Oleh: Sam'un Mukramin
Suardi
Muh. Reski Salemuddin
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia dilahirkan atas dasar
persamaan hak dan kewajiban. Tidak ada pembeda manusia yang satu dengan yang
lain. Semua sama meskipun dari suku yang berbeda. Semua manusia juga memiliki persamaan hak dalam berpendapat dan
persamaan di mata hukum yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia. Semua sudah diatur sedemikian rupa dalam hukum tertulis mapun tidak
tertulis. Hukum seharusnya menjadi pedoman bagi setiap
manusia yang ada di Indonesia tampa mengenal status maupun kedudukan manusia
dalam masyarakat, dan pelaksanan penegakan hukum tidak memihak pada suatu
golongan tertentu. Karena pada hakikatnya hukum diciptakan untuk menjaga
kemaslahatan hidup bersama.

Hukum pada dasarnya
bertujuan untuk meningkatkan ketertiban, kepastian hukum serta rasa keadilan
dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa mendapatkan pengayoman dan
perlindungan akan hak-haknya tampa memandang suatu
golongan tertentu.
Akan tetapi pada kenyataannya hak-hak kebebasan dan persamaan di mata hukum itu
sendiri tidak pernah terwujud di Indonesia, hokum
seakan hanya memihak pada suatu golongan tertentu seperti penguasa dan
orang-orang kaya karena adanya penyalah gunaan wewenang dalam hukum. Terbukti, sejak Orde Lama hukum itu telah dimanipulasi
untuk kepentingan politik sesaat sang “pemimpin Besar Revolusi”, karena politik
di era Orde Lama merupakan panglima. Orde Baru mengembangkan hukum untuk
mendukung pembangunan ekonomi, sehingga hukum dimanipulasi untuk mengembangkan
pembangunan yang di sana-sini hukum menjadi bersifat represif, melanggar
hak-hak asasi masyarakat yang ujung-ujungnya untuk memberi legitimasi apa yang
disebut sebagai KKN dan kroniisme. Hukum menjadi hukumnya penguasa, yaitu
penguasa tunggal yang mengatasnamakan dirinya sebagai mandataris MPR dan
menjadikan hukum telah kehilangan dimensi etisnya. Sedangkan pada era reformasi
sekarang ini, hukum bukan lagi dijadikan sarana untuk membela atau menegakkan
kebenaran dan keadilan, melainkan hukum sudah dijadikan komoditi untuk
dipertukarkan sebagai alat pembayaran guna membeli hal-hal yang justru untuk
menentang kebenaran dan keadilan itu sendiri.
Sehingga
hukum sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya akibat dari penyalagunan
wewenan dan jabatan yang dilakukan oleh para aparat penegak sehingga hukum akan
jauh dari yang masyarakat harapakn. Dari masalah tersebut diatas maka kami
berinisitif untuk mengangkat sebuah judul makalah dengan judul “penegakan supremasi
hukum di Indonesia”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah
1.
Apakah pengertian hukum ?
2.
Bagaimana penegakan supremasi
hukum Negara Indonesia?
3.
Bagaimanakah problematika
hokum di Indonesia ?
4.
Bagaimanakh solusi dari
penegakan hokum di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui apakah pengertian hukum ?
2.
Untuk mengetahui bagaimana penegakan supremasi hukum Negara Indonesia?
3.
Untuk mengetahui bagaimanakah
problematika hokum di Indonesia ?
4.
Untuk mengetahui bagaimanakh
solusi dari penegakan hokum di Indonesia?

PEMBAHASAN
A. Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting
dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk
penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam
berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial
antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang
berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum
menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi
manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka
yang akan dipilih.
Hukum memiliki
beberapa pengertian atau definisi dari hukum, antara lain:
1.
Peraturan atau adat yang
secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah;
2. Undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat;
3. Patokan (kaidah,ketentuan) mengenai peristiwa (alam, dsb) yang tertentu;
4.
Keputusan
(pertimbangan) yang diterapkan oleh hakim (di pengadilan); vonis.

Hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk
melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat (Van Kan dalam Soeroso,
2009: 27). sedangkan Borst dalam Soeroso, (2009: 27) mengatakan hukum ialah
keseluruhan peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat,
yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau
keadilan
Jadi,
kebijakan penegakan hukum adalah usaha-usaha yang diambil oleh pemerintah atau
suatu otoritas untuk menjamin tercapainya rasa keadilan dan ketertiban dalam
masyarakat dengan menggunakan beberapa perangkat atau alat kekuasaan negara
baik dalam bentuk Undang-undang, sampai pada para penegak hukum antara lain
polisi, hakim, jaksa, serta pengacara.
Bangsa yang
beradab adalah bangsa yang menjalankan fungsi hukumnya secara merdeka dan
bermartabat (Erwin, 2011: 132). Merdeka dan bermartabat berarti dalam penegakan
hukum wajib berpihak pada keadilan, yaitu keadilan untuk semua (Erwin,
2011:132). Sebab apabila penegakan hukum dapat mengaplikasikan nilai keadilan,
tentulah penerapan fungsi hukum tersebut dilakukan dengan cara-cara berpikir
yang filosofis (Erwin, 2011:132).
Penegakan
hukum yang dilakukan dengan nilai-nilai filosofis , pada hakikatnya yang
merupakan penegakan hukum yang menerapkan nilai-nilai (Erwin, 2011:133) yakni
sebagai berikut:
1.
Nilai kesamaan, yang berarti
bahwa kesamaan itu hanya sama dengan sama.
2. Nilai kebenaran, yang berarti bahwa kebenaran itu benar dengan benar.
3. Nilai kemerdekaan, yang berarti bahwa sesuatu hal itu hanya merdeka dengan
merdeka.
Refleksi
keadilan pada penegakan hukum tersebut senantiasa pula dtitikberatkan untuk
mengejar kebenaran. Dan semuanya itu berpulang pada setiap yang berada pada
struktur hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan aparatur penegak hukum yang dapat
bertanggung jawab, baik kepada suara hatinya, maupun kepada masyarakat, dan
Tuhan. Dengan sikap yang bertanggung jawab, tidak sulit bagi hukum untuk
memberi keadilan, kepantasan dan kemanfaatan (Erwin, 2011:133).
“Berikanlah
kepada saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim
yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang paling buruk pun, saya
akan menghasilkan putusan yang adil” (Taverne dalam Erwin, 2011:133). Penegakan
hukum selalu atas nama negara (Ali dalam Erwin, 2011:133). Penegakan hukum
diyakini untuk menjamin dan melindungi kepentingan masyarakat. Jaminan yang
harus ada agar nilai-nilai dan asas-asas dari penegakan hukum dapat diterapkan
fungsinya yakni harus ada pengawasan terhadap kemungkinan penegak hukum
menyalahgunakan kekuasaannya, selain itu harus pula ada jaminan perlindungan
agar penegak hukum dapat secara bebas, tanpa rasa takut melaksanakan
nilai-nilai dan asas-asas penegakan hukum (Erwin, 2011:133)
Dalam pasal
27 UUD 1945 dengan jelas tercantum: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.” Rumusan tersebut mengandung makna bahwa semua
warga negara Republik Indonesia memiliki persamaan hukum dan hak-hak yang sama
di hadapan pemerintah. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
tidak boleh ada yang dinamakan diskriminasi terhadap warga negara. Bahkan
tafsiran tersebut juga menyangkut prinsip persamaan itu berlaku bagi siapa
saja, apakah ia seorang warga negara atau bukan, selama mereka adalah penduduk
Negara Republik Indonesia
Asas
penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintahan yang professional harus
didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan
hukum dan penegakannya secara konsekuen, pertisipasi publik dapat berubah
menjadi tindakan publik yang anarkis. Publik membutuhkan ketegasan dan
kepastian hukum. Tanpa kepastian dan aturan hukum, proses politik tidak akan berjalan
dan tertata dengan baik.
B. Supremasi Hukum di Indonesia
Supremasi berasal dari bahasa
Inggris “supreme” yang berarti “highest in degree”, yang dapat diterjemahkan
“mempunyai derajat tinggi”. Dengan demikian, dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, hukum harus berada di tempat yang paling tinggi, hukum
juga dapat mengatasi kekuasaan lain termasuk kekuasaan politik. Dengan kata
lain, negara yang dapat dikatakan telah mewujudkan Supremasi Hukum adalah
negara yang sudah mampu menempatkan hukum sebagai panglima, bukannya hukum yang
hanya menjadi “pengikut setia kekuasaan” dan kepentingan politik tertentu yang
jauh dari kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Supremasi
hukum dalam pengertian itu dapat dimaknai bahwa asas legalitas merupakan
landasan yang terpenting di dalam setiap tindakan, baik itu dilakukan oleh
individu maupun kelompok. Puncak legalisme ini dapat dicermati pada pendapat
yang menyatakan bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi adalah hukum
Istilah
supremasi hukum juga dikenal dengan istilah “the rule of law” yang diartikan
sebagai pemerintah oleh hukum, bukan oleh manusia, bukan hukumnya yang
memerintah, karena hukum itu hanyalah keadah atau pedoman dan sekaligus sarana
atau alat, tetapi ada manusia yang harus menjalankannya secara konsisten
berdasarkan hukum, dan tidak sekehendak atau sewenang-wenang. Hukum itu
diciptakan atau direkayasa oleh manusia, terutama hukum tertulis. Setelah hukum
itu tercipta maka manusia harus tunduk pada hukum. Hukum harus mempunyai
kekuasaan tertinggi demi kepentingan manusia itu sendiri, tetapi sebaliknya manusia
tidak boleh diperbudak oleh hukum. “Governance not by man but by law” berarti
bahwa tindakan-tindakan resmi (pemerintah) pada tingkat teratas sekalipun harus
tunduk pada peraturan-peraturan hukum. Jadi,
supremasi hukum atau rule of law merupakan konsep yang menjadi tanggungjawab
ahli hukum untuk melaksanakan dan yang harus dikerjakan tidak hanya melindungi
dan mengembangkan hak-hak perdata dan politik perorangan dalam masyarakat
bebas, tetapi untuk menyelenggarakan dan membina kondisi sosial, ekonomi,
pendidikan, dan kultural yang dapat mewujudkan aspirasi rakyat. Supremasi hukum
atau Rule of law dimaksudkan bahwa hukumlah yang berkuasa. Pengekangan
kekuasaan oleh hukum merupakan unsur esensial yang kebal terhadap kecaman.
Dalam
tradisi liberal dikatakan bahwa kebebasan sipil dan hak-hak sipil (yang
mencakup kebebasan berpikir dan berpendapat, kebebasan berkumpul dan
berserikat, kebebasan beragama, serta kebebasan pers) akan sangat sulit
diwujudkan jika hukum di sebuah negara tidak diberlakukan secara tegas dan pada
semua orang, termasuk pejabat pemerintah. Dengan kata lain, supremasi hukum
(rule of law) merupakan unsur utama yang mendasari terciptanya masyarakat yang
demokratis dan adil.
Masyarakat kita yang dewasa ini
sedang mengalami dekadensi dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan,
sehingga menuntut adanya reorientasi dalam pembinaan dan pengembangan hukum,
tidak saja bila diinginkan agar hukum memiliki supremasinya.
Oleh karena itu, dalam penegakkan
Supremasi Hukum memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.
Hukum harus dapat berperan sebagai panglima. Ini
berarti dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat Law Enforcement harus dapat
diwujudkan dalam Law Enforcement ini tidak ada kamus kebal hukum.
2.
Hukum harus dapat berfungsi sebagai Center Of Action.
Semua perbuatan hukum, baik yang dilakukan oleh penguasa maupun individu harus
dapat dikembalikan kepada hukum yang berlaku. Hukum harus mampu berperan
sebagai sentral, bukan hanya sebagai instrumental yang fungsinya melegitimasi
semua kebijakan pemerintah.
3.
Berlakunya asas semua orang didepan hukum (Equalty
Before The Law). Untuk menegakkan Supremasi Hukum dengan ciri-ciri tersebut
diperlukan pilar-pilar penyangganya. Semakin kokoh pilar-pilar ini semakin
tegak Supremasi Hukum, dan sebaliknya semakin lemah pilar-pilar tersebut
semakin rapuh Supremasi Hukum. (F. Sugeng Istanto)
Penegakan hukum (law enforcement) adalah sebuah masalah
yang hampir di hadapi oleh setiap negara di dunia, khususnya bagi negara-negara
berkembang seperti Indonesia yang mempunyai banyak permasalahan hukum baik
kualifikasinya maupun modus operasinya. Hukum pada hakekatnya sebagai sarana
untuk mencapai apa yang dinamakan keadilan.
Tidak semua negara yang baru merdeka menegaskan secara
eksplisit bahwa negara tersebut ingin membangun suatu tata hukum yang baru. Ini
berarti tata hukum yang lama ditinggalkan. Bangsa Indonesia termasuk ke dalam
negara baru yang menyatakan ketegasan tersebut sebagaimana dapat dibaca pada
Pembukaan UUD 1945. Tata hukum yang baru tersebut didasarkan pada landasan
kerokhanian Pancasila, maka tata hukum dapat disebut sebagai Sistem Hukum
Pancasila.
Penegakan hukum di Indonesia harus mampu membawa
bangsa ini menuju bangsa yang adil, tidak ada yang dinamakan ketimpangan hukum.
Seluruh pihak terutama para penegak hukum, serta para pengambil kebijakan dapat
dengan bijak menyikapi berbagai kasus hukum yang terjadi di sekitar mereka.
Dibutuhkan pula kepekaan para penegak hukum terkait dengan semakin banyaknya
kasus pelanggaran hukum yang tersaji. Hal ini perlu di dorong oleh political will serta political action yang mesti diambil oleh
para stakeholders atau pemerintah
kita sebagai titik awal menjalankan hukum yang adil bagi segenap bangsa
Indonesia, dan mereka juga merupakan pioneer
yang bertanggung jawab apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum.
Pembuatan suatu peraturan pada hakekatnya adalah suatu
langkah pertama dari keseluruhan “aksi yang direncanakan” yang ditujukan untuk
mencapai sasaran tertentu. Peraturan tersebut dapat dilihat sebagai suatu kerangka
bagi aksi yang direncanakan tersebut yang seyogyanya juga mensyaratkan
dipenuhinya berbagai fasilitas yang dibutuhkan. Faktor berikutnya, yaitu
manusia-manusia yang berhubungan dengan pelaksanaan hukum, merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari sistem hukum. Keberhasilannya untuk menjalankan
kerangka yang dibuat oleh peraturan menentukan apakah tujuan yang hendak
dicapai oleh hukum terlaksana. Apabila sistem hukum dikehendaki untuk bersifat
proaktif, maka aktivitas yang dituntut dari penegak hukum menjadi lebih tinggi
lagi.
Kebijakan lain yang perlu dijalankan untuk menjamin
penyelesaiaan kasus hukum yang adil yakni masyarakat hendaknya menjadi
orang-orang yang tertib hukum sehingga hubungan antara penegak hukum itu
sendiri tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan di dalamnya. Semua elemen bangsa
hendaknya menggunakan nurani, naluri, serta nalari terhadap penafsiran yang
mereka buat terhadap berbagai situasi dan kondisi.
Untuk dapat menemukan hukum yang benar dan tepat serta
dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa hakim harus melihat
kesadaran hukum masyarakat setempat, baik melalui kaca mata ilmu hukum dengan
segala cabang-cabangnya maupun melalui hukum agama yang dianut oleh para pihak.
Dengan demikian, hukum yang ditemukan benar-benar merupakan pencerminan dari
sistem sosial dan budaya hukum yang hidup dalam masyarakat, dan putusan hakim
pun akan dapat menyentuh rasa keadilan yang didambakan.
Telah menjadi kodratnya bahwa manusia itu ingin hidup
bersama dalam masyarakat. berdasarkan kesadaran etis, manusia tidak hanya menuntut
hak dan lupa menjalankan kewajiban, tetapi kedua-duanya dituntut secara
seimbang. Itulah keadilan sosial. Sifat-sifat inilah yang harus dibangkitkan
dan dikembangkan oleh hakim dalam rangka penyelesaian sengketa. Segenap bangsa
Indonesia harus saling bekerjasama untuk mewujudkan bangsa dan negara Indonesia
yang adil, dan segenap elemen bangsa sadar akan tanggung jawab yang mereka
miliki dan senantiasa mengakui kesalahannya apabila merasa berbuat salah.
Dalam pelaksanaan kebijakan penegakan hukum, hakim harus
menyadari bahwa para pihak yang menghadap adalah manusia. Oleh sebab itu hakim
harus menghadapinya secara manusiawi dengan menerapkan asas manusiawi. Sebagai
manusia hakim harus memberikan pelayanan secara adil dan manusiawi, serta dapat
memberikan pelayanan yang simpatik dan memberikan bantuan sesuai dengan apa
yang diperlukan agar sengketa mereka dapat diselesaikan dengan tuntas dan
final.
C. Problematika Penegakan Hukum
di Indonesia
Pengaruh
politik yang merambah pada pelaksanaan fungsi peradilan terjadi pada berbagai
tingkatan pengaruh sejumlah negara dengan pemerintahan yang otoriter. Pengaruh
kekuasaan pemerintahan tersebut terutama muncul dalam hal proses peradilan
bersinggungan dengan kepentingan pemerintah atau kepentingan penguasa. Pengaruh
pemerintah dapat berbentuk intervensi langsung terhadap proses peradilan dengan
cara memberitahu hakim agar membuat putusan yang menguntungkan pemerintah atau
mencegah eksekusi putusan pengadilan. Pengaruh pemerintah terhadap peradilan
juga dapat dilakukan melalui pembuatan undang-undang tentang kekuasaan
kehakiman, yang menempatkan sedemikian rupa posisi lembaga peradilan di bawah
pengaruh pemerintah atau ketergantungan kepada pemerintah.
Banyak
faktor yang menyebabkan sulitnya penegakan hukum di Indonesia, yakni di
antaranya:
1. Pertama, political will dan political action para pemimpin negara
untuk secara bersama-sama menjalankan hukum yang adil dan dapat menjamin hak
setiap warga negara masih kurang dimiliki oleh pemimpin bangsa ini.
2. Kedua, yakni berbagai undang-undang yang dibuat yang notabene-nya adalah
representatif dari hukum hanya mengutamakan kepentingan penguasa.
3. Ketiga, integritas yang dimiliki oleh setiap individu di negara Indonesia
dapat dikatakan masih rendah apabila dibandingkan beberapa negara-negara di
Asia seperti Jepang, serta Malaysia. Selain itu tingkat kredibilitas serta
profesionalisme yang dimiliki oleh bangsa ini masih sangat rendah buktinya
dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi kesalahan yang disebabkan ketidak
patuhan terhadap suatu aturan.
4. Keempat, tidak dapat kita pungkiri sarana serta prasarana yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia untuk menegakkan hukum yang adil bagi seluruh rakyat
Indonesia masih sangat kurang sehingga pelaksanaannya pun belum maksimal.
5. Kelima. Budaya hukum yang dimiliki oleh bangsa Indonesia masih sangat
rendah buktinya sebagian besar masyarakat apabila menghadapi suatu perkara,
sudah jelas salah masih terus menyembunyikan kesalahan mereka. Keenam, yakni
adanya paradigma yang salah dari masyarakat terhadap hukum. Serta yang ketujuh, berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah atau (stakeholders) masih dilaksanakan secara
parsial dan hanya menguntungkan beberapa pihak saja.
Akhir-akhir ini banyak isu
yang sedang hangat-hangat di perbincangkan salah satunya adalah permasalahan
korupsi. Kasus ini seakan sudah menjadi tradisi yang mendarah daging di bangsa
ini. Penyakit korupsi melanda seluruh lapisan masyarakat bahkan yang menjadi
perhatian saat ini adalah para aparat yang seharusnya menjadi penegak dalam
kasus ini juga ikut terkait di dalamnya. Salah satu lembaga yang menjadi
perhatian adalah lembaga peradilan. Salah satu contoh lemahnya penegakan hukum
di Indonesia adalah :
1. Kasus Arthalyta Suryani, yang
menempati ruang tahanan yang terbilang mewah dari tahanan yang lain karena
lengkap dengan fasilitasnya
2. Kasus nenek Minah yang divonis
1,5 bulan penjara karena mencuri tiga buah kakao
3. Kasus tilang polisi lalu lintas, ada beberapa oknum polisi
yang mau atau bahkan terkadang minta suap
4. Kasus Gayus Tambunan yang bisa
keluar masuk penjara
Persamaan di hadapan hukum
yang selama ini di kampanyekan oleh pemerintah nyatanya tidak berjalan dengan
efektif. Hukum yang berlaku sekarang di Indonesia seakan-akan berpihak kepada
segelintir orang saja. Supremasi hukum di Indonesia
masih harus diperbaiki untuk mendapat kepercayaan masyarakat dan dunia
internasional tentunya terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak
kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus
diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan
perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Namun, keadaan yang sebaliknya terjadi
di Indonesia. Hukum seakan tajam kebawah namun tumpul keatas. Ini terbukti
dengan banyaknya kasus yang terjadi,
Sebenarnya
apa yang terjadi dengan lembaga penegak hukum kita, sehingga justice for all berubah menjadi justice not for all. Hukum di negara
kita ini seakan tidak memperlihatkan cerminan terhadap kesamaan di depan hukum
yang merata kepada semua lapisan masyarakat tetapi terkesan tajam kebawah
kepada rakyat miskin tetapi tumpul keatas terhadap mereka yang mempunyai uang.
Berbagai kasus terkait dengan penegakan hukum di Indonesia yang sangat
memprihatinkan menjadi cambuk atau pukulan telak serta menjadi potret buram
bagi kita semua sebagai satu kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Ini menjadi ironi tersendiri bagi kita.
Di Indonesia
sendiri hukum dibuat berlandaskan Pancasila serta UUD 1945. Dalam penegakkan
hukum di Indonesia memang terjadi beberapa masalah seperti ketidakmampuan suatu
lembaga keadilan dalam memberikan keadilan itu sendiri bagi masyarakat.
Keadilan dianggap suatu yang sulit untuk didapatkan terutama bagi masyarakat
kelas bawah yang sekiranya merupakan golongan yang tidak mampu dalam segi
materi. Sekiranya kita dapat melihat fakta yang terjadi di lapangan dengan
berbagai macam kasus yang ada dan melibatkan masyarakat kelas bawah.
Para penegak
hukum antara lain hakim, jaksa, polisi, advokat dan penasihat hukum. Di tangan
merekalah terletak suatu beban kewajiban untuk mengimplementasikan suatu
prinsip keadilan sebagaimana yang tercantum dalam sila kedua secara optimal dan
maksimal. Namun , hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Banyak kasus penegakan
hukum yang tidak berjalan semestinya. Banyak keganjalan yang terjadi didalam
penegakan hukum itu seperti dengan mudahnya seseorang yang mempunyai uang
mendapatkan fasilitas di ruang tahanan atau ada beberapa kasus yang sangat
mengganjal keputusan yang di putuskan seperti kasus pencurian sandal diatas.
Hal tersebut
menyebabkan bahwa suatu hukum di Indonesia walaupun dibuat dengan berlandaskan
pancasila serta UUD 1945 namun dalam pelaksanaannya tidak ada jiwa pancasila
yang melekat dalam setiap penegak hukum serta pemerintah Indonesia. Dengan
melemahnya hukum di Indonesia tentu sedikit demi sedikit maka keadilan di
Indonesia akan terkikis dengan adanya sikap pemerintah yang seakan hanya
mementingkan dirinya sendiri, jabatan dan kekuasaan politik bagi diri dan
partainya
Orang dapat menganggap lain atas
istilah krisis penegakan hukum itu dan memberi tekanan kepada faktor – faktor
yang telah menentukan isis sesungguhnya dari hukum. Namun untuk mencapai
supremasi hukum yang kita harapkan bukan faktor hukum saja, namun faktor aparat
penegak hukum juga sangat berpengaruh dalam penegakan supremasi hukum di
indonesia. Orang mulai tidak percaya terhadap hukum dan proses hukum ketika
hukum itu sendiri masih belum bisa memberikan perlindungan terhadap masyarakat.
D. Solusi Probematika penegakan
hukum di indonesia
Hukum bukan sekedar tameng yang
diguakan untuk bersembunyi. Tapi, hukum itu sendiri adalah sebuah norma yang
harus dipatuhi dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuannya. Selain itu, sebagai
warga Negara juga harus melakukan pengendalian terhadap hukum itu sendiri,
bukan sebagai penonton, tetapi juga sebagai pelaku dalam hukum, tidak peduli ia
masyarakat menengah kebawah, keatas, anak-anak, mahasiswa, dan segenap aspek dn
lapisan masyarakat juga harus mengerti tentang hukum dan menjunjung tinggi
nilai hukum. Jadi,
perlunya sosialisasi dan pemberian pengertian dari pemerintah agar masyarakat
mengerti hukum. Selain itu juga sebagai warga Negara, haruslah pandai-pandai
memilih perwakilan di dalam kelembagaan Negara. Warga Negara tidak memandang
dari segi apapun dalam memilih wakil rakyat. Tapi haruslah dengan hati nurani
dan dipercaya. Tidak peduli ia kaya atau tidak, tampan dan sebagainya, tapi ia
mengerti hukum dan menjung tinggi nilai-nilai yang ada dalam hukum itu sendiri.
Perubahan dalam supremasi hukum,
harus dimulai dari diri sendiri. Begitu juga denga pemerintah. Pemerintah harus
tegas dalam menegakkan keadilan dan kesetaraan dimata hukum. Tidak pandang bulu
dalam mengatasi masalah. Harus ada control yang jelas dari pemerintah kepada
para penegak hukum dan aparatur Negara. Bukan hanya di dalam pemerintahan pusat
saja, tapi juga di dalam pemerintahan yang dalam arti luas.
Lembaga peradilan, sebagai penegak
hukum, harus melaksanakan tugasnya dengan baik. Adili dengan seadil-adilnya.
Tidak ada pengadilan secara sepihak. Tegas dalam mengambil suatu keputusan dan
mampu memberikan pelayananan yang baik kepada masyarakat. Dalam mengambil
keputusan juga harus benar-benar dengan kebijaksanaan yang tinggi.
Sebagai mahasiswa, upaya yang dapat
dilakukan dalam penegakan hukum di negeri ini adalah dengan giat dan gemar
dalam sosialisasi hukum di dalam masyarakat. Sebagai control kepada pemerintah,
karena kita tahu bahwa, mahasiswa adalah sebagai agen perubahan. Sehingga
diharapkan dari mahasiswa sendiri dapat menjadi sebagai pembawa perubahan di
Indonesia.
Kurangnya loyalnya
para penegak hukum terhadap negara yang menimbulkan masalah yang belum bisa
diselesaikan dengan tuntas.
Sistem hukum
modern berdiri diatas semua golongan dan karena itu bersifat kompromistis.
Hukum modern menjaga agar semua kepentingan dapat berinteraksi satu sama lain
secara baik dan produktif
Para penegak
hukum antara lain hakim, jaksa, polisi, advokat dan penasihat hukum. Di tangan
merekalah terletak suatu beban kewajiban untuk mengimplementasikan suatu
prinsip keadilan sebagaimana yang tercantum dalam sila kedua secara optimal dan
maksimal (Azhary, 2004: 205).
Untuk
menegakkan supermasi hukum maka perlu memperhatikan tiga komponen utama menurut
Lm. Friedman yaitu:
1.
Substansi Hukum: Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut
sebagai sistem Substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu
dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang
berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan
baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law),
bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books).hukum
adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang
tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di
Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP.
Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tidak ada suatu perbuatan pidana yang dapat
di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya”. Sehingga bisa atau
tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut
telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.
2.
Struktur Hukum:
Dalam teori Lawrence
Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Struktural yang menentukan
bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum
berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas). Kewenangan lembaga penegak hukum
dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang menyatakan “fiat justitia et pereat mundus”
(meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hukum tidak dapat berjalan
atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan
independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak
didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.
3.
Budaya Hukum: Kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum
adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana
hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya
dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat
maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat
mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat
terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
Baik
substansi hukum, struktur hukum maupun budaya hukum saling keterkaitan
antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Dalam pelaksanaannya
diantara ketiganya harus tercipta hubungan yang saling mendukung agar tercipta
pola hidup aman, tertib, tentram dan damai.
Realisasi
wujud good and clean governance,
harus diimbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum yang
mengandung unsur-unsur (Komaruddin dan Azyumardi, 2008: 162) sebagai berikut:
1. Supremasi hukum (supremacy of law),
yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang partisipasi
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan
aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaannya secara benar serta
independen. Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindakan pemerintah
atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan pada kewenangan yang
dimilikinya).
2. Kepastian hukum (legal certainty),
bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan
pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
3. Hukum yang responsif, yakni aturan-aturan hukum yang disusun berdasarkan
aspirasi masyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik
secara adil.
4. Penegakan hukum yang konsisten dan non diskriminatif, yakni penegakan hukum
berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Untuk itu, diperlukan penegak
hukum yang memiliki integritas moral dan bertanggung jawab terhadap kebenaran
hukum.
5. Independensi peradilan, yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh
penguasa atau kekuatan lainnya.
Hukum
mempunyai kelakuan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan pada kaedah yang
lebih tinggi tingkatnya (ini di dasarkan pada teori “stufenbau nya elsen “.
Oleh karena efektifitas merupakan fakta (Kelsen dalam Soekanto, 1983: 35).
Suatu kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis jikalau kaedah tersebut terbentuk
menurut cara yang telah ditetapkan (Zevenbergen dalam Soekanto, 1983: 35).
Salah satu
yang menjadi masalah penegakan hukum di negara kita yakni penyelesaian masalah
korupsi. Pada hakikatnya korupsi tidak dapat ditangkal hanya dengan satu cara.
Penanggulangan korupsi harsu dilakukan dengan pendekatan komprehensif,
sistemis, dan terus-menerus. Penanggulangan tindakan korupsi dapat dilakukan
(Komaruddin dan Azyumardi, 2008:168-169) antara lain dengan:
1. Adanya politic will dan politic action dari pejabat negara dan
pimpinan lembaga pemerintah pada setiap satuan kerja organisasi untuk melakukan
langkah proaktif pencegahan dan pemberantasan perilaku dan tindak pidana
korupsi. Tanpa kemauan kuat pemerintah untuk memberantas korupsi di segala lini
pemerintahan, kampanye pemberantasan korupsi hanya slogan kosong belaka.
2. Penegakan hukum secara tegas dan berat. Proses eksekusi mati bagi koruptor
China, misalnya telah membuat sejumlah pejabat tinggi dan pengusaha di negeri
itu menjadi jera untuk melakukan tindak korupsi. Hal yang sama terjadi pula di
negara-negara maju di Asia, seperti Korea Selatan, Singapura, dan Jepang
termasuk negara yang tidak kenal kompromi dengan pelaku korupsi. Tindakan
tersebut merupakan shock therapy
untuk membuat tindakan korupsi berhenti.
3. Membangun lembaga-lembaga yang mendukung upaya pencegahan korupsi, misalnya
Komisi Ombudsman sebagai lembaga yang memeriksa pengaduan pelayanan
administrasi publik yang buruk. Pada beberapa negara, mandat Ombudsman mencakup
pemeriksaan dan inpeksi atas sistem administrasi pemerintah dalam hal
kemampuannya mencegah tindakan korupsi aparat birokrasi. Di Indonesia telah
dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tim Penuntasan Tindak Pidana
Korupsi (Timtastipikor) dengan tugas melakukan investigasi individu dan
lembaga, khususnya aparatur di pemerintah yang melakukan korupsi. Selain
lembaga bentukan pemerintah, masyarakat juga membentuk lembaga yang mengemban
misi tersebut, seperti Indonesia
Corruption Watch (ICW) dan lembaga sejenis.
4. Membangun mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menjamin
terlaksananya praktik good and clean
governance, baik di sektor pemerintah, swasta, atau organisasi
kemasyarakatan.
5. Memberikan pendidikan antikorupsi, baik melalui pendidikan formal maupun
pendidikan nonformal. Dalam pendidikan formal, sejak pendidikan dasar sampai
perguruan tinggi diajarkan bahwa nilai korupsi adalah bentuk lain dari
kejahatan.
6. Gerakan agama antikorupsi, yaitu gerakan membangun kesadaran keagamaan dan
mengembangkan spiritual antikorupsi.
Secara
filosofis, hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai nilai positif
yang tertinggi, misalnya Pancasila, masyarakat yang adil dan makmur, dan
seterusnya (Soekanto, 1983: 36). Ada empat faktor agar hukum dapat berfungsi
dengan baik diperlukan keserasian dari kempat tersebut yakni:
1. Hukum atau aturan itu sendiri
2. Metalitas petugas yang menegakkan hokum
3. Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hokum
4. Kesadaran hukum, kepatuhan hukum dan perilaku warga masyarakat. (Logemann
dalam Soekanto, 1983: 36)
Maka kalau
kita ingin melihat reformasi berhasil dan hukum kembali menjadi tumpuan harapan
kita, dengan menegakkan supermasi hukum sebaiknya memperhatikan segala aspek
kehidupan karena masalah hukum adalah masalah yang komleks adanya dan akan
membutuhkan solusi yang kompleks pula.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum diciptakan
untuk mengatur segala aktivitas manusia dan sebagai pedoman untuk menjalin
hubungan dengan manusia yang lain dan juga sebagai control sosial yang berlaku kepada
seluruh ummat manusia demi terciptanya ketentraman dan keadilan bersama didalam
masyarakat.
Untuk
mencapai hal tersebut diperlukan penegakan supermasi hukum yang konsisten
dengan memperhatikan hakikat hukum, struktur hukum dan budaya hukum dalam masyarakat.
B. Saran
Dalam penegakan supremasi hukum di
Indonesia, perlu adanya tatanan hukum yang baik guna menegakkan hukum demi
keadilan dan kesetaraan di mata hukum sesuai dengan undang-undang. Yang melibatkan semua elemen seperti pemerintah, penegak hukum, masyarakat
dan mahasiswa.

Azhary, 2004. teori-hukum. Medan: Pustaka Press Bangsa
Erwin, 2011. supremasi Hukum. Jakarta:
Sinar Grafika
Komaruddin dan Azyumardi, 2008. teori-hukum
.Jakarta: Sinar Grafika
Muchsan, 2000, Supremasi Hukum Dalam
Negara Hukum, disampaikan pada KULIAH PERDANA program Magister Hukum Bisnis dan
Hukum Kenegaraan, Yogyakarta:Program Magister Hukum Pasca Sarjana
UGM.
Sugeng Istanto. Supremasi
Hukum Dalam Sistem Pemerintahan Negara Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta : Justitia Et
Pax.
Soeroso. 2009. Upaya Meningkatkan Supremasi Hukum. Jakarta : Justitia Et
Pax.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar