaminya
dengan ucapannya
2.
Perempuan yang membebani suami (dengan
tuntutan) yang suami tidak mampu melakukannya
3.
Perempuan yang tidak menutup dirinya dari lelaki lain dan ia keluar dari rumahnya
dengan berhias
4. Perempuan yang sama sekali tidak memiliki keinginan kecuali makan,
minum dan tidur. Ia tidak memiliki
gairah untuk mengerjakan salat, untuk mentaati Allah, mentaati Rasul, serta
tidak mentaati suaminya. Maka jika ada perempuan memiliki sifat-sifat tersebut, ia adalah perempuan terlaknat serta
bakal menjadi penghuni neraka Allah kecuali jika ia bertaubat.
H. Muslimah Bekerja Dalam Pandangan Islam
Dewasa ini tampak semakin banyak perempuan yang beraktivitas di luar rumah untuk
bekerja. Ada yang beralasan mencari nafkah, mengejar kesenangan, menjaga
gengsi, mendapat status sosial di masyarakat sampai alasan emansipasi. Anehnya
banyak pula para perempuan
yang mengeluh ketika harus menghadapi ketidak layakan perlakuan, seperti cuti hamil yang terlalu singkat (hak reproduksi kurang
layak), shift lembur siang malam, sampai pelecehan seksual.
Allah telah menciptakan pria dan wanita sama, ditinjau
dari sisi insaniahnya (kemanusiaan). Artinya keduanya diciptakan memiliki ciri khas kemanusiaan yang tidak berbeda antara satu
dengan yang lain. Keduanya dikaruniai potensi hidup yang sama berupa kebutuhan
jasmani, naluri dan akal. Allah juga telah membebankan hukum yang sama terhadap
pria dan wanita apabila hukum itu ditujukan untuk manusia secara umum. Misalnya
pembebanan kewajiban sholat, shoum, zakat, haji, menuntut ilmu, mengemban
dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan yang sejenisnya. Semua ini dibebankan
kepada pria dan wanita tanpa ada perbedaan. Sebab semua kewajiban tersebut
dibebankan kepada manusia seluruhnya semata-mata karena sifat kemanusiaan yag
ada pada keduanya tanpa melihat seseorang itu pria maupun wanita.
Akan tetapi bila suatu hukum ditetapkan khusus untuk
jenis manusia tertentu (pria saja atau wanita saja), maka akan terjadi
pembebanan hukum yang berbeda antara pria dan wanita. Misalnya kewajiban
mencari nafkah (bekerja) hanya dibebankan kepada pria, karena hal ini berkaitan
dengan fungsinya sebagai kepala rumah tangga. Islam telah menetapkan bahwa
kepala rumah tangga adalah tugas pokok dan tanggung jawab pria. Dengan demikian
perempuan tidak terbebani tugas (kewajiban)
mencari nafkah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya.
Perempuan justru berhak
mendapatkan nafkah dari suaminya. Bahkan sekalipun sudah tidak ada lagi orang yang bertanggung jawab terhadap
nafkahnya, Islam telah memberikan jalan lain untuk menjamin kesejahteraannya
yakni dengan membebankan tanggung jawab nafkah perempuan tersebut kepada Daulah (Baitul Maal), jadi bukan dengan jalan mewajibkan perempuan bekerja. Sekalipun perempuan telah dijamin nafkahnya melalui pihak lain (suami atau
wali), bukan berarti Islam tidak membolehkannya bekerja untuk mendapatkan harta/ uang sendiri, bahkan ia pun boleh berusaha mengembangkan hartanya agar semakin bertambah. Allah
Swt berfirman : “…Bagi laki-laki ada
bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (Qs
An Nisa 32).
Hanya saja perempuan harus tetap terikat dengan ketentuan Allah (hukum syara’) yang lain ketika
ia bekerja. Artinya ia tidak boleh
menghalalkan segala cara dan segala kondisi dalam bekerja, juga tidak boleh meninggalkan kewajiban apapun yang
dibebankan kepadanya dengan alasan waktunya sudah habis untuk bekerja atau dia
sudah capek bekerja sehingga tidak mampu lagi untuk mengerjakan yang lain.
Justru ia harus lebih
memprioritaskan pelaksanaan seluruh kewajibannya daripada bekerja, karena hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah, karena apabila seorang mukmin/ muslimah mendahulukan perbuatan
yang mubah dan mengabaikan perbuatan wajib, berarti ia telah berbuat maksiat
(dosa) kepada Allah.
Oleh karena itu, tidak layak bagi seorang muslimah
mendahulukan bekerja dengan melalaikan tugas pokoknya sebagai ibu dan pengatur
rumah tangga. Juga tidak layak baginya mengutamakan bekerja sementara ia
melalaikan kewajiban-kewajibannya yang lain seperti mengenakan jilbab jika keluar
rumah, shalat lima waktu dan lain-lain.
Perlu disadari bahwa ketika Allah SWT menjadikan tugas
pokok sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, Dia juga telah menetapkan
seperangkat syariat agar tugas pokok ini terlaksana dengan baik. Sebab terlaksananya tugas ini akan
menjamin lestarinya generasi manusia serta terwujudnya ketenangan hidup
individu dalam keluarganya, sebaliknya bila tugas pokok baginya tidak terlaksana dengan baik tentu akan mengakibatkan punahnya generasi
manusia dan kacaunya kehidupan berkeluarga.
Seperangkat syariat yang menjamin terlaksanya tugas
pokok perempuan ada yang berupa rincian hak dan kewajiban yang harus dijalankan wanita
(seperti wajib memelihara kehidupan janin yang dikandungnya, haram
menggugurkannya kecuali alasan syar’i, wajib mengasuh bayinya, menyusuinya
sampai mampu mandiri dan mengurus dirinya), ada pula yang berupa keringanan bagi wanita untuk melaksanakan kewajiban
lain (seperti tidak wajib sholat selama waktu haid dan nifas), boleh berbuka
puasa pada bulan Ramadlan (ketika haid, hamil, nifas dan menyusui). Kemudian
ada pula yang berupa penerimaan hak dari pihak lain (seperti nafkah dari suami/
wali).
Semua ini bisa terlaksana apabila terjadi kerjasama
antara pria dan perempuan dalam menjalani kehidupan ini baik dalam kehidupan keluarga maupun
masyarakat. Dengan demikian tidak perlu dipertentangkan antara fungsi
reproduksi perempuan dengan produktivitasnya ketika ia bekerja. Karena semua ini tergantung pada
prioritas peran yang dijalaninya. Munculnya pertentangan ini disebabkan tidak
adanya penetapan prioritas tersebut.
Usaha manusia untuk memperoleh kekayaan demi memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya adalah suatu hal yang fitri, namun manusia tidak boleh dibiarkan begitu saja
menentukan sendiri bagaimana cara memperoleh kekayaan tersebut, sebab bisa jadi
manusia berbuat sekehendak hatinya tanpa mempedulikan hak orang lain. Bila ini
yang terjadi, bisa menyebabkan gejolak dan kekacauan di tengah-tengah
masyarakat, bahkan bisa
mengakibatkan kerusakan dan nestapa. Padahal semua manusia memiliki hak untuk
menikmati seluruh kekayaan yang telah diciptakan Allah di bumi ini. Oleh karena
itu Allah telah menetapkan beberapa cara yang boleh bagi manusia untuk
memperoleh (memiliki) kekayaan/ harta. Antara lain dengan “bekerja”. Ini
berlaku bagi pria dan wanita, karena wanita tidak dilarang untuk memiliki
harta.
Tatkala bekerja itu memiliki wujud yang luas, jenisnya
bermacam-macam bentuknya beragam dan hasilnya berbeda-beda, maka Allah SWT pun
telah menetapkan jenis-jenis kerja yang layak untuk dijadikan sebab kepemilikan
harta. Salah satu diantaranya adalah ‘ijaroh’ (kontrak tenaga kerja).
Apabila kita telaah secara mendalam hukum-hukum yang
berkaitan dengan ijaroh bersifat umum, berlaku bagi pria maupun wanita. Maksudnya wanita pun boleh melakukan ijaroh, baik
ia sebagai ajir (orang yang diupah atas jasa yang disumbangkannya) maupun
sebagai musta’jir (orang yang memberi upah kepada orang yang memberinya jasa).
Transaksi ijaroh hanya boleh dilakukan terhadap
pekerjaan yang halal bagi setiap muslim dan tidak boleh bagi
pekerjaan-pekerjaan yang haram. Oleh karena itu, transaksi ijaroh boleh
dilakukan dalam urusan perdagangan, pertanian, industri, pelayanan, guru
(pengajaran), perwakilan dan perantara bagi dua orang yang bersengketa
(peradilan). Demikian pula pekerjaan lain seperti menggali sumber alam dan
membuat pondasi bangunan , mengemudikan mobil, kereta, kapal, pesawat, mencetak
buku, menerbitkan koran dan majalah, menjahit baju, termasuk dalam kategori
ijaroh. Semua pekerjaan tersebut boleh dilakukan oleh wanita sebagaimana pria,
karena pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang halal dilakukan oleh setiap
muslim.
Dengan demikian boleh pula bagi wanita bekerja
mengambil upah dari semua jenis pekerjaan di atas. Namun bagi wanita harus
tetap memperhatikan beberapa hukum lain yang harus diikutinya ketika ia
memutuskan untuk bekerja sehingga ia bisa memastikan bahwa semua perbuatan yang
dilakukannya tidak ada yang melanggar ketentuan Allah (hukum syara’).
Apabila setiap muslim yang bekerja (termasuk buruh
wanita) untuk memperoleh upah/ gaji sejak awal bersikap demikian, berarti ia
telah menempatkan diri pada posisi tawar yang tinggi, sehingga kelayakan kerja
bisa dipastikan sejak awal (sebelum melakukan aqad). Dengan demikian majikan
tidak bisa berbuat seenaknya kepada buruh, bahkan majikan akan menyesuaikan dengan keinginan buruh sebab tanpa jasa
buruh usahanya tidak dapat berjalan. Dengan demikian para buruh wanita tidak
akan terjerumus pada polemik berkepanjangan dalam ketidak layakan kerja.
Tatkala wanita bekerja, selain harus menentukan jenis
pekerjaan yang akan dijalankannya dihalalkan oleh syara’, ia pun harus
memastikan bahwa situasi bekerjanya sesuai dengan ketentuan syara’. Apabila
dalam melakukan pekerjaan tersebut mengharuskan wanita bertemu dengan pria,
maka wanita pun harus terikat dengan ketentuan syara’ yang berkaitan dengan interaksi
antara pria dan wanita dalam kehidupan umum (bermasyarakat). Artinya ia tidak
boleh bercampur baur begitu saja dengan lawan jenisnya tanpa aturan.
Oleh karena itu harus difahami bahwa interaksi dalam
kehidupan masyarakat antara pria dan wanita (termasuk dalam sistem kerja) tidak
lain adalah hanya untuk saling ta’awwun (tolong menolong). Interaksi kerja ini
harus dijauhkan dari pemikiran tentang hubungan jinsiyah (seksual). Sehingga
ketika bekerja pun bukan dalam rangka memanfaatkan potensi kewanitaan
(kecantikan, bentuk tubuh, kelemahlembutan dan lain-lain) untuk menarik
perhatian lawan jenis. Bekerjanya wanita haruslah karena skill/ kemampuannya yang dimiliki oleh wanita sesuai dengan
bidangnya.
Pengaturan sistem interaksi ini merupakan tindakan preventif
agar tidak terjadi tindak pelecehan seksual pada wanita saat ia bekerja. Islam
sejak awal telah menjaga agar kehormatan wanita senantiasa terjaga ketika ia
menjalankan tugas-tugasnya dalam kehidupan bemasyarakat. Adapun tentang pengaturan
sistem interaksi pria dan wanita, Islam telah menetapkannya dalam sekumpulan
hukum, diantaranya :
1. Diperintahkan kepada pria maupun wanita untuk menjaga/ menundukkan
pandangannya, yaitu : Menahan diri dari melihat lawan jenis disertai dengan syahwat sekalipun yang
dilihat itu bukan aurat dan dari melihat aurat lawan jenis sekalipun tidak disertai syahwat misalnya
melihat rambut wanita. Firman Allah
dalam QS An Nur 31 ; “Katakanlah
kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak darinya”.
2.
Diperintahkan kepada wanita untuk
mengenakan pakaian sempurna ketika keluar rumah (termasuk ketika bekerja di
luar rumahnya) yaitu dengan jilbab dan kerudung (QS 24 : 31 dan QS 33 : 59) “… dan hendaklah mereka menutupkan khimar
(kain kerudung) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya…” (QS 24 :
31).
3.
Dilarang berkhalwat pria dan wanita. Sabda Rasulullah ; “tidak boleh
berkhalwat laki-laki dan perempuan kecuali bersama perempuan
itu ada mahram”
4.
Dilarang perempuan bertabarruj (menonjolkan kecantikan dan perhiasan untuk menarik perhatian pria yang
bukan mahromnya). Sabda Rasulullah ; “barang siapa perempuan yang memakai wangi-wangian, kemudian lewat di depan
laki-laki, hingga tercium wanginya, maka dia seperti pezina
(dosanya seperti pezina)”.
5.
Dilarang perempuan melibatkan diri dalam aktivitas yang
dimaksudkan untuk mengeksploitasi kewanitaannya, misalkan ; pramugari, foto model, artis, dsb.
6.
Dilarang perempuan untuk melakukan perjalanan sehari
semalam tanpa mahram. Sabda Rasulullah ; “Tidak halal perempuan yang beriman kepada Allah dan hari
akhir melakukan perjalanan sehari semalam kecuali bersamanya ada mahram”.
7. Dilarang perempuan bekerja di tempat yang terjadi ikhtilath (campur baur) antara pria dengan
wanita.
Demikianlah Islam mengatur sistem interaksi pria dan
wanita. Semua tidak lain untuk menjaga izzah (kehormatan) wanita dan menjaga ketinggian iffah kaum
muslimin.
Dewasa ini banyak perempuan (termasuk para muslimah yang terjun ke dunia kerja) walaupun upah yang mereka terima lebih rendah dan perlakuan
yang mereka terima juga tidak layak, namun dari hari ke hari jumlah tenaga
kerja wanita (buruh) ini semakin meningkat. Keadaan ini memang tidak terlepas
dari kondisi sistem yang mereka hadapi. Dominasi alam Kapitalis ataupun
sosialis menciptakan situasi sulit bagi para buruh wanita (masyarakat secara
umum).
I. Peranan Perempuan Dalam Kehidupan Sosial
Interaksi antara
pria dan wanita ternyata dalam Islam bukanlah sesuatu yang dilarang, karena
interaksi tersebut sudah terjadi sebelum masa Nabi SAW. Rasulullah bersabda, “Kaum
wanita adalah saudara kandung kaum pria”. Hal ini mengandung arti
bahwa kaum perempuan haruslah ikut serta dalam berbagai lapangan kehidupan.
Sebagaimana diketahui, lapangan kehidupan tidak
terlepas dari keberadaan kaum laki-laki bahkan peranan penting dalam masyarakat
didominasi oleh kaum pria. Namun Allah tidak menghalangi perempuan bertemu dan berinteraksi dengan kaum pria dan sebaliknya, berbicara, bertukar pikiran,atau bekerjasama untuk
suatu pekerjaan tidak dihalangi sepanjang tetap memperhatikan
ketentuan-ketentuan agama.
Kebebasan perempuan dengan segala konsekwensinya, seperti harus bertemu dengan pria merupakan
pola yang sudah ditetapkan oleh syariat dan sunnah Rasulullah SAW. Beliau
sangat memahami peran perempuan dalam mempermudah dan membantu berbagai usaha kebaikan.
Penyalahgunaan kondisi tersebut sama artinya dengan mempersulit dan
mempersempit ruang gerak perempuan sekaligus menghalanginya dari melakukan kebaikan serta memposisikan
perempuan dalam bidang-bidang yang lemah. Namun kebebasan tersebut tidak lantas melalaikan mereka dari pelaksanaan
tugas dan tanggung-jawab terhadap
rumah tangga dan anak-anaknya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perempuan selama ini mengalami
penindasan oleh dominasi kaum laki-laki yang mengatas namakan peradaban dan kebudayaan dan juga karena penafsiran yang keliru tentang asal kejadian
perempuan dan
kodratnya yang lemah lembut. Namun dewasa
ini pemikiran seperti itu mulai sirna baik karena perjuangan kesetaraan gender
maupun karena prestasi perempuan itu sendiri dalam kehidupan sosial masyarakat.
Dalam pandangan Islam perempuan memiliki kedudukan
yang sama dengan laki-laki.
Dari sudut penciptaan, kemuliaan, dan hak mendapatkan balasan atas amal usahanya perempuan memiliki
kesetaraan dengan laki-laki, Islam
sangat menjunjung keadilan dalam kesetaraan gender. Sedangkan dalam hal
peran perempuan memiliki perbedaan dengan laki-laki. Peran perempuan yang
wajib adalah sebagai istri dari suami dan ibu bagi anak-anaknya. Peranan perempuan sebagai anggota masyarakat dalam
urusan muamalah mendapatkan profesi (pekerjaan) hukumnya boleh. Meskipun diperbolehkan namun harus selalu mementingkan segi kemaslahatan baik bagi rumah tangga
maupun bagi masyarakat. Apabila lebih banyak kemudaratannya bagi keluarga maka profesi di luar rumah harus
ditinggalkan mengingat
sesuatu yang mubah tidak boleh
meninggalkan hal yang wajib.
Meskipun kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial dan masyaakat sudah mulai membaik, namun dewasa ini terkadang pelecehan
terhadap perempuan masih saja terjadi, baik karena sifat kebiadaban laki-laki
maupun karena kurangnya pemahaman tentang kesetaraan gender yang diajarkan
agama, khususnya Islam dan bahkan para
ulamapun sebagian ada yang tidak terbuka, tidak
welcome akan kesetaraan gender.
B. SARAN
Pemerintah
perlu melaksanakan pembuatan kebijakan dalam hal kesetaraan gender khususnya
kepada hak kaum perempuan mengenai pekerjaan, politik dan lain-lain. Pemerintah
juga harus berupaya mengumpulkan tokoh masyarakat seperti ulama, pendeta, orang
memilii kendali terhadap masyarakatnya untuk upaya sosialisasi kesinambungan
antara kesetaraan gender maupun dengan ajaran agama yang mereka anut, dalam
upaya pembebasan dari budaya patriarki.
Makalah ini disusun dengan
segala keterbatasan kami baik
mengenai disiplin ilmu maupun pengalaman keagamaan yang masih minim, berharap kekeliruan penulisan ini ditanggapi dengan penyempurnaan,
sehingga pada akhirnya bermanfaat bagi masyarakat banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Khairuddin. 2008. Sosiologi Keluarga. Liberty. Yogyakarta
Koentjaraningrat.
2010. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Penerbit Djambatan. Jakarta
Kaplan, David dkk. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta
Sholehuddin.
2010. Pluralisme Agama dan Toleransi. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementerian Pendidikan Nasional. Jakarta.
Shalih, Syaikh. 2002. Harga Diri dan Kehormatan Rumah Tangga Muslim. At-Tibyan. Solo
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo, Jakarta.
http//www .wanita-karir-dalam-pandangan-islam.html
http//www. blog-page_4.html
http//www.tentang-kesetaraan-gender.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar