Oleh: SAM'UN MUKRAMIN
BAB I
BAB II
BAB III

BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Hukum memiliki peran yang penting
dalam mengatur ketertiban sebuah negara. Namun keberadaan hukum itu sendiri
tidak bisa sepenuhnya lepas dari masalah - masalah yang justru malah
mengaburkan fungsi pokok dari hukum itu sendiri. Begitu juga di Indonesia.
Hingga saat ini masih banyak sekali masalah hukum di Indonesia yang belum
terselesaikan. Masalah hukum di Indonesia tidak hanya berhubungan dengan aparat
penegak hukum saja namun juga terkadang berkaitan dengan produk hukum itu
sendiri.
Suatu negara yang dalam berkehidupan
bernegara, berpemerintahan, dan bermasyarakat, selalu mengacu kepada hukum yang
berlaku sebagai pedomannya. Oleh karena
itu hukum bertujuan untuk
mengatur hubungan antara negara atau masyarakat dengan warganya dan hubungan
antar manusia, agar supaya kehidupan di dalam masyarakat berjalan dengan lancar
dan tertib dan melindungi kepentingan manusia atau
masyarakat, karena dimana-mana bahaya selalu mengancamnya sejak dulu sampai
sekarang, baik secara makro maupun secara mikro tanpa membedakan antara manusia yang satu dengan manusia lain.
Hukum pada dasarnya
bertujuan untuk meningkatkan ketertiban, kepastian hukum serta rasa keadilan
dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa mendapatkan pengayoman dan perlindungan
akan hak-haknya tanpa memandang suatu golongan tertentu.
Hukum
Keluarga adalah bagian dari hukum perorangan, adapun hukum keluarga diartikan
sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan
dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan,
kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).
Oleh karena
itu pemakalah ingin sedikit menguraikan masalah tentang Hukum Keluarga yang diketahui.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Makalah ini
akan membahas tentang:
1.
Pengertian hukum keluarga
2.
Kekuasaan orang tua
3.
Perwalian
4.
Pengampuan
5.
Adopsi
6.
Keadaan tidak hadir

PEMBAHASAN
A.
Pengertian
hukum keluarga
Istilah
hukum keluarga berasal dari terjemahan Familierecht ( Belanda )
atau law of familie (Inggris). Dalam konsep Ali Afandi, hukum keluarga
diartikan sebagaikeseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang
bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargan karena perkawinan
(perkawinan, kekuasaan orang tua,perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).
Ada dua hal
penting dari konsep Ali Afandi tersebut, bahwa hukum keluarga mengatur hubungan
yang berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan.
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa
orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Sedangkan kekeluargaan karena
perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara
seorang dengan keluarga sedarah dengan istri (suaminya).
Tahir
Mahmud, mengartikan hukum keluarga sebagai prinsip-prinsip hukum yang
diterangkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara
umum diyakini memiliki aspek religius menyangkut peraturan keluarga,
perkawinan, perceraian, hubungan dalam keluarga, kewajiban dalam rumah tangga,
warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain.
Definisi
Tahir Mahmud tersebut, pada dasarnya mengkaji dua sisi, yaitu tentang prinsip
hukum dan ruang lingkup hukum. Sedangkan ruang lingkup kajian hukum keluarga
meliputi peraturan keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian
mas kawin, perwalian, dan lain-lain. Apabila diperhatikan, definisi ini terlalu
luas, karena menyangkut warisan, yang dalam hukum perdata BW merupakan bagian dari
hukum benda.
Dalam
definisi ini setidaknya memuat dua hal penting yaitu, kaidah hukum dan
substansi (ruang lingkup) hukum. Kaidah hukum meliputi hukum keluarga tertulis
dan hukum keluarga tidak tertulis. Hukum keluarga tertulis adalah kaidah-kaidah
hukum yang bersumber daru undang-undang, traktat, dan yurisprudensi. Hukum
keluarga tidak tertulis merupakan kaidah-kaidah hukum keluarga yang timbul,
tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, mamari
dalam masyarakat sasak. Adapun ruang lingkup yang menjadi kajian hukum keluarga
meliputi perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan orang
tua, pengampuan, dan perwalian.
Berdasarkan
definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum keluarga pada
dasarnya merupakan keseluruhan kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis
yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga yang meliputi:
a) Peraturan perkawinan
dengan segala hal yang lahir dari perkawinan
b) Peraturan perceraian
c) Peraturan kekuasaan
orang tua
d) Peraturan kedudukan
anak
e) Peraturan pengampuan
(curatele) dan
f) Peraturan
perwlian (voogdij).
Hukum perdata barat mengandung
prinsip bahwa hukum keluarga pada berbagai ketentuannya pada hakikatnya erat
hubungannya dengan tata tertib umum. Dengan demikian maka segala tindakan yang
bertentangan dengan ketentuan itu adalah batal demi hukum.
Dalam konsepsi hukum pedata
Indonesia telah diadakan pernyataan bahwa Hukum Perdata Barat (BW) tidak lagi
dianggap sebagai undang-undang yang mutlak berlaku. Ada beberapa pertimbangan
yang melandasi ketentuan tersebut antara lain:
1. Ada tendensi
bahwa BW mengaju pada alam liberalisme, sehingga perlu ditinggalkan dan menuju
alam sosialisme Indonesia.
2.
Maklumat Mahkamah Agung tentang
tidak berlakunya sementara ketentuan karena tidak sesuai lagi dengan perubahan
zaman dan bersifat diskriminatif.
3. Menjadikan
jati diri bangsa Indonesia yang pliralitis, sehingga berbeda jauh dengan
kondisi alam barat. Misalnya, dengan keberlakuan hukum islam dan hukum adat.
Pada dasanya sumber hukum keluarga
dapar dibedakan menjadi dua macam, yaitu sumber hukum keluarga tertulis dan
sumber hukum perdata tidak tertulis. Sumber hukum keluarga tidak tertulis
merupakan norma-norma hukum yang tumbuh dan berkembang serta ditaati oleh
sebagian besar masyarakat atau suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia.
Sedangkan sumber hukum keluarga tertulis berasal dari berbagai peraturan
perundang-udangan, yurisprudensi, dan perjanjian (traktat).
Sumber hukum keluarga tertulis yang
menjadi rujukan di Indonesia meliputi: (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek); (2) Peraturan Perkawinan Campuran (Regelijk op de
Gemengdebuwelijk), Stb. 1898 – 158; (3) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
Jawa, Minahasa, dan Ambon (Huwelijke Ordonnnantie Christen Indonesiers), Stb.
1933 -74; (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,
Talak,dan Rujuk (beragama Islam); (5) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan; (6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (7) Peraturan
Pemeritah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil; dan (8)
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
yang berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.
B. Kekuasaan Orang Tua
Seorang anak sah sampai ia mencapai
usia dewasa dewasa atau kawin, berada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama kedua orang tua itu terikat dalam hubungan perkawinan.Dengan
demikian kekuasaan orang tua itu mulai berlaku sejak lahirnya anak atau [dalam
halnya anak luar kawin yang disahkan]. Oleh karena itu kekuasaan orang tua
adalah kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu selama mereka itu terikat
dalam perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa. Demikian isi dari
pasal 299. Menurut pasal 300 kekuasaan orang tua itu biasanya dilakukan oleh si
ayah.
Jika bapak berada di laur kemungkinan melakukan
kekuasaan itu yang melakukan kekuasaan adalah si ibu.
Selanjutnya pasal 240 memuat
ketentuan bahwa setelah adanya keputusan perpisahan meja dan ranjang. Hakim
harus memutuskan siapa diantara orang tua harus melekukan kekuasaan orang tua
terhadap anak, didalam hal ini bisa juga kekuasaan orang tua dilakukan si ibu.
Mengenai pengertian Jadi belum dewasa perlu duperhatikan pasal-ppasal seperti
berikut :
Pasal 330 : Orang yang belum dewasa
adalah orang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. jka ia
pernah kawin, dan ia masih belum mencapai umur 21 tahun ia tidak kembali dalam
kedudukannya sebagai orang belum dewasa.
Jadi inti dari uraian di atas adalah
:
1.
Belum mencapai umur 21 tahun
2.
Belum kawin.
Kembali berbica tentang kekuasaan
orang tua, dari kekuasaan itu diatur dalam pasal 298-310. Isi dari kekuasaan
orang tua itu dibagi menjadi 2 bagian.
1.
Kekusaan terhadap pribadi seorang
anak,
2.
Kekuasaan terhadap kekayaan anak
Tentang kekuasaan tentang peribadi
seorang anak terdapat ketentuan sebagai berikut:
Pasal 298 dan 301:
Tiap anak berapa pun umurnya, wajib
menghormat dan menyegani orang tuanya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik
srmua anak yang belum dewasa.
Dan kekuasaan terhadap harta
kekayaan anak terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Ini dimuat dalam pasal 307-318, yang
perlu diperhatikan ialah pada pasal 307: Orang yang memegang kekuasaan orang
tua harus mengurus harta kekayaan si anak.
C.
Perwalian
Anak yang belum mencapai
umur 18 [delapan belas] tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan,
yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah
kekuasaan wali. Pewalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun
harta bendanya (pasal 30 UU perkawinan).
Yang dimaksud perwalian adalah
pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang
belum dewasa jika anak itu tidak berada di tanah kekuasaan orang tua.Jadi
dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai ataun jika salah satu
dari mereka atau semua meninggal dunia, berada dibawah perwalian. Terhadap anak
di luar kawin, maka kaerena tidak ada kekuasaan orang tua anak itu selalu di
bawah perwalian.
Anak yang berada di bawah perwalian
disebut pupil, dan disini ada 3 jenis perwalian :
1. Perwalian
menurut undang-undang, yaitu yang disebut dalam pasal 345.
Jika salah
satu orang tua meninggal maka perwalian demi hukum dilakukan oleh orang tua
yang masih hidup terhadap anak kawin yang belum dewasa.
Pasal 351.
Jika yang jadi wali itu si ibu dan ibu ini kawin lagi maka suaminya menjadi
kawan wali.
2.
Perwalian dengan wasiat.
Menurut
pasal 355 ditentukan bahwa tiap orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua,
atau perwalian, berhak mengangkat seorang wali bagi anaknya, jika perwalian itu
berakhir pada waktu ia meninggal dunia atau berakhir dengan penetapan
hakim. Perwalian seperti ini dapat dilakukan dengan surat wasiat atau dengan
akta notaris.
3.
Perwalian datif, yaitu apabila tiada
ada wali menurut undang-undang atau wali dengan wasiat, oleh hakim ditetapkan
seorang wali (pasal 359).
Jika
seandainya telah diputuskan suatu perceraian, maka dengan demikian tiada
ada lagi kekuasaan orang tua, dan salah seorang dari orang tua harus di
tetapkan sebagai wali.
Jika kedua
orang tua semuanya dipecat dari kekuasaan orang tua, maka Hakim juga harus
menetapkan seorang wali. Menurut ketentuan dalam pasal 365 maka jika Hakim
harus menetapkan seorang wali, maka ia dapat juga menetapkan sebagai wali,
suatu perkumpulan yang berbadan hukum, suatu yayasan atau lembaga yang
bertujuan memelihara anak-anak belum dewasa.
Menurut
pasal 306 harus ada wali pengawas dan ini dilakukan oleh Balai Harta
Peninggalan. Selain dari Balai Harta Peninggalan masih ada juga suatu badan,
yang disebut Dewan Perwakilan, yang anggotanya sebagian besar terdiri dari anggota
Balai Harta Peninggalan, yang tudasnya mengurusi anak yang di percayakan
kepadanya (416a).
Ketentuan-ketentuan
itu sudah diatur dalam stbld no. 166. Tentang siapa yang dapat ditetapkan
sebagai wali ada ketentuan –ketentuan sebagai berikut :
Pasal 332 :
Tiap orang wajib menerima penetapan sebagai wali, kecuali beberapa orang yang
boleh mengajukan keberatan yaitu :
Pasal 332 a
: seorang yang diangkat sebagai wali oleh salah satu dari kedua orang tua;
seorang perempuan yang bersuami. Keberatan ini harus dinyatakan di kepaniteraan
pegadilan negeri.
Pasal 347 :
orang-orang yang berada di luar negeri dengan tugas pemerintah, anggota-anggota
ketentaraan dan angkatan laut; Orang-arang yang bertugas Pemerintah di luar
Karesidenan mereka.
Pasal 379 :
Ini mengenai orang yang sama sekali tidak boleh menjadi wali, diantaranya:
a) Pejabat-pejabat
pengadilan,
b)
Orang yang sakit ingatan,
c)
Orang yang belum dewasa,
d)
Orang yang di bawah pengampuan,
e)
Orang yang di pecat yang kekuasaan
orang tua atau perwalian,
f) Para anggota
pimpinan Balai Harta Peninggalan.
Isi dari suatu perwalian ialah :
sebagaimana juga di dalam hal kekuasaan orang tua, ada 2 rupa:
Tugas yang mengenai pribadi anak
yang di bawah perwalian, dan pengurusan harta kekayaan si anak.
Tentang tugas mengenai pribadi
seorang anak menurut pasal 383, maka itu terdiri dari perawatan dan pendidikan
anak itu dan juga perwalian di muka Pengadilan.
Pengurusan harta kekayaan si anak,
terdapat ketentuan-ketentuan seperti berikut :
Pasal 335 : Tiap wali
sebagai jaminan atas pengurusan, harta kekayaan si anak, di dalam waktu 1 bulan
setelah perwaliannya mulai barjalan, harus mengadakan tanggungan yang berupa
ikatan tanggungan (borg), hipotik atau gadai.
Pasal 386 : Wali harus
mengadakan daftar perincian dari barang kekayaan si anak, di dalam waktu 10
hari setelah mulai perwaliannya berjalan yang harus dihadiri oleh wali pengawas
(Balai Harta Peninggalan). Hal-hal tersebut di atas adalah merupakan jaminan,
bahwa harta kekayaan si anak dapat pengurusan yang baik.
Selanjutnya hal-hal yang dapat dan
tidak dapat dilakukan adalah seperti berikut :
Pasal 389 : Wali harus
menjual semua perabotan rumah tangga, dan barang bergerak lainnya yang tidak
memberikan hasil, yang jatuh kepada si anak.
Pasal 390 : keharusan
menjual tadi tidak berlaku jika perwalian itu dilakukan si ayah atau si ibu
yang berhak atas hak petik hasil harta kekayaan si anak, untuk kemudian
memberikan barang itu kepada si anak.
Pasal 396 : wali untuk
kepentingan si anak tidak boleh meminjam uang, menjual atau menggadaikan barang
tak bergerak dari si anak, dan tidak boleh juga ia menjual surat berharga dan
piutang, kalau tidak dengan izin Pengadilan.
Pasal 395 : Di dalam
hal penjualan barang tak bergerak itu di izinkan oleh pengadilan maka penjual
itu harus dilakukan di muka umum.
Pasal 400 : Wali tidak
boleh menyewa atau mengambil dalam hak usaha (pacht) barang-barang si anak
untuk kepentingan diri sendiri tanpa izin Pengadilan.
Pasal 401 : Wali tidak
boleh menerima wrisan yang jatuh pada si anak, kecuali dengan hak istimewa akan
pendaftaran harta peninggalan
Dalam berakhirnya perwalian dapat
ditinjau dari dua segi, yaitu: ( dalam hubungan terhadap dengan keadaan anak;
dan (2) dalam hubungan dengan tugas wali.
1) Dalam
hubungan terhadap dengan keadaan anak
Dalam hubungan ini, perwalian akan
berakhir karena:
a)
Si anak yang di bawah perwalian
telah dewasa (meenderjarig)
b)
si anak (meenderjarig) meninggal
dunia
c)
timbulnya kembali kekuasaan orang
tuanya (ouderlijkkemacth) dan
d)
pengesahan seorang anak luar kawin.
2) Dalam
hubungan dengan tugas wali
Berkaitan dengan tugas wali, maka
perwalian akan berakhir karena:
a)
Wali meninggal dunia
b)
Dibebaskan atau dipecat dari
perwalian (ontzettng of ontheffing) dan
c)
Ada alasan pembebasan dan pemecatan
dari perwalian (Pasal 380 B.W).
Sedangkan syarat utama untuk dipecat
(otzet) sebagai wali, ialah karena disandarkan pada kepentingan minderjarige
itu sendiri.
Pada setiap perwaliannya, seorang
wali wajib mengadakan perhitungan tanggumg jawab penutup. Perhitungan ini
dilakukan dalam hal:
1. Perwalian
yang sama sekali dihentikan yaitu kepada minderjarige atau kepada ahli warisnya
2.
Perwalian yang dihentikan karena
diri (persoon) wali, yaitu kepada yang menggantinya dan
3. Minderjarige
yang sudah berada di bawah perwalian, kembali lagi berada di bawah
kekuasaan orang tua, yaitu kepada bapak atau ibu minderjarige itu (Pasal
409 B.W).
D.
Pengampuan
Dalam KUH Perdata (BW) ada
ketentuan-ketentuan tentang apa yang dinamakan “pengampuan” (“curatele”) yang
tentunya hanya berlaku bagi mereka yang tunduk pada KUH Perdata (BW).
Orang yang sudah dewasa
tetapi dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan,
sekalipun kadang-kadang ia cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa juga
boleh ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya. Setiap keluarga sedarah
berhak meminta pengampuan seorang keluarga sedarahnya berdasarkan atas
keadaannya: dungu, sakit otak atau mata gelap. Namun berdasarkan keborosannya,
pengampuan itu hannya boleh diminta ole para keluarga sedarahnya.
Akibat ditaruhnya seseorang di bawah
pengampuan, perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukannya setelah itu semuanya
batal demi hukum. Pengadilan akan mengangkat seorang pengampu, sedangkan
“pengampu pengawas” adalah Balai Harta Peninggalan.
Pengampuan berakhir apabila
sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang.
Acara pembebasan
dari pengampuan adalah sama dengan cara yang haru ditempuh sewaktu mengajukan
permohonan untuk menaruh orang itu di bawah pengampuan. Pembebasan dari
pengampuan itu juga harus dimuat dalam Berita Negara.
E.
Adopsi
Adopsi adalah pengangkatan anak oleh
seoarang dengan maksud untuk menganggapnya anak itu sebagai anaknya sendiri.
Didalam. BW hal yang demikian itu tidak mungkin, karena BW memandang suatu
perkawinan sebagai bentuk hidup bersama bukan untuk mengadakan keturunan.
Karena adopsi itu di kalangan bangsa Tionghoa suatu perbuatan hukum yang lazim
dilakukan, maka soal adopsi ini mendapat pengaturan sendiri yaitu dalam Stbld.
1917-129 Bab II.
Adapun hal-hal yang penting untuk diperhatikan ialah
seperti berikut: Adopsi dapat dilakukan oleh suami-istri bersama-sama (pasal
ayat 2). Kalau adopsi dilakukan oleh seorang duda, maka ia harus tidak
mempunyai keturunan di dalam garis laki-laki (pasal 5 ayat 1). Seorang janda
yang tidak kawin lagi dapat mengadakan adopsi. Jika dari suaminya yang telah
meninggal dunia ia tidak mempunyai keturunan laki-laki (pasal 5 ayat 3).
Orang yang diadopsi harus berumur
paling sedikit 18 tahun lebih muda dari lelaki dan 15 tahun lebih muda dari
perempuan bersuami atau janda yang melakukan adopsi (pasal 7 ayat 1). Jika yang
diadopsi itu seorang keluarga sedarah maka dengan diadakannya adopsi itu, anak
itu harus menduduki derajat keturunan yang sama terhadap leluhurnya yang sama (pasal
7 ayat 2) seperti belum diadopsi. Syarat-syarat untuk mengadakan adopsi adalah
seperti berikut (pasal 8) :
1. Persetujuan
yang melakukan adopsi
2.
Persetujuan orang tua atau ayah atau
ibu dari orang yang diadopsi
3.
Persetujuan dari orang yang
diadopsikan sendiri jika ia telah berusia 15 tahun
4. Jika adopsi
dilakukan oleh seorang janda maka perlu juga persetujuan dari saudara
lelaki yang dewasa dan ayah dari suami yang telah meninggal dunia, dan
jika orang-orang ini telah meninggal dunia atau tidak berada di Indonesia, maka
harus ada persetujuan dari keluarga laki-laki yang telah dewasa dari pancer
ayah suami yang telah meninggal dunia hingga derjat ke-4.
Adapun akibat dari adopsi adalah
sebagai berikut : Dengan adopsi, orang yang diadopsi itu, jika ia mempunyai
nama keluarga lain dari pada orang yang melakukan adopsi, ia harus memakai nama
keluarga (syeh) yang melakukan adopsi itu (pasal II).
Jika adopsi itu dilakukan oleh
suami-istri maka anak yang diadopsi itu dianggap lahir di dalam perkawinan
mereka, jika yang melakukan adopsi itu seorang duda, maka yang diadopsi itu
dianggap lahir di dalam perkawinan dengan istri yang telah meninggal.
Jika yang melakukan adopsi itu
seorang janda, maka orang yang diadopsi itu dianggap lahir di dalam perkawinan
dengan suami yang telah meninggal dunia (pasal 12).
Dengan adopsi, maka hubungan
keperdataan yang berdasarkan epada keturunan darah antara orang yang diadopsi
dengan orang tuanya atau keluarganya sedarah dan semenda terputus kecuali di
dalam hal :
1. Perderajatan
di dalam hubungan kekeluargaan sedarah atau semenda sebagai larangan untuk
kawin.
2.
Ketentuan-ketentuan di dalam bidang
hukum pidana yang berdasarkan keturunan sedarah; (tidak berlakunya pasal-pasal
KUHP jika yang melakukan kejahatan itu keluar sendiri. Juga di dalam hal
persaksian.
3.
Kompensasin ongkos perkara dan penggelan.
4.
Pembuktian dengan saksi;
(ketentuan-ketentun yang mengenai persaksian keluarga).
5. Persaksian
di dalam membuat akta otentik (pasal 14).
F.
Keadaan
tidak Hadir
Keadan tidak hadirnya seorang adalah
keadaan dimana seorang meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui
dimana orang itu berada. Di dalam keadaan seperti ini terdapat
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a)
Tindakan sementara
Pasal 413. Jika tidak ditinggalkan
suatu kuasa kepada seorang wakil untuk mewakilinya atau mengurusi kepentingannya,
dan jika ada alasan yang mendesak, maka atas permintaan yang berkepentingan,
atas tindakan jaksa, Pengadilan harus mamarintahkan kepada Balai Harta
Peninggalan untuk mewakilinya atau mengurusi kepentingan orang yang tidak hadir
itu.
b)
Peryataan tentang dugaan seorang telah meninggal dunia.
Jika seorang telah sekian lamanya
tidak hadir maka harus diperhatikan apakah ia meninggalkan surat kuasa
atau tidak. Kalau ia tidak meninggalkan surat kuasa, maka berlaku ketentuan
dalam pasal 467 yan menentukan bahwa, jika keadaan itu telah berlangsung 5
tahun maka atas permintaan yang berkepentingan ia dengan izin pengadilan
dipanggil untuk menghadap di muka pengadlan. Kalau orang itu tidak menghadap
maka pengadilan diulangi sampai 3 kali dengan antar waktu 3 bulan.
Pasal 468 : Jika atas
panggilan yang terakhir itu ia tidak menghadap, maka pengadilan boleh
menyatakan orang itu diduga telah meninggal dunia, sejak waktu ia meninggakan
tempat tinggalnya, atau kabar terakhir tentang keselamatanya.
Jika ada surat kuasa, maka menurut
pasal 470 waktu tidak hadir itu harus genap 10 tahun, agar supaya pengadilan
dapat mengadakan pernyataan dugaan telah meninggalnya seseorang.
Akibat dari pada pernyataan itu
adalah bahwa para ahli waris dapat tampilkemuka untuk menuntut haknya, tapi
dengan disertai jaminan agar supaya harta kekayaan berada di dalam pengutusan
yang baik.
Demikian ini untuk menghadapi
kemungkinan bahwa yang tidak hadir itu datang kembali. Harta warisan dapat
dibagi-bagi. Terhadap ini semua harus diadakan jaminan atau tanggungan yang
harus disahkan oleh pengadilan. Surat-surat wasiat dapat juga dibuka. Demikian
isi pasal 472.
Pasal 473 : Jika
tanggungan tiak dapat diberikan, maka harta-harta peninggalan harus duurus oleh
pihak ke 3.
Pasal474 : Terhadap
harta peninggalan itu para waris mempunyai hak petik hasil.
Pasal 476 : Jika yang
tak hadir pulang kembali, maka mereka yang telah menerima barang kekayaannya
dalam penguasaan atau pengurusan harus melakukan perhitungan, pertanggungan
jawab dan penyerahan kepada orang yang pulang kembali tadi.
Hukum
mempunyai kelakuan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan pada kaedah yang
lebih tinggi tingkatnya (ini di dasarkan pada teori “stufenbau nya elsen “.
Oleh karena efektifitas merupakan fakta (Kelsen dalam Soekanto, 1983: 35).
Suatu kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis jikalau kaedah tersebut terbentuk
menurut cara yang telah ditetapkan (Zevenbergen dalam Soekanto, 1983: 35).

PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahawa hukum keluarga itu diartikan sebagai keseluruhan ketentuan
yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan
kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian,
pengampuan, keadaan tak hadir).
Keluarga adalah miniatur terkecil
dari masyarakat luas. Sehingga dalam hal ini, diharapkan pemerintah dapat
memberikan perhatian penuh terkait dengan permasalahan-permasalahan keluarga
yang mana permasalahn itu dapat berpotensi mendatangkan konflik pisik yang
melayangkan jiwa.
Setiap manusia ingin sejahtera dalam
kehidupan masyarakat, dan hal ini bisa terwujud apabila antara keluarga
(masyarakat) bersinerjitas dengan pemerintah (negara). Demi terwujudnya
masyarakat madani, sebagaimana konsep pancasila sebagai ideologi bangsa dan
negara Indonesia.
B.
Saran
Demikianlah
makalah yang dapat saya sampaikan, saya sadar makalah ini masih kurang dari
kesempurnaan, jika ada kesalahan dan kekurangan, itu dikarenakan keterbatasan
pengetahuan saya. Maka dari itu, kritik dan saran sangat saya butuhkan demi
kesempurnaan isi makalah ini, semoga bermanfaat bagi kita semua Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Afandi, Ali,
1997. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Azhary, 2004. Teori-Hukum. Medan: Pustaka Press Bangsa.
Erwin, 2011. Supremasi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Komaruddin dan Azyumardi, 2008. Teori-Hukum .Jakarta:
Sinar Grafika
Salim H.S. 2006. Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta: Sinar
Grafika.
Subekti R. 1990. Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Jakarta: PT
Intermasa.
Tutik, Titik
Triwulan. 2008. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta:
Kencana.
Muchsan,
2000, Supremasi Hukum Dalam Negara Hukum,
disampaikan pada KULIAH PERDANA program Magister Hukum Bisnis dan Hukum
Kenegaraan, Yogyakarta:Program Magister Hukum Pasca Sarjana UGM.
Sugeng
Istanto. Supremasi Hukum Dalam Sistem
Pemerintahan Negara Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta : Justitia Et
Pax.
Soeroso. 2009. Upaya Meningkatkan Supremasi Hukum. Jakarta : Justitia Et
Pax.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar