Sabtu, 09 April 2016

Pandangan Terhadap Wanita dan Persamaan Gender pada Keluarga



oleh : Sam'un Mukramin

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Perempuan adalah makhluk paling ajaib yang diciptakan Tuhan dari tulang rusuk pria, namun  merupakan ujian terbesar bagi kaum pria. Daya dan gaya tarik apapun tak ada yang mampu menandingi daya dan gaya tarik perempuan, karenanya ia bisa menjadi nikmat yang mampu mengantar pria pada surga dunia dan surga akhirat, sekaligus  bisa menjadi bala yang menjerumuskan pria ke neraka dunia dan neraka akhirat, sebab jika sudah berurusan dengan perempuan apapun bisa dilakukan pria bahkan berkorban nyawa sekalipun. Demikian hebatnya daya tarik yang dimiliki olehnya, dapat kita lihat bagaimana Allah menggambarkan bidadari-bidadari syurga  merupakan perempuan-perempuan cantik dan suci sebagai hadiah dan atau balasan terhadap pahala hamba-hambanya yang takwa.  Bahkan Perempuan, sering disebut tulang punggung Negara, karena konon kata orang bijak,  kebaikan perempuan bisa menegakkan negara, namun keburukannya dapat menghancurkan negara.  
Di sisi lain, perempuan adalah makhluk yang sangat lembut, karenanya dianggap lemah dan tidak berdaya, sehingga berabad-abad lamanya, sejak adanya peradaban manusia di muka bumi, kaum perempuan selalu menjadi objek dominasi dan penindasan kaum laki-laki dan tidak memiliki hak apapun dalam pranata sosial dan masyarakat sehingga harkat dan martabat kaum perempuan berada pada tingkat yang paling rendah, bahkan dewasa diabad modern sekarang ini ditengah bergaungnya teriakan persamaan hak laki-laki dan perempuan atau yang lebih terkenal dengan istilah ”kesetaraan gender”  dan “Hak Azazi Manusia (HAM)masih sering terjadi perlakuan laki-laki yang berbuat tidak semestinya terhadap perempuan. Perempuan sering mengalami perlakuan buruk dalam masyarakat, sebagai warga kelas dua baik dalam kehidupan sosial masyarakat maupun dalam lapangan pekerjaan.
Namun pemikiran-pemikiran seperti itu lambat laun kian memudar seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman. Meskipun demikian penghargaan terhadap perempuan belum pada proporsi yang sepatutnya, masalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan selalu jadi polemik yang tidak habis-habisnya,  sehingga pada tahum 1960-an lahir suatu gerakan perempuan di dunia Barat yang menamai “Gerakan Feminisme”, suatu gerakan yang menuntut hak akan keberadaan perempuan yang selama selalu dibelakang kaum laki-laki untuk menjadi sama bahkan lebih kedudukannya dibandingkan laki-laki, suatu gerakan perempuan dalam pembebasan dari belenggu penindasan yang sebenarnya telah ada sejak beberapa abad yang lalu.
Akan tetapi gerakan pembahasan yang terjadi di barat ternyata tidak sesuai dengan syariat Islam, sehingga lahirlah feminisme Islam sebagai bentuk ketidak puasan atas gerakan feminisme Barat. 
Diskursus gender dalam agenda feminisme kontemporer banyak memfokuskan pada persamaan hak, partisipasi perempuan dalam kerja, pendidikan, kebebasan seksual maupun hak reproduksi. Sejak abad 17 hingga 21 perjuangan feminis telah mencapai pasang surut dan mengalami perluasan wilayah tuntutan dan agenda perjuangan yang jauh lebih rumit bahkan menuntut satu studi khusus terhadap wacana ini. Dari kubu pro dan kontra feminisme, dari kritikan dan kecaman yang terlontar, Islam diantaranya yang paling mendapat banyak sorotan dalam kaitannya terhadap status dan aturan yang diberikan agama ini terhadap kaum perempuan. Hegemoni Islam terhadap perempuan muslim di negara-negara Islam terlihat jelas dalam praktek keseharian di kehidupan. Dengan demikian akan difokuskan mengenai peran perempuan dalam keluarga, dimana kaum perempuan mendapat kesulitan dalam bergaul, mengekpresikan kebebasan individunya, terkungkung oleh aturan yang sangat membatasi ruang kerja dan gerak dinamisnya, bahkan suaranyapun tidak berarti layaknya seorang warga negara atau anggota masyarakat atau hak seorang inddividu.
Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan perempuan dalam masyarakat, disamping pengaruh perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia yang cendrung mempertentangkan peran laki-laki dan perempuan, faktor lainnya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan bahkan tidak jarang agama di atas namakan untuk pandangan yang merendahkan perempuan.
Terdapat dua teori peran laki-laki dan perempuan yang berlawanan, yaitu teori nature dan teori nurture. Teori nature yang disokong oleh teori biologis dan teori fungsionalisme struktural ini, mengatakan bahwa perbedaan peran gender bersumber dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan teori nurture, yang disokong oleh teori konflik dan teori feminisme, mengandaikan bahwa perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan bukan merupakan konsekuensi dari perbedaan biologis yang kodrati, namun lebih sebagai hasil konstruksi manusia, yang pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang melingkupinya.
Kedua teori ini senantiasa berjalan secara berlawanan, tidak didefinisikan secara alamiah dan setara, laki dan perempuan, kedua jenis kelamin ini dikonstruksikan secara sosial, bahwa kodrat laki-laki dikatakan kuat, macho, tegas, rasional, dan seterusnya, sebaliknya, kodrat perempuan lemah, emosional dan seterusnya.
Oleh karena itu diperlukan pemposisian apakah identitas jenis kelamin perempuan dan laki-laki itu merupakan kodrati atau konstruksi, mengingat implikasi dari konsep yang berbeda tersebut sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan sosial-kultural, karena berdampak pada adanya pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang tidak wajar dan tidak pantas untuk dilakukan oleh laki-laki atau perempuan.
Menurut ajaran Islam, perempuan memiliki kedudukan terhormat, karena prinsip pokok dalam Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang meninggikan atau merendahkan manusia dalam artian perempuan dan laki-laki memiliki dan yang membedakan keduanya hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah, sebagaimana firman-Nya ;  
“Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa (QS 49: 13).”
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kamu akan kembali.” (QS. Luqman: 14)
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pernah ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah. Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang batten berhak bagi aku untuk berlaku bajik kepadanya?”
Nabi menjawab,Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari-Muslim)
Di Indonesia kedangkalan pemahaman terhadap ajaran Islam telah menimbulkan kekeliruan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, antara lain Undang Undang Perkawinan Indonesia (UU Nomor 1 Than 1974) mengenai ketentuan harta bersama dalam perkawinan, yang sangat merugikan kaum perempuan.

B.     Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang hendak diangkat dalam makalah ini yaitu sebagi berikut :
1.      Bagaimana kejiwaan perempuan itu ?
2.      Jelaskan konsep perempuan dan kesetaraan gender ?
3.      Bagaimana kedudukan perempuan dalam pandangan agama islam ?
4.      Bagaimana kesetaraan gender dalam pandangan agama islam ?
5.      Bagaimana munculnya ketidakadilan terhadap perempuan dengan dalih agama ?
6.      Bagaimana peranan seorang ibu dalam pandangan agama islam ?
7.      Bagaimana peranan perempuan sebagai istri dalam pandangan islam ?
8.      Bagaimana pandangan islam bagi perempuan muslimah yang bekerja di luar rumah ?
9.      Bagaimana peranan perempuan dalam kehidupan sosial ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kejiwaan Seorang Perempuan
Perempuan dapat diibaratkan sebagai gelombang laut, ketika perempuan itu merasa dicintai maka akan naik mental dan semangatnya, wajahnyapun selalu terlihat tersenyum bahagia dan berarti gelombang laut sedang naik, ketika itu juga dia memberikan kemurahan cintanya. Sebaliknya ketika gelombang itu turun maka akan memunculkan perasaan pada perempuan yang menyerupai penjernihan pertimbangan perasaan dan dalam hati dia berusaha memeriksa adanya sesuatu yang dibutuhkan dan diinginkan. Dalam keadan seperti ini banyak keluhan hingga dia mencari seseorang untuk mendengarkan, memahami dan mengharapkan jalan keluar atau solusi yang akan dilakukan selanjutnya.
Dengan demikian kesiapan perempuan untuk memberi dan menerima cinta dan kasihsayang, tergantung pada seberapa besar perasaan dalam dirinya. Dengan kata lain tergantung dari penghargaan pada dirinya. Bagi kaum Adam, yang terpenting adalah ia harus mengetahui titik ini denga baik. Ia harus tahu keadaan perempuan yang menuntutnya bersikap sangat lembut, mempergaulinya dengan baik,dan membuatnya merasakan cinta dan kasih sayang yang diharapkan dan di cari dari seorang laki-laki. Perempuan tersebut adalah istri yang sangat membutuhkan perasaan tersebut.

B.     Perempuan dan Kesetaraan Gender
Menurut bahasa, kata gender diartikan sebagai “the grouping of words intomasculine, feminine, and neuter, according as they are regarded as male, female or without sex” yang artinya gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin, feminin, atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan.
Konsep gender sendiri harus dibedakan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin). Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen tidak  berubah dan merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender adalah perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial dibentuk. Perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Misalnya seperti apa yang telah kita ketahui bahwa perempuan dikenal sebagai sosok yang lemah lembut, emosional, dan keibuan sehingga biasa disebut bersifat feminin. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa serta disebut bersifat maskulin. Pada hakikatnya ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang memiliki sifat emosional dan lemah lembut. Dan sebaliknya, ada pula wanita yang kuat, rasional dan perkasa. Oleh karena itu gender dapat berubah dari individu ke individu yang lain, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkan dari kelas sosial yang satu ke kelas sosial yang lain. Sementara jenis kelamin yang biologis akan tetap dan tidak berubah. Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikontruksikan secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat berubah.
Dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu dapat kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaaan yang dapat mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan anak perempuan dalam pendidikan formal, sebagai akibat ketidaksamaan kesempatan, sehingga dalam masyarakat dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan formal.
Gender artinya suatu konsep, rancangan atau nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-laki dikarenakan perbedaan biologis atau kodrat yang oleh masyarakat kemudian dibakukan menjadi ‘budaya’ dan seakan tidak lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itu yang tepat bagi perempuan. Apalagi kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik, ekonomi, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, gender adalah nilai yang dikonstruksi oleh masyarakat setempat yang telah mengakar dalam bawah sadar kita seakan mutlak dan tidak bisa lagi diganti. Jadi, kesetaraan gender adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki sama-sama menikmati status, kondisi, atau kedudukan yang setara, sehingga terwujud secara penuh hak-hak dan potensinya bagi pembangunan disegala aspek kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara.
Terdapat dua teori peran laki-laki dan perempuan yang berlawanan, yaitu teori nature dan teori nurture. Teori nature yang disokong oleh teori biologis dan teori fungsionalisme struktural ini, mengatakan bahwa perbedaan peran gender bersumber dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan teori nurture, yang disokong oleh teori konflik dan teori feminisme, mengandaikan bahwa perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan bukan merupakan konsekuensi dari perbedaan biologis yang kodrati, namun lebih sebagai hasil konstruksi manusia, yang pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang melingkupinya.
Kedua teori peran ini, pada tahap berikutnya senantiasa berjalan secara berlawanan. Laki-laki atau perempuan, tidak didefinisikan secara alamiah namun kedua jenis kelamin ini dikonstruksikan secara sosial. Berdasarkan teori ini, anggapan bahwa laki-laki yang dikatakan kuat, macho, tegas, rasional, dan seterusnya, sebagai kodrat laki-laki, sesungguhnya merupakan rekayasa masyarakat patriarkhi. Demikian juga sebaliknya, anggapan bahwa perempuan lemah, emosional dan seterusnya sesungguhnya hanya diskenariokan oleh struktur masyarakat patriarkhi. Oleh karena itu diperlukan pemposisian apakah identitas jenis kelamin perempuan dan laki-laki itu merupakan entitas kodrati atau konstruksi. Hal ini penting didudukkan mengingat implikasi dari konsep yang berbeda tersebut sangat besar bagi kehidupan sosial, laki-laki dan perempuan dalam lingkup sosio-kultural yang lebih luas. Di samping itu, perdebatan ini kemudian juga berdampak pada adanya pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang tidak wajar dilakukan oleh laki-laki atau perempuan.
Dalam konteks Indonesia misalnya bisa dilihat pendefinisian perempuan/ istri sebagai pendamping laki-laki/ suami, dikokohkan oleh instritusi sosial berupa Dharma Wanita,  demikian juga wacana mengenai posisi laki-laki/ suami sebagai pemimpin juga ditopang kuat oleh institusi agama. Pandangan perempuan dan laki-laki, satu sama lain tentang diri mereka masing-masing merupakan pengkondisian yang dibentuk oleh masyarakat secara seksis. Pandangan dan konstruk yang seksis tersebut akan bertahan dan menyelubungi cara berfikir, baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Dalam konteks seperti ini, mesti diingat bahwa kodrat yang melekat pada laki-laki dan perempuan adalah kuat, pengasih, pintar, antusias, kooperatif, tegas, percaya diri dan sensitif. Jika semua laki-laki dan perempuan telah mengenal kodratnya yang sama, maka konsekuensiya kita harus menolak pandangan yang menyatakan bahwa anak-laki-laki pada dasarnya memang bersifat agresif. Adanya anggapan seperti itu, tidak lain hanyalah dikondisikan dan di-setting oleh situasi sosial yang ada. Laki-laki, sama dengan perempuan juga memiliki emosi, sifat pengasih dan sensitivitas.
Untuk mengembangkan semua potensi kodrati laki-laki yang sesungguhnya sama dengan perempuan, perlu adanya dorongan kepada mereka untuk berlatih mengekspresikan diri secara alamiah. Sebagian besar pengkondisian sosial terhadap laki-laki, berasal dari paksaan sosial untuk bertindak sesuai aturan sosial yang biasa berjalan. Misalnya ketika laki-laki menangis, akan dikatakan cengeng seperti perempuan. Pengkondisian seperti ini, pada akhirnya membuat laki-laki menerima peran-peran yang tidak alamiah dan manusiawi, untuk dimainkan dalam kehidupan sosial mereka.
Berdasarkan realitas pengkondisian sosial masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan sendiri tidak memahami atau merasakan bahwa semua itu merupakan produk sosial, maka penghapusan seksisme yang berimplikasi sangat luas dalam kehidupan harus dijadikan sebagai fokus utama perjuangan untuk menegakkan keadilan gender. Hal ini karena, semua perilaku yang menimbulkan segala bentuk ketidakadilan gender seperti marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, steterotipe dan peran ganda bagi perempuan salah satunya berakar mendalam pada ideologi seksisme yang menjadi penopang kuat ideologi patriarkhi. Pembagian kerja secara seksual seringkali dikonstruksi berdasarkan gender. Kegiatan-kegiatan ekonomis cenderung terklasifikasikan menurut jenis kelamin. Beberapa peran dilihat sebagai maskulin atau feminin. Namun fakta semakin menguatkan bahwa peran sosial laki-laki dan perempuan merupakan hasil konstruksi masyarakat, sehingga akibatnya sebuah peran yang di suatu tempat dianggap maskulin di tempat lain dianggap feminin. Memasak misalnya, hanya dilakukan oleh perempuan, sebaliknya perkayuan hanya dilakukan oleh laki-laki. Berburu, menangkap ikan, membuat senjata dan perahu cenderung menjadi tugas laki-laki, sementara menumbuk padi dan mengambil air menjadi tugas perempuan. Sementara kegiatan yang berganti-ganti dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan adalah mengolah tanah, menanam, merawat dan memanen.
Dalam masyarakat tertentu, laki-laki sangat berpengaruh pada pengasuhan anak. Kegiatan tersebut tidak dianggap sebagai wilayah kerja perempuan. Sebut saja misalnya dalam suku Arapesh di Papua Nugini, yang beranggapan bahwa mengandung dan melahirkan anak merupakan tugas bersama suami-isteri, sehingga mereka dibebaskan dari tugas-tugas klan lainnya. Suku Aboriogin di Australia dan kepulauan Tobriand di Papua Nugini meyakini bahwa mengasuh anak adalah merupakan tugas penting ibu maupun ayah.
Mengacu kepada perbedaan kebudayaan yang berakibat pada perbedaan peran laki-laki dan perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa pembagian tugas dan kerja tidaklah bergantung pada jenis kelamin tertentu, tetapi peran merupakan khas setiap kebudayaan, dan karenanya gender adalah juga khas untuk setiap kebudayaan. Karena itu juga, gender tidak hanya berbeda antar kebudayaan yang berbeda, tetapi juga berbeda dari waktu ke waktu dalam kebudayaan yang sama. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, tetapi berkembang seiring dengan berlakunya waktu dan berjalannya sejarah.
Dengan berkembangnya masyarakat, peran-peran yang dijalani oleh perempuan dan laki-laki tidak lagi hanya ditentukan oleh kebudayaan, tetapi juga oleh ideologi yang dominan pada suatu masa dan oleh faktor-faktor sosial, politik, ekonomi dan agama.

C.    Kedudukan Perempuan Dalam Pandangan Islam
Sesungguhnya Islam telah memberikan penghargaan dan penghormatan kepada kaum wanita dengan setinggi-tingginya yang memberikan kedudukan teramat mulia dan luhur, mengangkat mereka dari lembah kehinaan dan sumber keburukan, menyelamatkan mereka dari kekejaman dan perlakuan keji manusia yang biadab. Islam datang dengan membawa rahmat bagi seluruh makhluknya. Apalagì kepada kaum wanita yang merupakan makhluk Allah yang mulia.
Sebagai ibu, Allah mengabarkan bahwa syurga itu terletak dibawah telapak kakinya. Sebagai seorang istri mereka harus diperlakukan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Sebagai seorang anak perempuan, mereka harus dididik dengan pendidikan yang benar, diasuh hingga masa menikah, bahkan seorang ayah yang dapat mengasuh dan mendidik dua orang atau tiga orang anak putrinya dengan sebaik-baiknya akan mendapatkan jaminan syurga karena tingginya pahala yang dimiliki oleh seseorang yang dapat mendidik mereka dengan sebaik-baiknya. Rasulullah SAW. bersabda (HR.Muslim) :  "Barang siapa yang diuji dengan anak-anak perempuan, lalu ia memperlakukannya dengan baik, maka kelak mereka akan menjadi dinding dari (sengatan) api neraka".
Allah memberikan kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam hal pahala dan kedudukan mereka di sisi Allah. Allah berfirman : "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik" (QS.An-Nahl:97).
"Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amalan orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan (karena) sebagian kamu adalah keturunan sebagian yang lain." (QS.Ali-Imran:195).

D.    Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Islam
Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling awal dikenal. Tumbuh dan berkembangnya aspek manusia baik fisik, psikis atau mental, sosial dan spiritual, yang akan menentukan bagi keberhasilan bagi kehidupannya, sangat ditentukan oleh lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga yang kondusif sangat menentukan optimalisasi perkembangan pribadi, moral, kemampuan bersosialisasi, penyesuaian diri, kecerdasan, kreativitas juga peningkatan kapasitas diri menuju batas-batas kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan.
Di antara 114 surat yang terkandung di dalam Al Qur’an terdapat satu surat yang didedikasikan untuk perempuan secara khusus memuat dengan lengkap hak asasi perempuan dan aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya perempuan berlaku didalam lembaga pernikahan, keluarga dan sektor kehidupan. Surat ini dikenal dengan surat An-Nisa’ dan tidak satupun surat secara khusus ditujukan kepada kaum laki-laki. Lebih jauh lagi, Islam datang sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi kaum Jahiliyah atas perempuan dengan pemberian hak warisan, menegaskan persamaan status dan hak dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan hukum bagi perempuan dan mengeluarkan aturan pernikahan yang mengangkat derajat perempuan masa itu dan perceraian yang manusiawi.
Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu sebagai hamba (‘abid) dan sebagai representatif Tuhan (khalifah) tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit (Q.S. al-Hujurat 49: 13), artinya : “ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu”.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. 49:13). Rasulullah SAW bersabda yang artinya: ”hak dan kewajiban Allah terhadap hamba-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.(HR. Bukhari).
Islam mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungan alamnya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia), makrosrosmos (alam) dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapai derajat ‘abid sesungguhnya. Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu kepada ayat-ayat (al-Qur’an) substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum syari’ah (maqashid al-syariah), antara lain: mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q.S. an-Nahl [16]: 90), artinya :Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil  pelajaran”.
Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam masyarakat tidak ditemukan ayat al-Qur’an atau hadits yang melarang kaum perempuan aktif didalamnya. Sebaliknya al-Alqur’an dan hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi. Dengan demikian, keadilan gender adalah suatu kondisi adil bagi perempuan dan laki-laki untuk dapat mengaktualisasikan dan mendedikasikan diri bagi pembangunan bangsa dan negara.


Keadilan dan kesetaraan gender berlandaskan pada prinsip-prinsip yang memposisikan laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai :
1.      Hamba Tuhan (kapasitasnya sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan pengabdiannya Q.S. an-Nahl 16 : 97)
2.      Khalifah di bumi ditegaskan dalam surat al-A’raf 7 : 165
3.      Penerima perjanjian primordial (perjanjian dengan Tuhannya) sebagaimana disebutkan dalam surat al-A’raf 7: 172 dan Adam dan Hawa dalam cerita terdahulunya yang telah disebutkan dalam surat al-A’raf 7 : 22.
Ayat ayat tersebut diatas, mengisyaratkan konsep kesetaraan dan keadilan gender serta memberikan ketegasan bahwa prestasi individual baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesional tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi yang optimal. Namun dalam realitas masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi karena masih terdapat sejumlah kendala terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan.

E.     Munculnya Ketidakadilan terhadap Perempuan dengan Dalih Agama
Karena adanya implementasi yang salah dari ajaran agama tersebut yang disebabkan oleh pengaruh faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat di dalam masyarakat sehingga menimbulkam sikap dan perilaku individual yang secara turun-temurun menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan gender tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan melalui nilai-nilai dan tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru mengenai keunggulan kaum lelaki dan melemahkankaum perempuan.
Adapun pandangan dasar atau mitos-mitos yang menyebabkan munculnya ketidak adilan terhadap perempuan adalah :
1.      Keyakinan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki sehingga perempuan dianggap sebagai mahluk kedua yang tidak akan mungkin ada tanpa kehadiran laki-laki. Karenanya keberadaan perempuan hanya sebagai pelengkap dan diciptakan hanya untuk tunduk di bawah kekuasaan laki-laki.
2.      Keyakinan bahwa perempuan sebagai sumber dari terusirnya manusia (laki-laki) dari surga sehingga perempuan dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik bahkan lebih jauh lagi perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka.
Al-quran tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia. Dihadapan Allah SWT, lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama. Oleh karena itu, pandangan-pandangan yang menyudutkan posisi perempuan sudah selayaknya diubah karena al-Qur’an selalu menyerukan keadilan (Q.S.al-Nahl 16:90) : keamanan dan ketentraman (Q.S. an-Nisa 4:58) : mengutamakan kebaikan dan mencegah kejahatan (Q.S.Ali Imran 3:104). Ayat-ayat inilah yang dijadikan sebagai maqasid al- syari’ah atau tujuan-tujuan utama syariat. Jika ada penafsiran yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia, maka penafsiran itu harus ditinjau kembali.

F.     Ibu Dalam Pandangan Islam
Islam mengajarkan bahwa kaum ibu merupakan pihak yang sangat istimewa dan tinggi derajatnya. Oleh karena itu, kita sangat akrab dengan hadits yang menjelaskan keharusan seorang sahabat agar memprioritaskan berbuat baik kepada ibunya. Bahkan Nabi SAW menyebutkan keharusan tersebut sebanyak tiga kali sebelum beliau akhirnya juga menganjurkan sahabat tadi agar berbuat baik kepada ayahnya. Jadi ibaratnya keharusan menghormati dan berbuat baik seorang anak kepada ibunya sepatutnya lebih banyak tiga kali lipat daripada penghormatan dan perilaku baiknya terhadap sang ayah.
Bahaz Ibnu Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kepada siapa aku berbuat kebaikan?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ayahmu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Kita juga sangat akrab dengan hadits yang menyebutkan beberapa dosa besar dimana salah satunya ialah durhaka kepada kedua orangtua, yaitu ayah dan ibu. Di antaranya disebutkan sebagai berikut : Dari Anas ia berkata: Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam ditanya mengenai dosa-dosa besar, maka beliau bersabda : “Mempersekutukan Allah, durhaka pada kedua orang-tua, membunuh jiwa dan kesaksian palsu.” (HR Bukhary).
Bahkan di dalam hadits lainnya disebutkan bahwa kedua orang tua merupakan faktor yang sangat besar mempengaruhi apakah seseorang bakal menuju ke surga ataukah ke neraka. Artinya, perilaku baik seseorang kepada kedua orang-tuanya bakal memperbesar kemungkinannya berakhir di dalam rahmat Allah dan surga-Nya. Sedangkan kedurhakaannya kepada kedua orang-tua bakal memperbesar kemungkinan hidupnya berakhir di dalam murka Allah dan neraka-Nya. Dari Abi Umamah ia berkata: “Ada seorang lelaki berkata: “Ya Rasulullah, apakah hak kedua orang-tua atas anak mereka?” Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam bersabda: “Keduanya (merupakan) surgamu dan nerakamu.” (HR Ibnu Majah).
Hal ini sejalan dengan hadits berikut ini : Dari Abdullah Ibnu Amar al-’Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR Tirmidzi)
Namun yang menarik ialah ditemukannya hadits yang secara khusus mengungkapkan haramnya durhaka kepada sang ibu. Sedangkan hal ini tidak kita temukan dalam kaitan dengan larangan berlaku durhaka kepada sang ayah. Sudah barang tentu ini tidak berarti bahwa berlaku durhaka kepada fihak ayah dibenarkan. Yang jelas dengan adanya larangan khusus berlaku durhaka kepada pihak ibu cuma menunjukkan betapa ajaran Islam sangat menjunjung tinggi martabat ibu. Bersabda Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam: “Allah melarang kalian durhaka kepada ibu kalian.”(HR Bukhary)
Di masa kita dewasa ini saat mana faham ateisme, materialisme, sekularisme, liberalisme dan pluralisme begitu dominan mewarnai kehidupan masyarakat dunia, maka kehadiran seorang ibu sendirian mendampingi anak-anaknya kadang dirasa kurang memadai. Sehingga kerjasama antara ayah-mukmin dan ibu-mukminah sangat diperlukan. Dalam dunia modern anak-anak kita sangat perlu pengarahan yang sangat kokoh dan kompak dari kedua orang tuanya sekaligus untuk mengcounter serangan musuh-musuh Islam yang pengaruh buruknya semakin hari semakin hegemonik.
Betapapun seorang ayah tidak mungkin diharapkan untuk terus-menerus berada di rumah karena tuntutan mencari ma’isyah (penghasilan) bagi anak dan istrinya. Oleh karenanya, kehadiran dan keaktifan peran seorang ibu di rumah mendampingi anak-anaknya menjadi sangat strategis. Oleh karenanya, Nabi menyetarakan hadir dan aktifnya seorang ibu mendampingi anak-anaknya di rumah dengan aktifitas jihad fi sabilillah yang dilakukan oleh kaum pria di medan perang menghadapi musuh-musuh Allah.

G.    Peranan Perempuan Sebagai Istri Dalam Pandangan Islam
Rasulullah SAW. bersabda : Seluruh dunia ini adalah perhiasan dan perhiasan terbaik di dunia ini adalah perempuan yang sholehah”.
Di dalam Islam, peranan seorang istri sangat penting dalam kehidupan berumah tangga, yang mana seorang istri membahagiakan suaminya untuk mendapatkan keridho’an dari Allah. Untuk itu kualitas seorang istri seharusnya memenuhi sebagaimana yang disenangi oleh pencipta-Nya yang tersurat dalam surat Al-Ahzab yakni, seorang perempuan muslimah yang benar (dalam aqidah), sederhana, sabar, setia, menjaga kehormatannya tatkala suami tidak ada di rumah, mempertahankan keutuhan (rumah tangga) dalam waktu susah dan senang serta mengajak untuk senantiasa ada dalam pujian Allah. Ketika seorang perempuan muslimah menikah (menjadi seorang istri) maka dia harus mengerti bahwa dia memiliki peranan yang khusus dan pertanggungjawaban dalam Islam kepada pencipta-Nya. Karenanya, seorang istri akan membantu suaminya untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’ah (hukum Islam) dan memastikan suaminya untuk kembali melaksanakan kewajiban-kewajibannya, sebagaimana suaminya memenuhi kewajiban terhadapnya.
Seorang istri memiliki hak untuk Nafaqah (diberi nafkah) yang berupa makanan, pakaian dan tempat untuk berlindung yang didapatkan dari suaminya. Suami berkewajiban membelanjakan hartanya untuk itu walaupun jika istri memiliki harta sendiri untuk memenuhinya. Rasulullah bersabda : ”Istrimu memiliki hak atas kamu bahwa kamu mencukupi mereka dengan makanan, pakaian dan tempat berlindung dengan cara yang baik.” (HR. Muslim).
Ini adalah penting untuk dicatat bahwa ketika seorang istri menunaikan kewajiban terhadap suaminya, dia telah melakukan kepatuhan terhadap pencipta-Nya, karenanya dia mendapatkan pahala dari Allah. Aisyah R.A. suatu kali meriwayatkan tentang kebaikan kualitas Zainab R.A, istri ketujuh dari Rasulullah saw. ; ”Zainab adalah seseorang yang kedudukannya hampir sama kedudukannya denganku dalam pandangan Rasulullah dan aku belum pernah melihat seorang perempuan yang lebih terdepan kesholehannya daripada Zainab R.A. lebih dalam kebaikannya, lebih dalam kebenarannya, lebih dalam pertalian darahnya, lebih dalam kedermawanannya dan pengorbanannya dalam hidup serta mempunyai hati yang lebih lembut, itulah yang menyebabkan ia lebih dekat kepada Allah”.
Rasulullah menganjurkan untuk memilih istri dari keluarga yang memiliki sifat-sifat terpuji, karena keluarga yang baik akan membentuk karakter yang baik pula pada diri perempuan tersebut. Rasulullah bersabda : "Pandai-pandailah memilih calon istri karena saudara istri akan menurunkan sifat dan karakternya pada anak kalian dan pilihlah dengan benar perempuan yang akan mengandung anakmu karena unsur keturunan sangat berpengaruh pada anak.
Islam juga menekankan memilih istri dari lingkungan sosial yang bersih, karena lingkungan yang baik akan memberikan pengaruh yang baik pula kepada perempuan tersebut, sebaliknya Islam melarang kaum lelaki memilih istri dari lingkungan yang buruk. Dalam hadis disebutkan, Rasul melarang untuk mempersunting perempuan cantik yang hidup di lingkungan yang sesat. Beliau bersabda :Berhati-hatilah terhadap wanita cantik yang hidup di lingkungan yang tidak baik.
Islam juga melarang laki-laki menikahi perempuan pezina. Sabda Nabi : Jangan sekalipun kalian menikahi perempuan yang terang-terangan berzina, juga perempuan yang tidak sehat secara mental dan psikologis, sebab dikhawatirkan anak yang akan dilahirkannya akan mewarisi kegilaan ibunya.
Ketika Rasul Saw ditanya, perihal menikahi perempuan yang cacat mental, beliau menjawab : Jangan!
Seorang pria harus memilih perempuan salehah dan dari klan keluarga baik-baik untuk pendamping hidupnya, sebab perempuan yang berasal dari keturunan yang baik dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang beriman, akan menjadi perempuan yang taat beragama. Perempuan seperti inilah yang kelak jika bersuami dapat mendidik anak-anaknya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam. Para pria yang hendak menyunting perempuan untuk pendamping hidupnya, hendaknya menentukan pilihannya kepada perempuan yang bisa mengantarkannya atau menjadi mitra hidupnya, untuk meraih kebahagiaan abadi di negeri akhirat (surga Allah), sebagaimana Rasul SAW: Jika perempuan salat lima waktu, berpuasa, menjaga kemaluannya dan mentaati suaminya, maka kelak akan dikatakan kepadanya: ‘Masuklah ke dalam surga dari pintu surga mana saja yang kamu sukai’ (HR Ibnu Hibban dan Thabrani).
Dalam sebuah riwayat ditandaskan, Rasul Saw bersabda tentang wanita yang digaransi (dijamin) masuk surga, yaitu:
1.      Wanita yang memelihara dirinya, taat kepada Allah dan suami, subur (bisa mempunyai anak) serta sabar
2.      Menerima apa pemberian suami walaupun sedikit dan bersifat pemalu
3.      Jika suaminya pergi, ia menjaga dirinya dan harta suaminya
4.      Perempuan yang ditinggal mati suaminya sedangkan ia mempunyai anak yang masih kecil-kecil lalu ia menahan dirinya, memelihara dan mendidik anak-anaknya,serta berbuat baik terhadap mereka dan tidak mau nikah lagi karena takut menyia-siakan mereka.
Rasul juga mewartakan tentang perempuan yang kelak menjadi penghuni neraka, yaitu :
1.      Perempuan yang jelek lisannya terhadap suami, jika suaminya pergi, ia tidak menjaga dirinya. Jika suaminya di rumah, ia menyakiti suaminya dengan ucapannya
2.      Perempuan yang membebani suami (dengan tuntutan) yang suami tidak mampu melakukannya
3.      Perempuan yang tidak menutup dirinya dari lelaki lain dan ia keluar dari rumahnya dengan berhias
4.      Perempuan yang sama sekali tidak memiliki keinginan kecuali makan, minum dan tidur. Ia tidak memiliki gairah untuk mengerjakan salat, untuk mentaati Allah, mentaati Rasul, serta tidak mentaati suaminya. Maka jika ada perempuan memiliki sifat-sifat tersebut, ia adalah  perempuan terlaknat serta bakal menjadi penghuni neraka Allah kecuali jika ia bertaubat.

H.    Muslimah Bekerja Dalam Pandangan Islam
Dewasa ini tampak semakin banyak perempuan yang beraktivitas di luar rumah untuk bekerja. Ada yang beralasan mencari nafkah, mengejar kesenangan, menjaga gengsi, mendapat status sosial di masyarakat sampai alasan emansipasi. Anehnya banyak pula para perempuan yang mengeluh ketika harus menghadapi ketidak layakan perlakuan, seperti  cuti hamil yang terlalu singkat (hak reproduksi kurang layak), shift lembur siang malam, sampai pelecehan seksual.
Allah telah menciptakan pria dan wanita sama, ditinjau dari sisi insaniahnya (kemanusiaan). Artinya keduanya diciptakan memiliki ciri khas kemanusiaan yang tidak berbeda antara satu dengan yang lain. Keduanya dikaruniai potensi hidup yang sama berupa kebutuhan jasmani, naluri dan akal. Allah juga telah membebankan hukum yang sama terhadap pria dan wanita apabila hukum itu ditujukan untuk manusia secara umum. Misalnya pembebanan kewajiban sholat, shoum, zakat, haji, menuntut ilmu, mengemban dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan yang sejenisnya. Semua ini dibebankan kepada pria dan wanita tanpa ada perbedaan. Sebab semua kewajiban tersebut dibebankan kepada manusia seluruhnya semata-mata karena sifat kemanusiaan yag ada pada keduanya tanpa melihat seseorang itu pria maupun wanita.
Akan tetapi bila suatu hukum ditetapkan khusus untuk jenis manusia tertentu (pria saja atau wanita saja), maka akan terjadi pembebanan hukum yang berbeda antara pria dan wanita. Misalnya kewajiban mencari nafkah (bekerja) hanya dibebankan kepada pria, karena hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai kepala rumah tangga. Islam telah menetapkan bahwa kepala rumah tangga adalah tugas pokok dan tanggung jawab pria. Dengan demikian perempuan tidak terbebani tugas (kewajiban) mencari nafkah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya.
Perempuan justru berhak mendapatkan nafkah dari suaminya. Bahkan sekalipun sudah tidak ada lagi orang yang bertanggung jawab terhadap nafkahnya, Islam telah memberikan jalan lain untuk menjamin kesejahteraannya yakni dengan membebankan tanggung jawab nafkah perempuan tersebut kepada Daulah (Baitul Maal), jadi bukan dengan jalan mewajibkan perempuan bekerja. Sekalipun perempuan telah dijamin nafkahnya melalui pihak lain (suami atau wali), bukan berarti Islam tidak membolehkannya bekerja untuk mendapatkan harta/ uang  sendiri, bahkan ia pun boleh berusaha mengembangkan hartanya agar semakin bertambah. Allah Swt berfirman : “…Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (Qs An Nisa 32).
Hanya saja perempuan harus tetap terikat dengan ketentuan Allah (hukum syara’) yang lain ketika ia bekerja. Artinya ia tidak boleh menghalalkan segala cara dan segala kondisi dalam bekerja, juga tidak boleh meninggalkan kewajiban apapun yang dibebankan kepadanya dengan alasan waktunya sudah habis untuk bekerja atau dia sudah capek bekerja sehingga tidak mampu lagi untuk mengerjakan yang lain. Justru ia harus lebih memprioritaskan pelaksanaan seluruh kewajibannya daripada bekerja, karena hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah, karena apabila seorang mukmin/ muslimah mendahulukan perbuatan yang mubah dan mengabaikan perbuatan wajib, berarti ia telah berbuat maksiat (dosa) kepada Allah.
Oleh karena itu, tidak layak bagi seorang muslimah mendahulukan bekerja dengan melalaikan tugas pokoknya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Juga tidak layak baginya mengutamakan bekerja sementara ia melalaikan kewajiban-kewajibannya yang lain seperti mengenakan jilbab jika keluar rumah, shalat lima waktu dan lain-lain.
Perlu disadari bahwa ketika Allah SWT menjadikan tugas pokok sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, Dia juga telah menetapkan seperangkat syariat agar tugas pokok ini terlaksana dengan baik. Sebab terlaksananya tugas ini akan menjamin lestarinya generasi manusia serta terwujudnya ketenangan hidup individu dalam keluarganya, sebaliknya bila tugas pokok baginya tidak terlaksana dengan baik tentu akan mengakibatkan punahnya generasi manusia dan kacaunya kehidupan berkeluarga.
Seperangkat syariat yang menjamin terlaksanya tugas pokok perempuan ada yang berupa rincian hak dan kewajiban yang harus dijalankan wanita (seperti wajib memelihara kehidupan janin yang dikandungnya, haram menggugurkannya kecuali alasan syar’i, wajib mengasuh bayinya, menyusuinya sampai mampu mandiri dan mengurus dirinya), ada pula yang berupa keringanan bagi wanita untuk melaksanakan kewajiban lain (seperti tidak wajib sholat selama waktu haid dan nifas), boleh berbuka puasa pada bulan Ramadlan (ketika haid, hamil, nifas dan menyusui). Kemudian ada pula yang berupa penerimaan hak dari pihak lain (seperti nafkah dari suami/ wali).
Semua ini bisa terlaksana apabila terjadi kerjasama antara pria dan perempuan dalam menjalani kehidupan ini baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Dengan demikian tidak perlu dipertentangkan antara fungsi reproduksi perempuan dengan produktivitasnya ketika ia bekerja. Karena semua ini tergantung pada prioritas peran yang dijalaninya. Munculnya pertentangan ini disebabkan tidak adanya penetapan prioritas tersebut.
Usaha manusia untuk memperoleh kekayaan demi memenuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah suatu hal yang fitri, namun manusia tidak boleh dibiarkan begitu saja menentukan sendiri bagaimana cara memperoleh kekayaan tersebut, sebab bisa jadi manusia berbuat sekehendak hatinya tanpa mempedulikan hak orang lain. Bila ini yang terjadi, bisa menyebabkan gejolak dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat, bahkan bisa mengakibatkan kerusakan dan nestapa. Padahal semua manusia memiliki hak untuk menikmati seluruh kekayaan yang telah diciptakan Allah di bumi ini. Oleh karena itu Allah telah menetapkan beberapa cara yang boleh bagi manusia untuk memperoleh (memiliki) kekayaan/ harta. Antara lain dengan “bekerja”. Ini berlaku bagi pria dan wanita, karena wanita tidak dilarang untuk memiliki harta.
Tatkala bekerja itu memiliki wujud yang luas, jenisnya bermacam-macam bentuknya beragam dan hasilnya berbeda-beda, maka Allah SWT pun telah menetapkan jenis-jenis kerja yang layak untuk dijadikan sebab kepemilikan harta. Salah satu diantaranya adalah ‘ijaroh’ (kontrak tenaga kerja).
Apabila kita telaah secara mendalam hukum-hukum yang berkaitan dengan ijaroh bersifat umum, berlaku bagi pria maupun wanita. Maksudnya wanita pun boleh melakukan ijaroh, baik ia sebagai ajir (orang yang diupah atas jasa yang disumbangkannya) maupun sebagai musta’jir (orang yang memberi upah kepada orang yang memberinya jasa).
Transaksi ijaroh hanya boleh dilakukan terhadap pekerjaan yang halal bagi setiap muslim dan tidak boleh bagi pekerjaan-pekerjaan yang haram. Oleh karena itu, transaksi ijaroh boleh dilakukan dalam urusan perdagangan, pertanian, industri, pelayanan, guru (pengajaran), perwakilan dan perantara bagi dua orang yang bersengketa (peradilan). Demikian pula pekerjaan lain seperti menggali sumber alam dan membuat pondasi bangunan , mengemudikan mobil, kereta, kapal, pesawat, mencetak buku, menerbitkan koran dan majalah, menjahit baju, termasuk dalam kategori ijaroh. Semua pekerjaan tersebut boleh dilakukan oleh wanita sebagaimana pria, karena pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang halal dilakukan oleh setiap muslim.
Dengan demikian boleh pula bagi wanita bekerja mengambil upah dari semua jenis pekerjaan di atas. Namun bagi wanita harus tetap memperhatikan beberapa hukum lain yang harus diikutinya ketika ia memutuskan untuk bekerja sehingga ia bisa memastikan bahwa semua perbuatan yang dilakukannya tidak ada yang melanggar ketentuan Allah (hukum syara’).
Apabila setiap muslim yang bekerja (termasuk buruh wanita) untuk memperoleh upah/ gaji sejak awal bersikap demikian, berarti ia telah menempatkan diri pada posisi tawar yang tinggi, sehingga kelayakan kerja bisa dipastikan sejak awal (sebelum melakukan aqad). Dengan demikian majikan tidak bisa berbuat seenaknya kepada buruh, bahkan majikan akan menyesuaikan dengan keinginan buruh sebab tanpa jasa buruh usahanya tidak dapat berjalan. Dengan demikian para buruh wanita tidak akan terjerumus pada polemik berkepanjangan dalam ketidak layakan kerja.
Tatkala wanita bekerja, selain harus menentukan jenis pekerjaan yang akan dijalankannya dihalalkan oleh syara’, ia pun harus memastikan bahwa situasi bekerjanya sesuai dengan ketentuan syara’. Apabila dalam melakukan pekerjaan tersebut mengharuskan wanita bertemu dengan pria, maka wanita pun harus terikat dengan ketentuan syara’ yang berkaitan dengan interaksi antara pria dan wanita dalam kehidupan umum (bermasyarakat). Artinya ia tidak boleh bercampur baur begitu saja dengan lawan jenisnya tanpa aturan.
Oleh karena itu harus difahami bahwa interaksi dalam kehidupan masyarakat antara pria dan wanita (termasuk dalam sistem kerja) tidak lain adalah hanya untuk saling ta’awwun (tolong menolong). Interaksi kerja ini harus dijauhkan dari pemikiran tentang hubungan jinsiyah (seksual). Sehingga ketika bekerja pun bukan dalam rangka memanfaatkan potensi kewanitaan (kecantikan, bentuk tubuh, kelemahlembutan dan lain-lain) untuk menarik perhatian lawan jenis. Bekerjanya wanita haruslah karena skill/ kemampuannya yang dimiliki oleh wanita sesuai dengan bidangnya.
Pengaturan sistem interaksi ini merupakan tindakan preventif agar tidak terjadi tindak pelecehan seksual pada wanita saat ia bekerja. Islam sejak awal telah menjaga agar kehormatan wanita senantiasa terjaga ketika ia menjalankan tugas-tugasnya dalam kehidupan bemasyarakat. Adapun tentang pengaturan sistem interaksi pria dan wanita, Islam telah menetapkannya dalam sekumpulan hukum, diantaranya :
1.      Diperintahkan kepada pria maupun wanita untuk menjaga/ menundukkan pandangannya, yaitu : Menahan diri dari melihat lawan jenis disertai dengan syahwat sekalipun yang dilihat itu bukan aurat dan dari melihat aurat lawan jenis sekalipun tidak disertai syahwat misalnya melihat rambut wanita. Firman Allah dalam QS An Nur 31 ; “Katakanlah kepada wanita yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya”.
2.      Diperintahkan kepada wanita untuk mengenakan pakaian sempurna ketika keluar rumah (termasuk ketika bekerja di luar rumahnya) yaitu dengan jilbab dan kerudung (QS 24 : 31 dan QS 33 : 59) “… dan hendaklah mereka menutupkan khimar (kain kerudung) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya…” (QS 24 : 31).
3.      Dilarang berkhalwat pria dan wanita. Sabda Rasulullah ; “tidak boleh berkhalwat laki-laki dan perempuan kecuali bersama perempuan itu ada mahram”
4.      Dilarang perempuan bertabarruj (menonjolkan kecantikan dan perhiasan untuk menarik perhatian pria yang bukan mahromnya). Sabda Rasulullah ; “barang siapa perempuan yang memakai wangi-wangian, kemudian lewat di depan laki-laki, hingga tercium wanginya, maka dia seperti pezina (dosanya seperti pezina)”.
5.      Dilarang perempuan melibatkan diri dalam aktivitas yang dimaksudkan untuk mengeksploitasi kewanitaannya, misalkan ;  pramugari, foto model, artis, dsb.
6.      Dilarang perempuan untuk melakukan perjalanan sehari semalam tanpa mahram. Sabda Rasulullah ; Tidak halal perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan sehari semalam kecuali bersamanya ada mahram”.
7.      Dilarang perempuan bekerja di tempat yang terjadi ikhtilath (campur baur) antara pria dengan wanita.
Demikianlah Islam mengatur sistem interaksi pria dan wanita. Semua tidak lain untuk menjaga izzah (kehormatan) wanita dan menjaga ketinggian iffah kaum muslimin.
Dewasa ini banyak perempuan (termasuk para muslimah yang terjun ke dunia kerja) walaupun upah yang mereka terima lebih rendah dan perlakuan yang mereka terima juga tidak layak, namun dari hari ke hari jumlah tenaga kerja wanita (buruh) ini semakin meningkat. Keadaan ini memang tidak terlepas dari kondisi sistem yang mereka hadapi. Dominasi alam Kapitalis ataupun sosialis menciptakan situasi sulit bagi para buruh wanita (masyarakat secara umum).

I.       Peranan Perempuan Dalam Kehidupan Sosial
Interaksi antara pria dan wanita ternyata dalam Islam bukanlah sesuatu yang dilarang, karena interaksi tersebut sudah terjadi sebelum masa Nabi SAW. Rasulullah  bersabda, “Kaum wanita adalah saudara kandung kaum pria”.  Hal ini mengandung arti bahwa kaum perempuan haruslah ikut serta dalam berbagai lapangan kehidupan.
Sebagaimana diketahui, lapangan kehidupan tidak terlepas dari keberadaan kaum laki-laki bahkan peranan penting dalam masyarakat didominasi oleh kaum pria. Namun Allah tidak menghalangi perempuan bertemu dan berinteraksi dengan kaum pria dan sebaliknya, berbicara, bertukar pikiran,atau bekerjasama untuk suatu pekerjaan tidak dihalangi sepanjang tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan agama. 
Kebebasan perempuan dengan segala konsekwensinya, seperti harus bertemu dengan pria merupakan pola yang sudah ditetapkan oleh syariat dan sunnah Rasulullah SAW.  Beliau sangat memahami peran perempuan dalam mempermudah dan membantu berbagai usaha kebaikan.  Penyalahgunaan kondisi tersebut sama artinya dengan mempersulit dan mempersempit ruang gerak perempuan sekaligus menghalanginya dari melakukan kebaikan serta memposisikan perempuan dalam bidang-bidang yang lemah. Namun kebebasan tersebut tidak lantas melalaikan mereka dari pelaksanaan tugas dan tanggung-jawab terhadap rumah tangga dan anak-anaknya.     

  
BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Perempuan  selama ini mengalami penindasan oleh dominasi kaum laki-laki yang mengatas namakan peradaban dan kebudayaan dan juga karena penafsiran yang keliru tentang asal kejadian perempuan dan kodratnya yang lemah lembut. Namun dewasa ini pemikiran seperti itu mulai sirna baik karena perjuangan kesetaraan gender maupun karena prestasi perempuan itu sendiri dalam kehidupan sosial masyarakat.
Dalam pandangan Islam perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Dari sudut penciptaan, kemuliaan, dan hak mendapatkan balasan atas amal usahanya perempuan memiliki kesetaraan dengan laki-laki, Islam sangat menjunjung keadilan dalam kesetaraan gender. Sedangkan dalam hal peran perempuan memiliki perbedaan dengan laki-laki. Peran perempuan yang wajib adalah sebagai istri dari suami dan ibu bagi anak-anaknya. Peranan perempuan sebagai anggota masyarakat dalam urusan muamalah mendapatkan profesi (pekerjaan) hukumnya boleh. Meskipun diperbolehkan namun harus selalu mementingkan segi kemaslahatan baik bagi rumah tangga maupun bagi masyarakat. Apabila lebih banyak kemudaratannya bagi keluarga maka profesi di luar rumah harus ditinggalkan mengingat sesuatu yang mubah tidak boleh meninggalkan hal yang wajib.
Meskipun kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial dan masyaakat sudah mulai membaik, namun dewasa ini terkadang pelecehan terhadap perempuan masih saja terjadi, baik karena sifat kebiadaban laki-laki maupun karena kurangnya pemahaman tentang kesetaraan gender yang diajarkan agama, khususnya Islam dan bahkan para ulamapun sebagian ada yang tidak terbuka, tidak welcome akan kesetaraan gender.


B.     SARAN
Pemerintah perlu melaksanakan pembuatan kebijakan dalam hal kesetaraan gender khususnya kepada hak kaum perempuan mengenai pekerjaan, politik dan lain-lain. Pemerintah juga harus berupaya mengumpulkan tokoh masyarakat seperti ulama, pendeta, orang memilii kendali terhadap masyarakatnya untuk upaya sosialisasi kesinambungan antara kesetaraan gender maupun dengan ajaran agama yang mereka anut, dalam upaya pembebasan dari budaya patriarki.
Makalah ini disusun dengan segala keterbatasan kami baik mengenai disiplin ilmu maupun pengalaman keagamaan yang masih minim, berharap kekeliruan penulisan ini ditanggapi dengan penyempurnaan, sehingga pada akhirnya bermanfaat bagi masyarakat banyak.

 DAFTAR PUSTAKA

Khairuddin. 2008. Sosiologi Keluarga. Liberty. Yogyakarta
Koentjaraningrat. 2010. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Penerbit Djambatan. Jakarta
Kaplan, David dkk. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta
Sholehuddin. 2010. Pluralisme Agama dan Toleransi. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional. Jakarta.
Shalih, Syaikh. 2002. Harga Diri dan Kehormatan Rumah Tangga Muslim. At-Tibyan. Solo
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo, Jakarta.
http//www.kedudukan-perempuan-dan-kesetaraan.html
http//www .wanita-karir-dalam-pandangan-islam.html
http//www. blog-page_4.html
http//www.tentang-kesetaraan-gender.html



Tidak ada komentar: