Sabtu, 09 April 2016

PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA


Oleh: Sam'un Mukramin
          Suardi
           Muh. Reski Salemuddin

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap manusia dilahirkan atas dasar persamaan hak dan kewajiban. Tidak ada pembeda manusia yang satu dengan yang lain. Semua sama meskipun dari suku yang berbeda. Semua manusia juga memiliki persamaan hak dalam berpendapat dan persamaan di mata hukum yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Semua sudah diatur sedemikian rupa dalam hukum tertulis mapun tidak tertulis.  Hukum seharusnya menjadi pedoman bagi setiap manusia yang ada di Indonesia tampa mengenal status maupun kedudukan manusia dalam masyarakat, dan pelaksanan penegakan hukum tidak memihak pada suatu golongan tertentu. Karena pada hakikatnya hukum diciptakan untuk menjaga kemaslahatan hidup bersama.
Oval: 1Suatu negara yang dalam berkehidupan bernegara, berpemerintahan, dan bermasyarakat, selalu mengacu kepada hukum yang berlaku sebagai pedomannya. Oleh karena itu hukum bertujuan untuk mengatur hubungan antara negara atau masyarakat dengan warganya dan hubungan antar manusia, agar supaya kehidupan di dalam masyarakat berjalan dengan lancar dan tertib dan melindungi kepentingan manusia atau masyarakat, karena dimana-mana bahaya selalu mengancamnya sejak dulu sampai sekarang, baik secara makro maupun secara mikro tampa membedakan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain.
Hukum pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan ketertiban, kepastian hukum serta rasa keadilan dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa mendapatkan pengayoman dan perlindungan akan hak-haknya tampa memandang suatu golongan tertentu.
Akan tetapi pada kenyataannya hak-hak kebebasan dan persamaan di mata hukum itu sendiri tidak pernah terwujud di Indonesia, hokum seakan hanya memihak pada suatu golongan tertentu seperti penguasa dan orang-orang kaya karena adanya penyalah gunaan wewenang dalam hukum. Terbukti, sejak Orde Lama hukum itu telah dimanipulasi untuk kepentingan politik sesaat sang “pemimpin Besar Revolusi”, karena politik di era Orde Lama merupakan panglima. Orde Baru mengembangkan hukum untuk mendukung pembangunan ekonomi, sehingga hukum dimanipulasi untuk mengembangkan pembangunan yang di sana-sini hukum menjadi bersifat represif, melanggar hak-hak asasi masyarakat yang ujung-ujungnya untuk memberi legitimasi apa yang disebut sebagai KKN dan kroniisme. Hukum menjadi hukumnya penguasa, yaitu penguasa tunggal yang mengatasnamakan dirinya sebagai mandataris MPR dan menjadikan hukum telah kehilangan dimensi etisnya. Sedangkan pada era reformasi sekarang ini, hukum bukan lagi dijadikan sarana untuk membela atau menegakkan kebenaran dan keadilan, melainkan hukum sudah dijadikan komoditi untuk dipertukarkan sebagai alat pembayaran guna membeli hal-hal yang justru untuk menentang kebenaran dan keadilan itu sendiri.
Sehingga hukum sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya akibat dari penyalagunan wewenan dan jabatan yang dilakukan oleh para aparat penegak sehingga hukum akan jauh dari yang masyarakat harapakn. Dari masalah tersebut diatas maka kami berinisitif untuk mengangkat sebuah judul makalah dengan judul “penegakan supremasi hukum di Indonesia”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah
1.    Apakah pengertian hukum ?
2.    Bagaimana penegakan supremasi hukum Negara Indonesia?
3.    Bagaimanakah problematika hokum di Indonesia ?
4.    Bagaimanakh solusi dari penegakan hokum di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui apakah pengertian hukum ?
2.    Untuk mengetahui bagaimana penegakan supremasi hukum Negara Indonesia?
3.    Untuk mengetahui bagaimanakah problematika hokum di Indonesia ?
4.    Untuk mengetahui bagaimanakh solusi dari penegakan hokum di Indonesia?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih.
Hukum memiliki beberapa pengertian atau definisi dari hukum, antara lain:
1.  Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah;
2.  Undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat;
3.  Patokan (kaidah,ketentuan) mengenai peristiwa (alam, dsb) yang tertentu;
4.  Oval: 4Keputusan (pertimbangan) yang diterapkan oleh hakim (di pengadilan); vonis.
Hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat (Van Kan dalam Soeroso, 2009: 27). sedangkan Borst dalam Soeroso, (2009: 27) mengatakan hukum ialah keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat, yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau keadilan
Jadi, kebijakan penegakan hukum adalah usaha-usaha yang diambil oleh pemerintah atau suatu otoritas untuk menjamin tercapainya rasa keadilan dan ketertiban dalam masyarakat dengan menggunakan beberapa perangkat atau alat kekuasaan negara baik dalam bentuk Undang-undang, sampai pada para penegak hukum antara lain polisi, hakim, jaksa, serta pengacara.
Bangsa yang beradab adalah bangsa yang menjalankan fungsi hukumnya secara merdeka dan bermartabat (Erwin, 2011: 132). Merdeka dan bermartabat berarti dalam penegakan hukum wajib berpihak pada keadilan, yaitu keadilan untuk semua (Erwin, 2011:132). Sebab apabila penegakan hukum dapat mengaplikasikan nilai keadilan, tentulah penerapan fungsi hukum tersebut dilakukan dengan cara-cara berpikir yang filosofis (Erwin, 2011:132).
Penegakan hukum yang dilakukan dengan nilai-nilai filosofis , pada hakikatnya yang merupakan penegakan hukum yang menerapkan nilai-nilai (Erwin, 2011:133) yakni sebagai berikut:
1.  Nilai kesamaan, yang berarti bahwa kesamaan itu hanya sama dengan sama.
2.  Nilai kebenaran, yang berarti bahwa kebenaran itu benar dengan benar.
3.  Nilai kemerdekaan, yang berarti bahwa sesuatu hal itu hanya merdeka dengan merdeka.
Refleksi keadilan pada penegakan hukum tersebut senantiasa pula dtitikberatkan untuk mengejar kebenaran. Dan semuanya itu berpulang pada setiap yang berada pada struktur hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan aparatur penegak hukum yang dapat bertanggung jawab, baik kepada suara hatinya, maupun kepada masyarakat, dan Tuhan. Dengan sikap yang bertanggung jawab, tidak sulit bagi hukum untuk memberi keadilan, kepantasan dan kemanfaatan (Erwin, 2011:133).
“Berikanlah kepada saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang paling buruk pun, saya akan menghasilkan putusan yang adil” (Taverne dalam Erwin, 2011:133). Penegakan hukum selalu atas nama negara (Ali dalam Erwin, 2011:133). Penegakan hukum diyakini untuk menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat. Jaminan yang harus ada agar nilai-nilai dan asas-asas dari penegakan hukum dapat diterapkan fungsinya yakni harus ada pengawasan terhadap kemungkinan penegak hukum menyalahgunakan kekuasaannya, selain itu harus pula ada jaminan perlindungan agar penegak hukum dapat secara bebas, tanpa rasa takut melaksanakan nilai-nilai dan asas-asas penegakan hukum (Erwin, 2011:133)
Dalam pasal 27 UUD 1945 dengan jelas tercantum: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Rumusan tersebut mengandung makna bahwa semua warga negara Republik Indonesia memiliki persamaan hukum dan hak-hak yang sama di hadapan pemerintah. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak boleh ada yang dinamakan diskriminasi terhadap warga negara. Bahkan tafsiran tersebut juga menyangkut prinsip persamaan itu berlaku bagi siapa saja, apakah ia seorang warga negara atau bukan, selama mereka adalah penduduk Negara Republik Indonesia
Asas penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintahan yang professional harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hukum dan penegakannya secara konsekuen, pertisipasi publik dapat berubah menjadi tindakan publik yang anarkis. Publik membutuhkan ketegasan dan kepastian hukum. Tanpa kepastian dan aturan hukum, proses politik tidak akan berjalan dan tertata dengan baik.

B. Supremasi Hukum di Indonesia
Supremasi berasal dari bahasa Inggris “supreme” yang berarti “highest in degree”, yang dapat diterjemahkan “mempunyai derajat tinggi”. Dengan demikian, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, hukum harus berada di tempat yang paling tinggi, hukum juga dapat mengatasi kekuasaan lain termasuk kekuasaan politik. Dengan kata lain, negara yang dapat dikatakan telah mewujudkan Supremasi Hukum adalah negara yang sudah mampu menempatkan hukum sebagai panglima, bukannya hukum yang hanya menjadi “pengikut setia kekuasaan” dan kepentingan politik tertentu yang jauh dari kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Supremasi hukum dalam pengertian itu dapat dimaknai bahwa asas legalitas merupakan landasan yang terpenting di dalam setiap tindakan, baik itu dilakukan oleh individu maupun kelompok. Puncak legalisme ini dapat dicermati pada pendapat yang menyatakan bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi adalah hukum
Istilah supremasi hukum juga dikenal dengan istilah “the rule of law” yang diartikan sebagai pemerintah oleh hukum, bukan oleh manusia, bukan hukumnya yang memerintah, karena hukum itu hanyalah keadah atau pedoman dan sekaligus sarana atau alat, tetapi ada manusia yang harus menjalankannya secara konsisten berdasarkan hukum, dan tidak sekehendak atau sewenang-wenang. Hukum itu diciptakan atau direkayasa oleh manusia, terutama hukum tertulis. Setelah hukum itu tercipta maka manusia harus tunduk pada hukum. Hukum harus mempunyai kekuasaan tertinggi demi kepentingan manusia itu sendiri, tetapi sebaliknya manusia tidak boleh diperbudak oleh hukum. “Governance not by man but by law” berarti bahwa tindakan-tindakan resmi (pemerintah) pada tingkat teratas sekalipun harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum. Jadi, supremasi hukum atau rule of law merupakan konsep yang menjadi tanggungjawab ahli hukum untuk melaksanakan dan yang harus dikerjakan tidak hanya melindungi dan mengembangkan hak-hak perdata dan politik perorangan dalam masyarakat bebas, tetapi untuk menyelenggarakan dan membina kondisi sosial, ekonomi, pendidikan, dan kultural yang dapat mewujudkan aspirasi rakyat. Supremasi hukum atau Rule of law dimaksudkan bahwa hukumlah yang berkuasa. Pengekangan kekuasaan oleh hukum merupakan unsur esensial yang kebal terhadap kecaman.
Dalam tradisi liberal dikatakan bahwa kebebasan sipil dan hak-hak sipil (yang mencakup kebebasan berpikir dan berpendapat, kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan beragama, serta kebebasan pers) akan sangat sulit diwujudkan jika hukum di sebuah negara tidak diberlakukan secara tegas dan pada semua orang, termasuk pejabat pemerintah. Dengan kata lain, supremasi hukum (rule of law) merupakan unsur utama yang mendasari terciptanya masyarakat yang demokratis dan adil.
Masyarakat kita yang dewasa ini sedang mengalami dekadensi dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga menuntut adanya reorientasi dalam pembinaan dan pengembangan hukum, tidak saja bila diinginkan agar hukum memiliki supremasinya.
Oleh karena itu, dalam penegakkan Supremasi Hukum memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.  Hukum harus dapat berperan sebagai panglima. Ini berarti dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat Law Enforcement harus dapat diwujudkan dalam Law Enforcement ini tidak ada kamus kebal hukum.
2.  Hukum harus dapat berfungsi sebagai Center Of Action. Semua perbuatan hukum, baik yang dilakukan oleh penguasa maupun individu harus dapat dikembalikan kepada hukum yang berlaku. Hukum harus mampu berperan sebagai sentral, bukan hanya sebagai instrumental yang fungsinya melegitimasi semua kebijakan pemerintah.
3.  Berlakunya asas semua orang didepan hukum (Equalty Before The Law). Untuk menegakkan Supremasi Hukum dengan ciri-ciri tersebut diperlukan pilar-pilar penyangganya. Semakin kokoh pilar-pilar ini semakin tegak Supremasi Hukum, dan sebaliknya semakin lemah pilar-pilar tersebut semakin rapuh Supremasi Hukum. (F. Sugeng Istanto)
Penegakan hukum (law enforcement) adalah sebuah masalah yang hampir di hadapi oleh setiap negara di dunia, khususnya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia yang mempunyai banyak permasalahan hukum baik kualifikasinya maupun modus operasinya. Hukum pada hakekatnya sebagai sarana untuk mencapai apa yang dinamakan keadilan.
Tidak semua negara yang baru merdeka menegaskan secara eksplisit bahwa negara tersebut ingin membangun suatu tata hukum yang baru. Ini berarti tata hukum yang lama ditinggalkan. Bangsa Indonesia termasuk ke dalam negara baru yang menyatakan ketegasan tersebut sebagaimana dapat dibaca pada Pembukaan UUD 1945. Tata hukum yang baru tersebut didasarkan pada landasan kerokhanian Pancasila, maka tata hukum dapat disebut sebagai Sistem Hukum Pancasila. 
Penegakan hukum di Indonesia harus mampu membawa bangsa ini menuju bangsa yang adil, tidak ada yang dinamakan ketimpangan hukum. Seluruh pihak terutama para penegak hukum, serta para pengambil kebijakan dapat dengan bijak menyikapi berbagai kasus hukum yang terjadi di sekitar mereka. Dibutuhkan pula kepekaan para penegak hukum terkait dengan semakin banyaknya kasus pelanggaran hukum yang tersaji. Hal ini perlu di dorong oleh political will serta political action yang mesti diambil oleh para stakeholders atau pemerintah kita sebagai titik awal menjalankan hukum yang adil bagi segenap bangsa Indonesia, dan mereka juga merupakan pioneer yang bertanggung jawab apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum.
Pembuatan suatu peraturan pada hakekatnya adalah suatu langkah pertama dari keseluruhan “aksi yang direncanakan” yang ditujukan untuk mencapai sasaran tertentu. Peraturan tersebut dapat dilihat sebagai suatu kerangka bagi aksi yang direncanakan tersebut yang seyogyanya juga mensyaratkan dipenuhinya berbagai fasilitas yang dibutuhkan. Faktor berikutnya, yaitu manusia-manusia yang berhubungan dengan pelaksanaan hukum, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum. Keberhasilannya untuk menjalankan kerangka yang dibuat oleh peraturan menentukan apakah tujuan yang hendak dicapai oleh hukum terlaksana. Apabila sistem hukum dikehendaki untuk bersifat proaktif, maka aktivitas yang dituntut dari penegak hukum menjadi lebih tinggi lagi.
Kebijakan lain yang perlu dijalankan untuk menjamin penyelesaiaan kasus hukum yang adil yakni masyarakat hendaknya menjadi orang-orang yang tertib hukum sehingga hubungan antara penegak hukum itu sendiri tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan di dalamnya. Semua elemen bangsa hendaknya menggunakan nurani, naluri, serta nalari terhadap penafsiran yang mereka buat terhadap berbagai situasi dan kondisi.
Untuk dapat menemukan hukum yang benar dan tepat serta dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa hakim harus melihat kesadaran hukum masyarakat setempat, baik melalui kaca mata ilmu hukum dengan segala cabang-cabangnya maupun melalui hukum agama yang dianut oleh para pihak. Dengan demikian, hukum yang ditemukan benar-benar merupakan pencerminan dari sistem sosial dan budaya hukum yang hidup dalam masyarakat, dan putusan hakim pun akan dapat menyentuh rasa keadilan yang didambakan.
Telah menjadi kodratnya bahwa manusia itu ingin hidup bersama dalam masyarakat. berdasarkan kesadaran etis, manusia tidak hanya menuntut hak dan lupa menjalankan kewajiban, tetapi kedua-duanya dituntut secara seimbang. Itulah keadilan sosial. Sifat-sifat inilah yang harus dibangkitkan dan dikembangkan oleh hakim dalam rangka penyelesaian sengketa. Segenap bangsa Indonesia harus saling bekerjasama untuk mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang adil, dan segenap elemen bangsa sadar akan tanggung jawab yang mereka miliki dan senantiasa mengakui kesalahannya apabila merasa berbuat salah.
Dalam pelaksanaan kebijakan penegakan hukum, hakim harus menyadari bahwa para pihak yang menghadap adalah manusia. Oleh sebab itu hakim harus menghadapinya secara manusiawi dengan menerapkan asas manusiawi. Sebagai manusia hakim harus memberikan pelayanan secara adil dan manusiawi, serta dapat memberikan pelayanan yang simpatik dan memberikan bantuan sesuai dengan apa yang diperlukan agar sengketa mereka dapat diselesaikan dengan tuntas dan final.

C. Problematika Penegakan Hukum di Indonesia
Pengaruh politik yang merambah pada pelaksanaan fungsi peradilan terjadi pada berbagai tingkatan pengaruh sejumlah negara dengan pemerintahan yang otoriter. Pengaruh kekuasaan pemerintahan tersebut terutama muncul dalam hal proses peradilan bersinggungan dengan kepentingan pemerintah atau kepentingan penguasa. Pengaruh pemerintah dapat berbentuk intervensi langsung terhadap proses peradilan dengan cara memberitahu hakim agar membuat putusan yang menguntungkan pemerintah atau mencegah eksekusi putusan pengadilan. Pengaruh pemerintah terhadap peradilan juga dapat dilakukan melalui pembuatan undang-undang tentang kekuasaan kehakiman, yang menempatkan sedemikian rupa posisi lembaga peradilan di bawah pengaruh pemerintah atau ketergantungan kepada pemerintah.
Banyak faktor yang menyebabkan sulitnya penegakan hukum di Indonesia, yakni di antaranya:
1.  Pertama, political will dan political action para pemimpin negara untuk secara bersama-sama menjalankan hukum yang adil dan dapat menjamin hak setiap warga negara masih kurang dimiliki oleh pemimpin bangsa ini.
2.  Kedua, yakni berbagai undang-undang yang dibuat yang notabene-nya adalah representatif dari hukum hanya mengutamakan kepentingan penguasa.
3.  Ketiga, integritas yang dimiliki oleh setiap individu di negara Indonesia dapat dikatakan masih rendah apabila dibandingkan beberapa negara-negara di Asia seperti Jepang, serta Malaysia. Selain itu tingkat kredibilitas serta profesionalisme yang dimiliki oleh bangsa ini masih sangat rendah buktinya dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi kesalahan yang disebabkan ketidak patuhan terhadap suatu aturan.
4.  Keempat, tidak dapat kita pungkiri sarana serta prasarana yang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk menegakkan hukum yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia masih sangat kurang sehingga pelaksanaannya pun belum maksimal.
5.  Kelima. Budaya hukum yang dimiliki oleh bangsa Indonesia masih sangat rendah buktinya sebagian besar masyarakat apabila menghadapi suatu perkara, sudah jelas salah masih terus menyembunyikan kesalahan mereka. Keenam, yakni adanya paradigma yang salah dari masyarakat terhadap hukum. Serta yang ketujuh, berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau (stakeholders) masih dilaksanakan secara parsial dan hanya menguntungkan beberapa pihak saja.
Akhir-akhir ini banyak isu yang sedang hangat-hangat di perbincangkan salah satunya adalah permasalahan korupsi. Kasus ini seakan sudah menjadi tradisi yang mendarah daging di bangsa ini. Penyakit korupsi melanda seluruh lapisan masyarakat bahkan yang menjadi perhatian saat ini adalah para aparat yang seharusnya menjadi penegak dalam kasus ini juga ikut terkait di dalamnya. Salah satu lembaga yang menjadi perhatian adalah lembaga peradilan. Salah satu contoh lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah :
1.  Kasus Arthalyta Suryani, yang menempati ruang tahanan yang terbilang mewah dari tahanan yang lain karena lengkap dengan fasilitasnya
2.  Kasus nenek Minah yang divonis 1,5 bulan penjara karena mencuri tiga buah kakao
3.  Kasus tilang  polisi lalu lintas, ada beberapa oknum polisi yang mau atau bahkan terkadang minta suap
4.  Kasus Gayus Tambunan yang bisa keluar masuk penjara
Persamaan di hadapan hukum yang selama ini di kampanyekan oleh pemerintah nyatanya tidak berjalan dengan efektif. Hukum yang berlaku sekarang di Indonesia seakan-akan berpihak kepada segelintir orang saja. Supremasi hukum di Indonesia masih harus diperbaiki untuk mendapat kepercayaan masyarakat dan dunia internasional tentunya terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Namun, keadaan yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Hukum seakan tajam kebawah namun tumpul keatas. Ini terbukti dengan banyaknya kasus yang terjadi,
Sebenarnya apa yang terjadi dengan lembaga penegak hukum kita, sehingga justice for all berubah menjadi justice not for all. Hukum di negara kita ini seakan tidak memperlihatkan cerminan terhadap kesamaan di depan hukum yang merata kepada semua lapisan masyarakat tetapi terkesan tajam kebawah kepada rakyat miskin tetapi tumpul keatas terhadap mereka yang mempunyai uang. Berbagai kasus terkait dengan penegakan hukum di Indonesia yang sangat memprihatinkan menjadi cambuk atau pukulan telak serta menjadi potret buram bagi kita semua sebagai satu kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini menjadi ironi tersendiri bagi kita.
Di Indonesia sendiri hukum dibuat berlandaskan Pancasila serta UUD 1945. Dalam penegakkan hukum di Indonesia memang terjadi beberapa masalah seperti ketidakmampuan suatu lembaga keadilan dalam memberikan keadilan itu sendiri bagi masyarakat. Keadilan dianggap suatu yang sulit untuk didapatkan terutama bagi masyarakat kelas bawah yang sekiranya merupakan golongan yang tidak mampu dalam segi materi. Sekiranya kita dapat melihat fakta yang terjadi di lapangan dengan berbagai macam kasus yang ada dan melibatkan masyarakat kelas bawah.
Para penegak hukum antara lain hakim, jaksa, polisi, advokat dan penasihat hukum. Di tangan merekalah terletak suatu beban kewajiban untuk mengimplementasikan suatu prinsip keadilan sebagaimana yang tercantum dalam sila kedua secara optimal dan maksimal. Namun , hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Banyak kasus penegakan hukum yang tidak berjalan semestinya. Banyak keganjalan yang terjadi didalam penegakan hukum itu seperti dengan mudahnya seseorang yang mempunyai uang mendapatkan fasilitas di ruang tahanan atau ada beberapa kasus yang sangat mengganjal keputusan yang di putuskan seperti kasus pencurian sandal diatas.
Hal tersebut menyebabkan bahwa suatu hukum di Indonesia walaupun dibuat dengan berlandaskan pancasila serta UUD 1945 namun dalam pelaksanaannya tidak ada jiwa pancasila yang melekat dalam setiap penegak hukum serta pemerintah Indonesia. Dengan melemahnya hukum di Indonesia tentu sedikit demi sedikit maka keadilan di Indonesia akan terkikis dengan adanya sikap pemerintah yang seakan hanya mementingkan dirinya sendiri, jabatan dan kekuasaan politik bagi diri dan partainya
Orang dapat menganggap lain atas istilah krisis penegakan hukum itu dan memberi tekanan kepada faktor – faktor yang telah menentukan isis sesungguhnya dari hukum. Namun untuk mencapai supremasi hukum yang kita harapkan bukan faktor hukum saja, namun faktor aparat penegak hukum juga sangat berpengaruh dalam penegakan supremasi hukum di indonesia. Orang mulai tidak percaya terhadap hukum dan proses hukum ketika hukum itu sendiri masih belum bisa memberikan perlindungan terhadap masyarakat.

D. Solusi Probematika penegakan hukum di indonesia
Hukum bukan sekedar tameng yang diguakan untuk bersembunyi. Tapi, hukum itu sendiri adalah sebuah norma yang harus dipatuhi dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuannya. Selain itu, sebagai warga Negara juga harus melakukan pengendalian terhadap hukum itu sendiri, bukan sebagai penonton, tetapi juga sebagai pelaku dalam hukum, tidak peduli ia masyarakat menengah kebawah, keatas, anak-anak, mahasiswa, dan segenap aspek dn lapisan masyarakat juga harus mengerti tentang hukum dan menjunjung tinggi nilai hukum. Jadi, perlunya sosialisasi dan pemberian pengertian dari pemerintah agar masyarakat mengerti hukum. Selain itu juga sebagai warga Negara, haruslah pandai-pandai memilih perwakilan di dalam kelembagaan Negara. Warga Negara tidak memandang dari segi apapun dalam memilih wakil rakyat. Tapi haruslah dengan hati nurani dan dipercaya. Tidak peduli ia kaya atau tidak, tampan dan sebagainya, tapi ia mengerti hukum dan menjung tinggi nilai-nilai yang ada dalam hukum itu sendiri.
Perubahan dalam supremasi hukum, harus dimulai dari diri sendiri. Begitu juga denga pemerintah. Pemerintah harus tegas dalam menegakkan keadilan dan kesetaraan dimata hukum. Tidak pandang bulu dalam mengatasi masalah. Harus ada control yang jelas dari pemerintah kepada para penegak hukum dan aparatur Negara. Bukan hanya di dalam pemerintahan pusat saja, tapi juga di dalam pemerintahan yang dalam arti luas.
Lembaga peradilan, sebagai penegak hukum, harus melaksanakan tugasnya dengan baik. Adili dengan seadil-adilnya. Tidak ada pengadilan secara sepihak. Tegas dalam mengambil suatu keputusan dan mampu memberikan pelayananan yang baik kepada masyarakat. Dalam mengambil keputusan juga harus benar-benar dengan kebijaksanaan yang tinggi.
Sebagai mahasiswa, upaya yang dapat dilakukan dalam penegakan hukum di negeri ini adalah dengan giat dan gemar dalam sosialisasi hukum di dalam masyarakat. Sebagai control kepada pemerintah, karena kita tahu bahwa, mahasiswa adalah sebagai agen perubahan. Sehingga diharapkan dari mahasiswa sendiri dapat menjadi sebagai pembawa perubahan di Indonesia.
Kurangnya loyalnya para penegak hukum terhadap negara yang menimbulkan masalah yang belum bisa diselesaikan dengan tuntas.  
Sistem hukum modern berdiri diatas semua golongan dan karena itu bersifat kompromistis. Hukum modern menjaga agar semua kepentingan dapat berinteraksi satu sama lain secara baik dan produktif
Para penegak hukum antara lain hakim, jaksa, polisi, advokat dan penasihat hukum. Di tangan merekalah terletak suatu beban kewajiban untuk mengimplementasikan suatu prinsip keadilan sebagaimana yang tercantum dalam sila kedua secara optimal dan maksimal (Azhary, 2004: 205).
Untuk menegakkan supermasi hukum maka perlu memperhatikan tiga komponen utama menurut Lm. Friedman yaitu:
1.    Substansi Hukum: Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living l­aw), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books).hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tidak ada suatu perbuatan pidana yang dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya”. Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.
2.    Struktur Hukum: Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas). Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang menyatakan “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.
3.    Budaya Hukum: Kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
Baik substansi hukum, struktur hukum  maupun budaya hukum saling keterkaitan antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Dalam pelaksanaannya diantara ketiganya harus tercipta hubungan yang saling mendukung agar tercipta pola hidup aman, tertib, tentram dan damai.
Realisasi wujud good and clean governance, harus diimbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum yang mengandung unsur-unsur (Komaruddin dan Azyumardi, 2008: 162)  sebagai berikut:
1.  Supremasi hukum (supremacy of law), yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaannya secara benar serta independen. Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindakan pemerintah atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan pada kewenangan yang dimilikinya).
2.  Kepastian hukum (legal certainty), bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
3.  Hukum yang responsif, yakni aturan-aturan hukum yang disusun berdasarkan aspirasi masyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara adil.
4.  Penegakan hukum yang konsisten dan non diskriminatif, yakni penegakan hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Untuk itu, diperlukan penegak hukum yang memiliki integritas moral dan bertanggung jawab terhadap kebenaran hukum.
5.  Independensi peradilan, yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh penguasa atau kekuatan lainnya.
Hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatnya (ini di dasarkan pada teori “stufenbau nya elsen “. Oleh karena efektifitas merupakan fakta (Kelsen dalam Soekanto, 1983: 35). Suatu kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis jikalau kaedah tersebut terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan (Zevenbergen dalam Soekanto, 1983: 35).
Salah satu yang menjadi masalah penegakan hukum di negara kita yakni penyelesaian masalah korupsi. Pada hakikatnya korupsi tidak dapat ditangkal hanya dengan satu cara. Penanggulangan korupsi harsu dilakukan dengan pendekatan komprehensif, sistemis, dan terus-menerus. Penanggulangan tindakan korupsi dapat dilakukan (Komaruddin dan Azyumardi, 2008:168-169) antara lain dengan:
1.    Adanya politic will dan politic action dari pejabat negara dan pimpinan lembaga pemerintah pada setiap satuan kerja organisasi untuk melakukan langkah proaktif pencegahan dan pemberantasan perilaku dan tindak pidana korupsi. Tanpa kemauan kuat pemerintah untuk memberantas korupsi di segala lini pemerintahan, kampanye pemberantasan korupsi hanya slogan kosong belaka.
2.    Penegakan hukum secara tegas dan berat. Proses eksekusi mati bagi koruptor China, misalnya telah membuat sejumlah pejabat tinggi dan pengusaha di negeri itu menjadi jera untuk melakukan tindak korupsi. Hal yang sama terjadi pula di negara-negara maju di Asia, seperti Korea Selatan, Singapura, dan Jepang termasuk negara yang tidak kenal kompromi dengan pelaku korupsi. Tindakan tersebut merupakan shock therapy untuk membuat tindakan korupsi berhenti.
3.    Membangun lembaga-lembaga yang mendukung upaya pencegahan korupsi, misalnya Komisi Ombudsman sebagai lembaga yang memeriksa pengaduan pelayanan administrasi publik yang buruk. Pada beberapa negara, mandat Ombudsman mencakup pemeriksaan dan inpeksi atas sistem administrasi pemerintah dalam hal kemampuannya mencegah tindakan korupsi aparat birokrasi. Di Indonesia telah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tim Penuntasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor) dengan tugas melakukan investigasi individu dan lembaga, khususnya aparatur di pemerintah yang melakukan korupsi. Selain lembaga bentukan pemerintah, masyarakat juga membentuk lembaga yang mengemban misi tersebut, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan lembaga sejenis.
4.    Membangun mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menjamin terlaksananya praktik good and clean governance, baik di sektor pemerintah, swasta, atau organisasi kemasyarakatan.
5.    Memberikan pendidikan antikorupsi, baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Dalam pendidikan formal, sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi diajarkan bahwa nilai korupsi adalah bentuk lain dari kejahatan.
6.    Gerakan agama antikorupsi, yaitu gerakan membangun kesadaran keagamaan dan mengembangkan spiritual antikorupsi.
Secara filosofis, hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi, misalnya Pancasila, masyarakat yang adil dan makmur, dan seterusnya (Soekanto, 1983: 36). Ada empat faktor agar hukum dapat berfungsi dengan baik diperlukan keserasian dari kempat tersebut yakni:
1.    Hukum atau aturan itu sendiri
2.    Metalitas petugas yang menegakkan hokum
3.    Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hokum
4.    Kesadaran hukum, kepatuhan hukum dan perilaku warga masyarakat. (Logemann dalam Soekanto, 1983: 36)
Maka kalau kita ingin melihat reformasi berhasil dan hukum kembali menjadi tumpuan harapan kita, dengan menegakkan supermasi hukum sebaiknya memperhatikan segala aspek kehidupan karena masalah hukum adalah masalah yang komleks adanya dan akan membutuhkan solusi yang kompleks pula.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum diciptakan untuk mengatur segala aktivitas manusia dan sebagai pedoman untuk menjalin hubungan dengan manusia yang lain dan juga sebagai control sosial yang berlaku kepada seluruh ummat manusia demi terciptanya ketentraman dan keadilan bersama didalam masyarakat.
Untuk mencapai hal tersebut diperlukan penegakan supermasi hukum yang konsisten dengan memperhatikan hakikat hukum, struktur hukum dan budaya hukum dalam masyarakat.
B.  Saran
Dalam penegakan supremasi hukum di Indonesia, perlu adanya tatanan hukum yang baik guna menegakkan hukum demi keadilan dan kesetaraan di mata hukum sesuai dengan undang-undang. Yang melibatkan semua elemen seperti pemerintah, penegak hukum, masyarakat dan mahasiswa.


 
DAFTAR PUSTAKA

Azhary, 2004. teori-hukum. Medan: Pustaka Press Bangsa

Erwin, 2011. supremasi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika

Komaruddin dan Azyumardi, 2008. teori-hukum .Jakarta: Sinar Grafika

Muchsan, 2000, Supremasi Hukum Dalam Negara Hukum, disampaikan pada KULIAH PERDANA program Magister Hukum Bisnis dan Hukum Kenegaraan, Yogyakarta:Program Magister Hukum Pasca Sarjana UGM.

Sugeng Istanto. Supremasi Hukum Dalam Sistem Pemerintahan Negara Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta : Justitia Et Pax.

Soeroso. 2009. Upaya Meningkatkan Supremasi Hukum. Jakarta : Justitia Et Pax.




 

Tidak ada komentar: